Udah Gede Kok Bacanya Masih Fiksi?

Written by: Rafsan
Illustrated by: Bima Oktavian

Hah, lo masih baca fiksi? Udah gede mah bacanya self-improvement kali. Sebuah pernyataan yang sering saya temui di dunia maya dan masih menjadi tanda tanya besar di kepala saya. Di mana korelasi antara umur pembaca dengan jenis bacaannya? Di mana pula letak salahnya?  Belakangan ini, anggapan bahwa karya non-fiksi lebih intelek dibanding karya fiksi kembali muncul. Fiksi dinilai hanya berisi cerita rekaan untuk hiburan semata, berbeda dengan non-fiksi yang dianggap berisi bacaan yang lebih nyata penerapannya sehingga dicap lebih relevan untuk orang dewasa. Hal ini menimbulkan semakin banyak orang mulai menjadikan bacaan mereka sebagai cara cepat untuk terlihat keren dan intelek di antara teman-temannya.

Fenomena keren-kerenan genre bacaan ini semakin marak seiring dengan meningkatnya akses terhadap buku. Anggapan awam mengenai pembaca non-fiksi lebih intelek menjadi salah satu pemicunya. Pernah beberapa kali saya mendengar pendapat seperti, “Sayang banget kalau baca banyak buku, tapi fiksi semua.” Pernyataan tersebut menyiratkan seolah-olah buku dengan genre fiksi tidak termasuk jenis buku yang diperhitungkan karena stigma yang melekat dengannya, yaitu sebuah bacaan yang ditujukan untuk anak-anak, hanya berisikan imajinasi penulis tanpa makna mendalam, dan hanya bersifat menghibur.

Bukan sesuatu yang aneh, baik secara sadar maupun tidak, manusia memang akan berusaha untuk mencocokkan dirinya dengan kelompok tertentu. Brehm dan Kassin (dalam Suryanto dkk., 2012) mendefinisikan kecenderungan individu untuk mengubah persepsi, opini dan perilaku mereka sehingga sesuai dengan norma-norma kelompok sebagai konformitas. Salah satu penyebabnya adalah pengaruh dari kelompok yang disukai. Misalnya, seseorang akan mencoba membaca buku yang sedang dibaca teman-temannya agar dia bisa ikut bergabung dalam obrolan mereka.

Sebelum mengulas lebih lanjut, mari kita definisikan genre fiksi ini. Menurut KBBI, fiksi adalah cerita rekaan seperti roman, novel, dan sebagainya. Dalam berbagai kesempatan, fiksi membiarkan penulis beserta pembaca berimajinasi tentang apa yang terjadi di dunia nyata melalui gambaran lain. 

Kenyataannya, fiksi bukan sekadar romansa tipikal Ibukota, karya fiksi juga dapat membahas sisi kejiwaan manusia. Misalnya Almond, karya Sohn Won-Pyung yang menceritakan dua “monster” yang saling berinteraksi untuk mengenali diri masing-masing. Kedua tokoh yang diciptakan membawa pembaca merasakan perihnya kehidupan para tokoh. 

Melalui Almond, pembaca dibawa melihat kehidupan Yunjae, tokoh utama yang mengidap Alexithymia, sebuah kondisi mental yang berhubungan dengan kesulitan mengungkapkan emosi. Yunjae bertemu dengan Gon yang justru memiliki karakter temperamental, sulit untuk menjaga emosinya. Keduanya menjadi sahabat meski dengan karakter yang saling berlawanan. Almond merupakan satu contoh buku fiksi yang mengangkat permasalahan-permasalahan kehidupan yang biasa muncul di bangku sekolah, keluarga, hingga kesehatan mental. Dengan begitu, hal ini menunjukkan bahwa fiksi tidak hanya terbatas pada imajinasi penulis namun juga bisa mengangkat isu-isu yang dekat dengan kehidupan nyata. 

Imajinasi atau rekaan inilah yang memberikan keleluasaan bagi genre ini untuk mengeksplorasi berbagai isu yang mungkin belum banyak dibicarakan orang-orang. Segala unsur di dalam cerita dapat diformulasikan secara langsung oleh penulis untuk menghadirkan kritik terhadap fenomena sosial yang ingin disampaikan. Pada akhirnya, tokoh, konflik, maupun latar hasil berimajinasi itulah yang menghadirkan perspektif baru bagi pembacanya dalam memandang sebuah masalah di sekitar mereka.

Selain itu, kritik pada masalah sosial juga tidak jarang ditemukan dalam buku bergenre fiksi. Ambillah contoh sastra klasik karya Antoine de Saint-Exupéry yang berjudul Le Petit Prince, tentang seorang pangeran kecil yang bersahabat dengan seorang pilot yang terdampar di Gurun Sahara. Terdengar konyol dan aneh, namun buku yang dibalut dalam bentuk dongeng anak-anak ini justru memiliki makna yang sangat dalam bagi orang-orang dewasa. 

Orang dewasa diharapkan mengerti makna dari kiasan tiap-tiap planet yang dikunjungi oleh Si Pangeran Kecil. Keserakahan, keangkuhan, kesoktahuan, serta kekosongan jiwa orang dewasa ditemui Si Pangeran Kecil di tiap planet yang ia kunjungi. “It is only with the heart that one can see rightly; what is essential is invisible to the eye.” Salah satu kutipan dari buku tersebut menyatakan bahwa hal-hal yang berharga hanya dapat dilihat melalui hati dan tidak terlihat dengan mata telanjang. Sebuah petuah yang diperlukan oleh kita yang seringkali menilai sesuatu dari apa yang tampak dan tidak melihat apa yang sebenarnya bersarang di dalamnya. 

Le Petit Prince mengajarkan kita untuk melihat dunia dari kacamata anak-anak. Dunia yang tidak selalu berhubungan dengan materi karena banyak sekali hal lain yang bisa kita lihat dan hargai. Le Petit Prince menjadi bukti kalau genre fiksi tidak melulu ditujukan untuk anak-anak, tapi ada banyak pesan kebajikan yang dapat diterapkan dan dipahami kendati usia pembaca. 

Fiksi, terutama yang ditulis untuk pembaca muda, memang ditulis agar mudah dipahami. Konsep yang rumit diracik sedemikian rupa agar pembaca dapat mengikuti alur cerita dan mengambil kesimpulan setelah menyelesaikannya. Dengan begitu, pesan yang disampaikan dalam buku-buku bergenre fiksi akan lebih mudah dipahami pembacanya meski dari bermacam-macam usia.

Kemudian, mari kita lihat buku karangan penulis peraih S.E.A Write Award 2020, Leila S. Chudori, berjudul Laut Bercerita. Buku yang membahas realita berbalut fiksi ini menceritakan penderitaan dan penyiksaan yang harus dialami para mahasiswa di tahun 1998. Penggambaran tuduhan, pencarian, hingga siksaan verbal maupun fisik yang diterima para tokoh tergambar dengan jelas dan membuat pembaca bergidik ngeri. Karya ini memperlihatkan bagaimana kejamnya pemerintahan di masa Orde Baru, bagaimana suara rakyat dibungkam sedemikian rupa, dan bagaimana hak asasi manusia hanya menjadi keset gombal belaka. Laut Bercerita mengizinkan kita untuk melihat kembali kisah mereka yang berjuang setengah mati (bahkan sampai mati) demi keadilan, di masa yang banyak dari kita tidak mengalaminya. 

Melalui kisah fiksi yang berlatar belakang sejarah, pembaca akan diajak untuk melihat dunia dari kacamata yang tidak bisa mereka lihat secara langsung. Tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang akan menghadirkan beragam pandangan baru bagi pembacanya, terutama dalam memandang ulang peristiwa sejarah yang menjadi dasar cerita tersebut.

Anggapan bahwa karya fiksi sama dengan hasil imajinasi penulis tanpa pesan yang berarti dibuang mentah-mentah oleh ketiga buku di atas. Almond yang mengangkat tentang sisi psikologis manusia, Le Petit Prince yang menunjukkan kerapuhan orang dewasa, dan Laut Bercerita yang mengingatkan kita kembali akan kekejaman pemerintahan Orde Baru. Ketiga bacaan tersebut membuktikan bahwa genre fiksi tidak secetek apa kata orang. 

Lalu, bagaimana dengan karya-karya fiksi lainnya yang mungkin tidak berisi pesan yang sama dalamnya dengan tiga contoh di atas? Tentu tidak masalah. Membaca adalah salah satu alternatif hiburan pribadi yang paling mudah dilakukan, dan sah-sah saja jika seseorang menginginkannya. Kadang kita terlalu terobsesi untuk menjadi produktif sampai memaksakan semua hal yang kita lakukan untuk bisa mempunya nilai. Padahal tidak selamanya harus begitu. Sesekali cobalah membaca untuk menghibur diri, atau sekedar menghabiskan waktu yang sedang senggang. Lagi pula, semua genre itu kedudukannya sama, hanya saja kebutuhan pembaca yang berbeda-beda. Jika begitu, keren-kerenan bacaan gak relevan lagi dong? Ya. Pada dasarnya, membaca adalah sebuah kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan pesan yang disampaikan oleh penulis, tidak pernah ada spesifikasi genre yang harus dibaca untuk mencapai status pembaca tertentu. Bacalah buku dengan genre yang kamu butuh dan minati, jangan apa yang orang lain nanti.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *