
Ditulis oleh: Suci Lestari Palijama
Ilustrasi oleh: Lisa Kalystari
Usia ke-18 membuat saya pesimis. Isi hidup ini kelihatannya cuma persaingan. Istirahat sebentar saja nyatanya bisa membuat saya tertinggal 3-5 langkah dari kawan-kawan yang lain. Harus terus berpacu, harus terus bergerak, harus terus aktif. Tak sengaja saya intip sebentar, teman bangku sebelah yang sedang asyik menata akun LinkedIn-nya. Wih, sibuk betul dia, pikir saya. Segala rupa prestasi, organisasi, dan kegiatan relawan, berbaris rapi seakan pertanda ia anak cerdas, calon generasi dengan masa depan gemilang yang akan harumkan nama bangsa dan negara, serta pastinya tak masuk golongan “beban orang tua”.
Masih kurang. Begitulah cara saya mendeskripsikan diri saya. Serba-serbi kurang. Nasib dari dulu. Pensil di tangan selalu kaku bergerak saat guru SD memberi selembar kertas buram sambil meloloskan perintah “Coba tuliskan lima kelebihan kalian!” Saya tak punya apa-apa. Jika punya pun, pasti “masih kurang” dibanding orang lain. Barangkali analoginya seperti ini: prestasi saya rasanya bisa ditulis dalam satu kalimat polos yang langsung diakhiri tanda titik; berbeda dengan kawan saya yang meski prestasinya digambarkan pula dalam satu kalimat, milik mereka punya banyak koma di dalamnya, begitu banyak sampai sebelum titik harus diakhiri kata “dan lain-lain”. Begitu banyak sampai menyebut semuanya pun terasa “ribet”.
Tapi, hari ini muaknya saya akan segala macam hal yang “dikompetisikan” dalam hidup ini membuat saya tertarik untuk menawarkan diri saya suatu perspektif yang berbeda. Entah untuk menyemangati diri atau justru naif. Segala macam bentuk membandingkan diri kita dengan orang lain ini agaknya melawan hukum alam. Ada beberapa kebodohan pula yang turut saya buat dengan konstan melakukan ini.
Pertama, saya mendevaluasi pribadi seseorang. Prestasi dan penuhnya CV jadi alasan saya mengagumi seseorang. Saya gagal menghargai ia sebagai manusia yang seutuhnya. Daripada mengagumi prestasi, sepertinya akan lebih baik untuk mulai berkawan baik dengan mereka dan melihat keringat mereka selama berproses untuk mendapat semua capaian itu.
Kedua, ngaso jadi terasa ngawur di mata saya. Rugi bandar saya dengan pemahaman kacungan ini. Saya diperbudak oleh kekhawatiran yang tidak nyata yang dibuat-buat pikiran saya sendiri. Begitu banyak hal kecil yang saya lewatkan untuk nikmati hanya karena takut kalah saing. Hangatnya matahari pagi, obrolan santai dengan ayah bunda, roti isi keju kesukaan saya, burung gereja yang datang dan pergi di taman setiap pagi. Semua terbuang begitu saja. Ah, saya memang bodoh, tampaknya kini nurani ini sudah tumpul sangking seringnya membuang syukur.
Ketiga, saya menipu diri saya sendiri. Saya gagal paham bahwa “buang waktu” jelas tak sama dengan “belum waktunya.” Saya jadi pribadi yang hanya menghargai hasil tanpa menitikberatkan pada proses. Yang saya cari selalu cetak tebal kata “SELAMAT” di tiap surel hasil pengumuman lomba. Bila ada, artinya kerja keras saya berbuah manis. Bila tak ada, artinya saya mutlak gagal dan buang waktu. Saya melewatkan pertanyaan paling penting dari setiap pengalaman yang saya lewati: apa yang bisa kamu pelajari dari sini? Yang saya tahu cuma narasi dikotomis gagal-berhasil. Walah, kelihatan betul bahwa sudah jadi hobi saya untuk bikin repot diri sendiri.
Kata “dan lain-lain” di akhir menyiratkan rentetan pengalaman yang barangkali bukan untuk jadi gengsi, boleh jadi karena itu cuma sisi lain kehidupan— bukan bagian inti—jadi tak perlu disebutkan detailnya. “Dan lain-lain” itu jadi kosong saat prosesnya sendiri gagal untuk dinikmati dan dimaknai.