Menilik Sistem Pendidikan Indonesia yang “Masih” Pelik

Written by: Diah Sri Rahayu and W. S. Faraditha
Illustrated by: Bima Oktavian

If a seed of a lettuce will not grow, we do not blame the lettuce. Instead, the fault lies with us for not having nourished the seed properly.”

— C. S. Lewis

Pentingnya pendidikan tidak dapat dipungkiri oleh siapapun. Pendidikan sebagai instrumen berperan membentuk kita menjadi pribadi yang intelektual, melalui serangkaian interaksi dan eksplorasi pada kurikulum dan pendidik di institusi pendidikan. Setiap warga negara berhak menerima pelayanan pendidikan yang layak untuk menciptakan masyarakat yang berkualitas, berintelektual, berwawasan, dan terhindar dari gelapnya kebodohan. 

Tentunya, untuk membentuk masyarakat yang terdiri atas individu-individu yang mempunyai intelektualitas tinggi, diperlukan prasarana yang memadai. Namun, kualitas sistem dan pelaksanaan proses pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata ‘sempurna’. Seperti kutipan Lewis di atas, ketika sebuah benih selada tidak tumbuh, kita tidak bisa menyalahkan selada itu. Melainkan, kesalahan itu terletak di diri kita karena tidak memeliharanya dengan benar. Jika diaplikasikan ke dalam konteks pendidikan, ketika suatu negara mempunyai kualitas sumber daya manusia yang rendah, kemungkinan besar pendidikan yang disediakan memiliki akses dan kualitas terbatas sehingga negara sebagai fasilitator termasuk salah satu pihak yang bertanggung jawab. 

Dari situ, timbullah beberapa pertanyaan mengenai sistem pendidikan yang telah menempa kita selama bertahun-tahun. Sudah seberapa baikkah sistem pendidikan Indonesia dalam menyediakan sarana dan prasarana bagi anak bangsa? Lalu, seberapa baik sistem pendidikan Indonesia dalam memelihara dan memperkaya pengetahuan siswa untuk menjadi seorang intelek?

Sistem pendidikan di Indonesia masih mempunyai kesenjangan yang sangat lebar antara cita-cita dan realita. Padahal, anak-anak di Indonesia mempunyai kesempatan yang lebih baik untuk berada di sekolah dibandingkan masa-masa sebelumnya. Tetapi menurut UNICEF Indonesia (n.d.), masih ada sekitar 4,4 juta anak-anak dan remaja di umur 7 hingga 18 tahun yang masih tidak bersekolah. Perihal ini terlihat jelas sebagaimana yang dicerminkan berbagai faktor dalam pendidikan seperti dukungan pemerintah untuk sektor pendidikan yang masih relatif rendah, lemahnya sektor manajemen di institusi pendidikan, inferioritas sumber daya pendidikan, efisiensi dan efektifitas pembelajaran yang lemah, dan lemahnya standar evaluasi pembelajaran (Munirah, 2015). Seperti yang kita ketahui, telah menjadi hak warga negara untuk memperoleh pendidikan seperti yang tercantum dalam Bab III UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memperoleh pendidikan dan berhak atas kesempatan yang sama untuk mengikuti pendidikan. Sayangnya, ide ini belum berhasil direalisasikan Pemerintah Indonesia secara optimal. 

Belum terealisasikannya Bab III dalam UU No. 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional membuktikan bahwa terdapat kesenjangan pendidikan bagi warga negara yang sangat dipengaruhi kurang memadainya kualitas pendidikan di Indonesia. Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini masih dikatakan rendah meskipun telah mengalami kemajuan beberapa tahun belakangan yang dibuktikan oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia di tahun 2021 mencapai 72,29, meningkat 0,49% dibandingkan capaian tahun 2020 yang sebesar 71,94. Meskipun begitu, perlu ditekankan juga bahwa peningkatan IPM Indonesia masih tergolong lambat dan belum memuaskan akibat keterbelakangan pendidikan di Indonesia. 

Keterkaitannya keterbelakangan pendidikan dengan kondisi kualitas pendidikan yang memprihatinkan ini ternyata disebabkan oleh beberapa permasalahan dalam lingkup pendidikan itu sendiri, salah satunya kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan di masyarakat terutama masyarakat daerah yang terpencil (Nurjamilah dan Ukhrotunnasihah, 2018) yang besar akan kemungkinan berimbas pada kemampuan anak untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan merata (Yuniarti, 2019). Anak-anak termiskin, anak-anak penyandang disabilitas, dan anak-anak yang tinggal di bagian negara yang kurang berkembang adalah yang paling berisiko tidak terjangkau oleh sekolah (UNICEF Indonesia, n.d.). Alhasil, kurangnya kesadaran di masyarakat turut berdampak pada seberapa tingginya urgensi pemerintah dalam meningkatkan penyebaran tenaga pendidik ke masyarakat di pelosok sehingga peningkatan pendidikan senantiasa terjadi di wilayah-wilayah yang “sudah” dan/atau “lebih” maju.

Terkonsentrasinya peningkatan pendidikan di wilayah-wilayah yang sudah lebih maju menyebabkan tidak meratanya penyebaran tenaga pendidik sebagai aktor pendidikan di wilayah-wilayah yang memiliki angka keterbelakangan pendidikan tinggi. Oleh karena itu, hal ini berdampak pada penurunan tingkat pendidikan dan menurunnya jumlah anak-anak yang mendapatkan akses pendidikan. Tentu ini membahayakan masa depan mereka untuk menjadi individu yang terdidik dan berkesempatan untuk memajukan komunitas lokal di daerahnya. 

Faktor lainnya, kesejahteraan pendidik terutama pendidik honorer masih kurang dari perhatian penuh pemerintah. Padahal guru berperan strategis sebagai aktor pembentuk kualitas sumber daya manusia (SDM). Meskipun pemerintah sudah melakukan beberapa upaya untuk meningkatkan kesejahteraan hidup guru, kualitas pengajaran, dan kualitas siswa seperti yang dicerminkan oleh meningkatnya kesejahteraan guru berstatus PNS melalui pemberian tunjangan profesi guru (Surbakti, 2019), kesejahteraan guru honorer masih di ambang ketidakpastian dan bergantung pada sekolah penempatan, sementara kesejahteraan guru swasta bergantung pada yayasan pendidikan tempat mereka bernaung. 

Adapun tersedianya guru-guru yang kompeten berperan besar dalam menciptakan suasana belajar yang baik dan mendorong perkembangan siswa (Ramdani, Amrullah, dan Tae, 2019). Sayangnya, hal ini membutuhkan kolaborasi antar elemen pendidikan yang masih rendah di Indonesia. Sebab itu, perlu disadari bahwa kolaborasi antar elemen pendidikan berperan penting dalam meningkatkan sistem pendidikan nasional di berbagai aspek institusi pendidikan. 

Pendidikan secara fundamental telah menjadi urusan politik dan kekuasaan. Maka dari itu, dalam memperbaiki permasalahan pendidikan diperlukan solusi-solusi yang melibatkan banyak faktor terutama politik dan kekuasaan. Jika para pemangku kebijakan mempunyai perspektif yang berorientasi pendidikan, maka ini akan jauh mempermudah penyelesaian akan permasalahan pendidikan di Indonesia ini. Beberapa solusi penyelesaian bisa termasuk penggunaan teknologi yang semakin mutakhir, peningkatan pendidikan guru, dan pengeluaran pendidikan yang lebih memadai.

Terlihat akhir-akhir ini, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan semakin meningkat. Alokasi dana tambahan memungkinkan pengalaman belajar yang lebih memperkaya pendidikan siswa Indonesia. Misalnya, dengan peningkatan belanja, ada anggaran yang lebih besar untuk mempekerjakan lebih banyak guru. Pada tahun 2017, rasio siswa-guru turun dari 20:1 menjadi 16:1 di sekolah dasar (The Borgen Project, 2021). Masih menurut The Borgen Project (2021), bahwa pendidikan bagi guru menjadi hal penting dalam memberikan pembelajaran yang lebih berkualitas, karena per 2006, angka pendidik yang mempunyai gelar pendidikan dari perguruan tinggi hanya 200,000 dari 1,25 juta. Rendahnya angka ini membuat peraturan untuk mewajibkan calon pendidik untuk menyelesaikan pendidikan tinggi empat tahun dalam bentuk gelar atau diploma tingkat tinggi.  Selain itu, untuk dapat dianggap memenuhi syarat sebagai pendidik sekolah umum, seseorang harus menjalani persyaratan sertifikasi dan pelatihan yang lebih ketat. Lalu, diperlukannya aksesibilitas pembelajaran jarak jauh yang sekarang telah semakin banyak digunakan sejak pandemi melanda. Meski begitu, pembelajaran jarak jauh ini mempunyai tantangan tersendiri karena elemen utamanya adalah internet dan perangkat elektronik. Negara harus lebih memperhatikan kekurangan dari pembelajaran jarak jauh ini demi menciptakan kondisi pembelajaran yang inklusif dan aman.

Pemaparan di atas setidaknya membuat kita sedikit lebih memahami sebagian besar faktor-faktor apa saja yang berkontribusi pada kondisi sistem pendidikan Indonesia yang masih begitu pelik, sistem pendidikan di Indonesia yang masih belum secara memadai dan merata melayani siswanya. Sebagian besar dari permasalahan di sistem pendidikan ini sangat bersifat struktural sehingga memerlukan sumber daya yang besar dan waktu yang tidak sedikit untuk memperbaiki sistem sebesar sistem pendidikan. Beberapa solusi yang ditawarkan sebelumnya hanyalah langkah awal dari perubahan besar yang harus dilakukan pemerintah. Maka kita pahami bahwa tindakan penyelesaian permasalahan pendidikan tersebut bukanlah suatu hal yang mudah. Mengingat masalah-masalah tersebut sangat kompleks dan struktural sehingga membutuhkan proses yang panjang serta kolaborasi  yang melibatkan berbagai elemen, baik pemerintah, instansi pendidikan, maupun masyarakat.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *