MRT Jakarta: Menembus Kemacetan, Menyelamatkan Lingkungan?

Written by: Wulan Faraditha
Edited by: Rafsan, Ghafi Reyhan and Zania Putri
Illustrated by:
Abia Satria

Ketika kita mendengar kata ‘kota’, umumnya kita akan membayangkan hamparan gedung megah dan tinggi, penduduk yang padat, kawasan bisnis, dan tentunya kemacetan. Mengingat banyaknya kemacetan yang kerap terjadi di perkotaan, penggunaan moda transportasi publik berperan krusial dalam  menjadi salah satu solusi kemacetan perkotaan dan kehidupan sehari-hari yang lebih hemat dan nyaman. Dengan beragamnya transportasi publik yang tersedia di DKI Jakarta seperti JakLingko, TransJakarta, KAL Commuterline, Light Rail Transit (LRT)  Jakarta, hingga Mass Rapid Transit (MRT), Jakarta memberikan banyak pilihan bagi warganya untuk menggunakan transportasi publik dalam kehidupan sehari-hari. 

Sayangnya, pada awal 2019, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mengungkapkan bahwa persentase masyarakat Jakarta yang menggunakan transportasi umum merosot dari 49% menjadi 19% (Primastiwi, 2019). Kemerosotan penggunaan transportasi publik ini mayoritas disebabkan karena perbandingan waktu tempuh antara transportasi publik dan kendaraan pribadi berbeda tipis akibat kemacetan tidak terhindarkan di ruas jalan Jakarta. Selain kemacetan, terbatasnya aksesibilitas ke transportasi publik untuk kelompok rentan (lansia, wanita hamil, dan terutama kaum difabel) , kurangnya informasi terbaru mengenai jadwal keberangkatan dan informasi rute, serta kurangnya integrasi antar transportasi publik yang lain dan munculnya Gojek dan Grab menjadi faktor-faktor lain yang menghambat peningkatan penggunaan moda transportasi publik di Jakarta. 

Pembuatan Moda Raya Terpadu atau Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dipandang sebagai salah satu cara untuk meningkatkan penggunaan transportasi publik oleh masyarakat dan solusi bagi beberapa tantangan yang dihadapi Jakarta. Menurut artikel Centre for Public Impact (2019), rencana pembangunan proyek MRT Jakarta sendiri telah dimulai sekitar tahun 2013 pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan dibangun oleh kerjasama kontraktor Jepang dan lokal. Saat ini, MRT Jakarta terdiri atas 13 stasiun dengan panjang 16 km dari sisi selatan Jakarta hingga ke kawasan SCBD. MRT Jakarta telah diresmikan sejak tahun 2019 dan kini dikelola oleh PT MRT Jakarta yang dimiliki Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan didanai Pemerintah Pusat, Provinsi, dan pinjaman dari Jepang melalui Japan International Cooperation Agency (JICA). 

Sejauh ini, MRT Jakarta telah berhasil menampilkan dirinya sebagai sebuah transportasi yang terintegrasi melalui kolaborasi dengan transportasi publik lainnya seperti Transjakarta. Hal ini dibuktikan oleh popularitas MRT Jakarta di kalangan pekerja kawasan bisnis SCBD mengingat harganya yang terjangkau, aksesibilitas yang mumpuni, dan efektivitasnya dalam menghindari kemacetan. Adapun integrasi dengan Transjakarta memungkinkan MRT Jakarta untuk menjadi salah satu transportasi publik perkotaan yang dapat diandalkan, terutama dengan estimasi waktu perjalanan yang selalu hampir akurat dengan jadwal.

Pada skala yang lebih luas, MRT Jakarta juga ditengarai membawa dampak positif bagi perekonomian dan kualitas lingkungan Jakarta. Dalam Laporan Keberlanjutan 2020 yang dipublikasikan melalui laman MRT Jakarta,  selama pandemi berlangsung MRT Jakarta turut berinovasi serta mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pengembangan UMKM dan menjalin kolaborasi dengan pelaku-pelaku usaha rintisan melalui program Accelerator dan Incubator (MRT Jakarta, 2020: 3). Pada saat yang sama, artikel dari Center for Public Impact (2019) turut memperkirakan bahwa MRT Jakarta dapat meningkatkan efisiensi tenaga kerja Jakarta dengan meningkatkan kapasitas transportasi umum serta mengurangi waktu dan biaya perjalanan.

Dari segi lingkungan, MRT Jakarta sebagai moda transportasi publik yang dianggap ramah lingkungan diharapkan dapat membantu penurunan emisi karbon dioksida sebesar 0,7 persen per tahunnya karena ditenagai bahan bakar listrik sehingga dapat menjadi alternatif ramah lingkungan dibandingkan kendaraan pribadi. Tentunya dampak lingkungan MRT Jakarta harus dibandingkan juga dengan moda transportasi publik lainnya demi mengetahui seberapa besar kontribusi MRT Jakarta dalam memberikan dampak positif pada lingkungan. Menurut Tim Riset MRT dalam Ratnawati (2021), MRT Jakarta dapat membantu menurunkan angka emisi karbon dioksida dengan operasional MRT di sebagian wilayah Jakarta sebesar 85,680 ton karbon dioksida (CO2) per tahunnya. Angka ini diambil dari perhitungan emisi CO2 dari masyarakat dan kendaraan yang searah dengan jalur MRT Fase I. Ratnawati (2021) menjelaskan bahwa sekitar 175,000 orang yang melewati jalur MRT itu setara dengan 64,260 ton karbon dioksida per tahunnya yang berasal dari motor dan 107,100 dari mobil, sehingga total akhirnya mencapai 171,630 ton. Meskipun begitu, semua hal ini tidak semata-mata membuat MRT Jakarta menjadi solusi mutlak transportasi publik yang ramah lingkungan karena perlu diingat bahwa tenaga listrik  berasal dari beberapa sumber yang mana salah satunya adalah uap dari pembakaran bahan bakar fosil. Sementara itu, transportasi publik lain contohnya Transjakarta menggunakan bahan bakar gas alam sehingga menurunkan emisi karbon dioksida sebanyak 32,310 ton dan nitrogen dioksida sebesar 386 ton per tahun (Nasrulloh, 2010). 

Walaupun MRT Jakarta dan Transjakarta menggunakan energi yang “lebih” ramah lingkungan seperti listrik dan gas bumi serta melepas emisi yang lebih rendah (Humas EBTKE, 2019), keduanya masih tergolong energi yang berasal dari olahan energi berbasis fosil. Sebab itu, bisa dikatakan bahwa MRT Jakarta dan Transjakarta hanyalah langkah awal bagi Indonesia dalam merealisasikan transportasi publik yang menggunakan energi terbarukan secara efisien dan menyeluruh. 

Kendati demikian, MRT Jakarta masih memiliki beberapa keterbatasan dalam mengatasi permasalahan transportasi publik Jakarta. Perluasan sistem dan jangkauan MRT Jakarta perlu dibarengi dengan perbaikan integrasi antar transportasi umum dan koordinasi dengan pemangku kebijakan lainnya mengenai penggunaan lahan untuk kawasan transportasi publik yang berorientasi transit atau kerap disebut transit oriented development yang mengkombinasikan revitalisasi kota, pembaharuan pinggiran kota, perencanaan wilayah, dan lingkungan yang ramah pedestrian untuk menciptakan komunitas yang serba guna, tersusun secara padu, dan mengakomodasi para pejalan kaki (Transit Oriented Development, n.d.). Maka dari itu, pembangunan kawasan berorientasi transit di infrastruktur MRT Jakarta diharapkan dapat memungkinkan memudahkan kehidupan dan meningkatkan mobilitas masyarakat Jakarta tanpa meningkatkan penggunaan kendaraan pribadi.Setelah membaca berbagai penjelasan di atas, diharapkan kita dapat memahami bahwa moda transportasi publik yang berkualitas tidak hanya cukup diiming-imingi embel-enbel “go green”, “futuristic”, dan sebagainya tetapi harus secara riil dibuktikan dengan kualitas dan efisiensi pengoperasiannya dan dampaknya pada bumi dan kualitas keseharian di jalan yang dilakukan masyarakat, terutama di perkotaan. Hal ini diringkas dengan tepat oleh Maimunah dan Kaneki (2016: p.245), yang menyampaikan bahwa pemutakhiran MRT Jakarta diharapkan dapat mengukuhkan identitas Jakarta sebagai ibu kota yang modern dengan standar keunggulan operasional dan keselamatan kelas dunia.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *