
Written by: Abisha and Ulfah
Edited by: Rafsan
Designed by: Abia Satria
Digital Declutter dan Peran Tersembunyi Dalam Peningkatan Produktivitas
Ruwet! Ruwet! Ruwet!
Sepertinya, hanya kata tersebut yang terputar di dalam kepala saat melihat bejibun dokumen digital organisasi mahasiswa yang tidak terorganisir dan tertata. Padahal, open house universitas tinggal H-5. Kulihat berkas tersebut satu-satu. Ada yang judulnya “asdfksfjs”, ada yang punya 6 duplikat, ada pula yang tertanggal 2010. Untuk sejenak, kupandang wajah teman-teman pengurusku. Setelah ditimbang-timbang, hanya ada 1 jalan keluar dari kesemrawutan ini, digital declutter.
Konsep Digital Declutter
Digital declutter adalah sebuah tindakan penghapusan dan pembersihan berkas digital yang sudah tidak terpakai. Meskipun terdengar mudah untuk dilakukan, realitanya banyak orang (termasuk kami sendiri) yang mengalami kesulitan. Perkembangan teknologi telah menjadikan manusia memiliki keterikatan emosional terhadap berkas-berkas digital (Neave et al, 2020). Segala informasi yang dibagikan cenderung tetap disimpan karena dikhawatirkan akan berguna di masa mendatang.
Mulai dari kehidupan pribadi, organisasi, maupun pekerjaan, konsep ini sepertinya menjadi sangat penting untuk diterapkan. Walaupun kita perlahan berputar kembali ke kehidupan serba temu muka, tak bisa dipungkiri bahwa semua aktivitas sekarang serba PDF, Microsoft Office, dan Google Drive. Tujuannya jelas, yaitu untuk meningkatkan produktivitas serta manajemen informasi yang lebih baik. Menurut Clear (2018), otak manusia cenderung akan bekerja dengan baik apabila asosiasinya dengan tugas semakin jelas. Berdasarkan teori tersebut, manajemen berkas digital menjadi penting dilakukan karena pekerjaan akan menjadi lebih jelas dan tertata. Penataan dan integrasi berkas akan memudahkan dalam pencarian informasi ketika suatu waktu dibutuhkan. Selain itu, berkas yang dikelola dengan baik juga dapat melancarkan proses pengolahan informasi sehingga produktivitas tidak lagi terhambat. Hal tersebut diperkuat dengan kenyataan bahwa instansi maupun perusahaan yang memiliki sistem manajemen berkas yang tertata terbukti mampu bekerja 30% lebih efisien dibandingkan perusahaan sejenis yang manajemennya kurang rapi (Barker, 2014).
Pada umumnya, baik dari tingkat individual, organisasi, sampai perusahaan sudah memiliki kegiatan sejenis digitalisasi arsip yang bertujuan untuk mengelola berkas digital yang ada. Sayangnya, kegiatan tersebut masih sering menemui kendala. Seperti cerita di awal tulisan ini, kenyataannya masih banyak anggota organisasi yang kebingungan dalam menjalankan proses digitalisasi arsip. Akibatnya, serasa mencari jarum dalam tumpukan jerami—dokumen menumpuk dan proses pencarian dokumen menjadi sesuatu yang memakan banyak waktu.
Lalu, Harus Mulai Dari Mana?
Seperti harus menguraikan ratusan kabel yang melilit jadi satu, berpikir mengenai berkas-berkas yang bertumpukan tanpa tahu mana yang berguna atau memang membuat pening kepala. Belum lagi persoalan terkait kapasitas penyimpanan berkas digital yang terbatas. Maka dari itu, prinsip digital declutter sebaiknya mengikuti tahapan “Golden Circle” dari Simon Sinek. Tahapan ini diawali dengan mencari tahu alasan melakukan digital declutter dalam mengelola berkas digital. Selanjutnya, kita dapat menentukan bentuk tindakan digital declutter, misalnya dengan rutin mengelola drive digital dan mengambil langkah konkret dengan rutin membersihkan tumpukan berkas digital sebulan sekali, penghapusan berkas duplikat, membuat akun khusus untuk arsip, atau pembersihan total dengan menentukan batas maksimal penyimpanan suatu berkas. Dalam menentukan berkas mana yang perlu dipertahankan dan dibuang, Jane Stoller dalam bukunya, Decluttering for Dummies (2020) menyarankan proses pengkategorian. Jika berkas tersebut bersifat sentimental atau kemungkinan akan berguna di masa depan, alangkah baiknya untuk dipertahankan. Namun, jangan simpan semua versi berkas tersebut. Perlu dipertimbangkan untuk menyimpan versi terbarunya saja.
Pengatur waktu (timer) juga dapat digunakan dalam melakukan digital decluttering sehingga dapat menjaga fokus. Contohnya dengan menggunakan time cube ataupun pengatur waktu yang ada di gawai. Misalnya ketika ingin mengerjakan decluttering pada drive penyimpanan organisasi, kita dapat mengatur timer selama 30 menit, lalu fokus dalam menghapus berkas yang tidak lagi digunakan. Jangan periksa media sosial lain seperti Instagram, Twitter, Facebook, Whatsapp, dan sejenisnya yang dapat mengganggu fokus dan konsentrasi selama pelaksanaan decluttering. Tetaplah fokus pada tugas hingga penghitung waktu berbunyi yang menandakan decluttering telah selesai. Digital declutter dapat menjadi lebih sempurna lagi ketika dilaksanakan secara rutin dan konsisten sehingga bisa tercapai peningkatan produktivitas pribadi maupun organisasi.
Memiliki berkas yang terstruktur rapi dan jelas penamaannya juga penting. Penyusunan aset digital — yang jumlahnya bisa amat sangat banyak — tidak bisa dibiarkan apa adanya dan asal-asalan. Dengan berkas yang terstruktur, tentu akan mempermudah proses pencarian, penyimpanan, hingga perawatan ke depannya. Cara paling mudah untuk menyusun berkas secara terstruktur adalah menggunakan sistem desimal. Simpelnya, setiap nama folder akan diawali dengan angka secara berurutan, kemudian subfolder di dalamnya akan melanjutkan angka awal pada nama folder tersebut. Struktur seperti ini lebih dikenal dengan nama Johnny Decimal System. Biar kami contohkan, struktur folder yang menggunakan sistem desimal seperti ini misalnya:
- 1-5 Media dan Informasi
- 2 Desain
- 3 Artikel
- 4 Publikasi
- 6-10 Hubungan Luar
- 7 Kerja Sama
- 8 Rilisan
- 9 Kegiatan
Sistem penamaan desimal juga ini bisa diterapkan pada berkas-berkas di dalamnya, sehingga inventaris dokumen pun akan lebih tersusun dan mudah dicari kembali nantinya jika diperlukan.
Dampak Positif
Digital declutter jelas membawa dampak positif. Pengelolaan berkas digital dapat meningkatkan efisiensi kerja dan waktu, memudahkan penerimaan, pengelolaan informasi, serta menghemat ruang penyimpanan.
Tentunya kemudahan dan cepatnya proses digital declutter ini sangat tergantung dengan volume/jumlah berkas yang ‘berantakan’. Belum lagi membuat mata siwer, kepala pening, dan kipas laptop berputar kencang sudah seperti turbin angin. Namun, cepat atau lambat semua orang sudah pasti perlu melakukan digital clutter, sesuai dengan kutipan dari Barbara Hemphill, “Clutter is nothing more than postponed decisions,,” alias kalau bukan sekarang, ya nanti juga diberesin.
Referensi
Barker, E. 2019. ‘Mendaki Tangga Yang Salah-Barking Up The Wrong Tree’. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Clear, J. 2018. ‘Atomic Habits’. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Neave, P.N., Briggs, P.P., Sillence, E. & McKellar, K. 2020. ‘Cybersecurity Risks of Digital Hoarding Behavior’. UK: The Center for Research and Evidence on Security Threats.
Sinek, S. 2010. How Great Leaders Inspire Action. New York, America: TED. 18 menit.
Stoller, J. 2020. ‘Decluttering for Dummies’. Canada: John Willey & Sons.