Ravi, Ramalan, dan Janji

Ditulis oleh: Adinda Saskia Nurfauzia
Disunting oleh: Wulan Faraditha & Ghafi Reyhan
Ilustrasi oleh: Lisa Kalystari

Di tengah hiruk pikuk kantin di jam istirahat kedua, bukan lagi hal yang aneh melihat Kayla duduk sendirian di ujung ruangan. Tiga kali pundaknya tersenggol murid-murid lain yang berlalu lalang, namun Kayla tidak sedikit pun terusik. Perhatiannya tertuju penuh pada mie ayam yang didapatkannya tadi dengan mengantri seperempat jam. 

Hal yang aneh itu kalau tempat kosong di depan Kayla tiba-tiba saja terisi. Itu bisa jadi karena mie ayam pakde terlampau lezat atau Kayla memang tidak peduli dengan sekitarnya. 

“Ekhem.” 

Kayla menengadah hanya untuk melihat raut kesal Dinar yang merasa kehadirannya tidak dihiraukan Kayla. Di samping Dinar, duduk seorang laki-laki yang asik bermain game di ponselnya. 

Dinar menyikut perut laki-laki tersebut. “Ravi, ini Kayla, yang bisa ramal itu.” 

Ramal. Kayla pikir ia sudah terbebas dari dekapan kata tersebut. Tidak, tidak lagi. Mendengar lima huruf itu saja membuatnya muak dan mengingat betapa bergantungnya ia  dahulu dengan ramal… Kayla ingin bumi menelannya bulat-bulat serta menghilangkan semua jejak memori yang terjadi bulan lalu. 

“Iya, gue juga bisa liat,” ujar Ravi tanpa sekali pun mengalihkan pandangannya dari ponsel yang dipegangnya. 

Dinar menghembuskan nafas keras layaknya seorang ibu yang baru saja menemukan anaknya masih terbalut selimut ketika matahari hampir terbenam. “Bisa lihat apa? Dari tadi lo main HP terus?!” 

Ravi berdecak dan menaruh ponselnya di atas meja. “Puas?” 

Dinar tersenyum lebar. “Kayla, jadi Ravi ini mau diramal juga sama lo.” “Lebih tepatnya gue dipaksa sama Dinar,” koreksi Ravi. 

“Soalnya, Ravi ini atlet taekwondo, Kay,” imbuh Dinar. Ia berhenti sejenak lalu memajukan badannya. “Waktu turnamen kemarin, dia kalah. Orang tuanya marah deh, udah nilai turun, gak dapet medali pula.” 

“Din,” kata Ravi pelan, berusaha menghentikan Dinar membongkar kehidupan pribadinya. 

“Tapi, bener ‘kan? Bantuin Ravi ya, Kay? Mungkin lo pikir ngapain bantuin cowok yang kerjaannya mabar doang—”

“DINAR,” tegur Ravi. Ia mengerutkan alisnya dan susah payah menahan segala bentuk umpatan untuk dilontarkan kepada Dinar namun perempuan dengan rambut sebahu itu sama sekali tidak terpengaruh. 

“Kalau lo ramal hasil pertandingan Ravi nanti, at least kita bisa minimalisir kerusakannya. Misalnya, nanti Ravi kalah, dia bisa fokusin belajar. Seandainya Ravi menang, boleh latihan tiap hari. Lo mau bantuin sepupu gue yang bego ini gak, Kay?” 

Kayla diam terpaku menatap sepasang sepupu itu dihadapannya. Kayla ingin sekali bisa membantu. Asal saja ia bisa membantu. 

“Kay?” 

Kayla berdeham. “Gue harus ke kelas.” 

Tangan Kayla yang membawa mangkuk ditahan Dinar. “Lo gak mau bantu?” ada nada kecewa di suara Dinar. Kayla benci mendengarnya. Batinnya bergemuruh. Sebesar apapun keinginannya untuk membantu, Kayla takkan pernah bisa melakukan sesuatu yang tidak bisa dilakukannya dari awal. 

Kayla mematikan jam di pergelangan tangannya yang berbunyi. Tiga jam sudah berlalu sejak bel pulang sekolah berdering. Langit telah berganti warna, dari terang menjadi gelap, dari yang menandakan awalnya hari hingga mengingatkan waktunya merehatkan diri. Seandainya manusia juga bisa berganti, pikir Kayla. Dari yang awalnya dibenci, bisa jadi disayangi. Bukan seperti dirinya yang malah dibiarkan sendiri. 

Kayla mengutuk lampu toilet sekolahnya yang tidak berfungsi. Selagi menyalakan senter, Kayla melihat pantulan dirinya. Ia menghela nafas, well, inilah akibat menangis dengan durasi lama. Kayla membasuh wajahnya yang sembab tak karuan lantas buru-buru keluar dari tempat lembab itu. 

Tempat yang juga dibencinya. Di mana, tanpa Kayla tahu alasannya, sebuah ember berisi air kotor dilemparkan ke arahnya ketika ia keluar dari salah satu bilik toilet. Byurrr. Begitu saja. Dan suara tawa yang bergema terdengar selanjutnya, God, Kayla akan melakukan apa pun untuk bisa menghancurkan suara-suara itu. 

Kayla masih anak baru saat itu, ia belum mengenal teman sekelasnya serta dalam proses beradaptasi dengan lingkungan SMA. Tetapi, setelah sekumpulan kakak kelas menaruh perhatian pada Kayla, ia kehilangan kesempatan untuk berteman bahkan untuk hidup tenang. Semua menjauh, menutup telinga dan mata, seolah tidak terjadi apa-apa pada Kayla, seperti Kayla tidak ada. 

Katanya, penyebab mereka melakukan itu karena Kayla menyenggol dan melayangkan tatapan sinis ke salah satu dari mereka di hari pertamanya, hal yang sama sekali Kayla lepaskan dari ingatannya sebab ia terlambat hari itu. Mereka pikir Kayla perlu diajari sopan santun. Orang tua Kayla tidak pernah mengajarkan tata krama dengan cara seperti itu. Tidak

seorang pun pernah membuat Kayla ketakutan, kecuali kehadiran dan segala sesuatu yang berkaitan dengan mereka. Kayla bahkan takut untuk angkat bicara, takut dengan kemungkinan bahwa tidak ada pihak yang akan berdiri di sampingnya. 

Tetapi, mau sampai kapan? Dua minggu sudah Kayla bertahan, ia sudah cukup dan memutuskan untuk mengakhiri mimpi buruknya. Jadi, tanpa pikir panjang, tepat sebelum gunting mereka menyentuh rambut Kayla, ia menahan telapak tangan salah satunya, dan berkata, “Lo bakal menderita klamidia. Your hand tells me that.” 

Mungkin, kalian bertanya-tanya. Harus banget klamidia? Kenapa gak kanker sekalian? Well, Kayla hanya ingin semuanya selesai, never in million years Kayla berangan-angan ini berakhir karena lanturan spontannya. 

Mereka bodoh dan percaya dengan segala hal, Kayla seharusnya menyadari itu sejak awal. Atau, mereka tidak sebodoh itu untuk melepaskan Kayla begitu saja? Karena keesokan harinya tersebar rumor bahwa Kayla bisa meramal masa depan hanya dengan menggenggam pergelangan tangan. Dan, BOOM! 

Banyak yang yakin Kayla benar-benar memiliki bakat terpendam itu dan datang menghampiri Kayla. Ia sempat kewalahan untuk berbohong sana-sini, tetapi Kayla bersyukur karena setidaknya: 1) Kayla terlalu sibuk meladeni teman-temanya untuk membiarkan kilas balik menyedihkan menguasai dirinya, 2) Kayla mempunyai kenalan baru! 

Namun, seiring waktu murid yang menghampiri Kayla berangsur berkurang, lalu menghilang. Kayla sendirian lagi. Beberapa minggu kemudian, Dinar datang, kembali mengorek luka Kayla yang telah sembuh. Atau belum. Kayla hanya tidak menyadari bahwa di dalam dirinya masih ada kotak memori yang siap meledak dan menghantui Kayla dengan ketakutan yang dulu pernah dirasakannya.

“Lo habis nangis.” 

Kayla membelalakan matanya. Tunggu, sejak kapan ia dan Ravi bersama-sama ada di luar toilet lantai dua ini? 

“Dari lapangan, kelihatan putih-putih, gue kira hantu. Pas disamperin, ternyata seragam lo. Minus gue pasti nambah,” kata Ravi menjawab keterkejutan Kayla. “Ngapain sih, di sini? Tadi ada hantu beneran ya?” 

“Ya, enggak lah,” elak Kayla. 

“Bagus, deh. Gue boleh minta tolong gak, Kay?” 

Kayla mengangguk. Bahkan di kegelapan, Kayla dapat melihat tiga tahi lalat yang membentuk konstelasi di pipi Ravi. Keren, batin Kayla. 

“Terima kasih. Udah banyak yang bilang gue keren. Lo ke … 606,” jawab Ravi. Kayla terkejut menyadari suara batinnya telah terselip ke luar mulut.  

Kayla membantu Ravi menahan pintu gudang agar tidak tertutup selagi Ravi menyimpan dan merapikan peralatan taekwondo seperti matras, sand-sack, dan protector. Ia juga memegang ponselnya agar bisa menerangi ruangan. Ada apa dengan sekolah ini? Pertama, lampu toilet lantai dua, lalu lampu gudang, dan pintu gudang juga rusak?! 

Kayla ingin menarik ucapannya tadi. Ravi memang sekeren itu. Ravi berlatih taekwondo seorang diri sampai petang cukup membuktikan bahwa ia bersungguh-sungguh dan pantas untuk ikut di turnamen selanjutnya. Kayla berdoa agar orang tua Ravi bisa memberi dukungan yang dibutuhkan laki-laki itu karena Kayla sangat yakin Ravi berhasil. Meski lucunya Kayla bahkan belum pernah melihat Ravi bertanding, namun mengetahui Ravi menjadi perwakilan sudah cukup jelas bahwa Ravi seorang juara. 

“Terima kasih, Kay,” ucap Ravi seraya keluar dari gudang. “Sebenernya bisa sendiri. Tapi, seperti yang gue bilang, gue gak mau dikunciin lagi di gudang sama Pak Hendra.” 

Kayla mengangguk. Beberapa waktu yang lalu, Pak Hendra mengira sangatlah aneh melihat pintu gudang diganjal sebuah sepatu tanpa pemilik, lantas beliau mengambil sepatu tersebut, lalu pintu tertutup, kunci yang tergantung di pintu tidak lama berputar mengunci, dan Ravi yang malang perlu menunggu satu jam kemudian hingga akhirnya seseorang mendengar teriakannya. 

Sekarang Ravi sedang menulis sesuatu di atas secarik kertas. Kayla memperhatikan bibirnya mengerucut selagi tangannya menulis huruf demi huruf. Setelah selesai, mata coklat Ravi berpapasan dengan mata Kayla. “Lo tau ‘kan gue jago taekwondo?” ujar Ravi. Ia menjulurkan kertas yang selesai ditulisnya. “Nomor ini bisa buat untuk  meramal juga.” 

Kayla terkekeh. Ia berdiri di depan Ravi dengan jarak beberapa jengkal, namun alis Ravi yang mengangkat penasaran menunggu respon atau sorot matanya yang membuat Kayla hanyut selama sesaat, sama sekali tidak memberi tahu Kayla arah pembicaraan ini. “Ramal apa?” 

“Ramal nasib orang jahat,” ucap Ravi semangat, senyumnya merekah. “Jadi, tinggal kirim nama orang yang jahatin lo. Nah, nasibnya bisa dipastikan ada di rumah sakit atau minimal luka-luka ringan, lah.” 

“Kayak gitu ramalan?” 

“Bukan, sih. Itu janji.”

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *