Aktivisme Media Sosial: Banyak Interaksi, Singkat Narasi, Minim Substansi?

Ditulis oleh: Muhammad Rafsan Aryakusumah
Disunting oleh: Zania R Putri, Fauzan Abdul, Ghafi Reyhan
Ilustrasi oleh: Rievan Rizky Putranto

Tren aktivisme di media sosial bukan barang baru di Indonesia. Bentuk solidaritas melalui donasi, tagar, sampai seruan melakukan aksi sudah sering terjadi. Selama kondisi pandemi, tren ini kembali mencuat tidak hanya di Indonesia tapi juga banyak negara lain.

Gerakan ini mudah sekali mengumpulkan pengikut. Tidak perlu repot-repot turun ke jalan atau menyusun retorika intelek, cukup dengan menyukai, mengomentari, serta membagikan suatu unggahan bernarasi tertentu dan kalian sudah menjadi bagian dari gerakan melawan ketidakadilan. 

Aksi politis lewat media sosial tanpa perlu usaha atau komitmen ini dikenal dengan slacktivism, istilah yang memadukan kata activism dengan slacker yang berarti pemalas. 

Sayangnya, karena beradaptasi dengan wadah digital, aktivisme media sosial justru sering kali lebih mengejar angka-angka interaksi alih-alih tujuan utama aksinya.

Menurut Lim (2013), kultur konsumerisme memiliki andil yang cukup besar dalam kegiatan aktivisme seperti ini. Konsumerisme tumbuh dengan pandangan bahwa seberapa cepat sesuatu dapat diakses atau dikonsumsi lebih penting daripada kualitasnya. Industri fast food, fast fashion, dan bisnis serba instan lainnya menerapkan gagasan yang sama dengan kultur ini, bahwa konsumen tidak suka menunggu. Maka dari itu, kita dapat menemukan tiga konsep utama di balik “kesuksesan” slacktivism: light package (konten ringan yang mudah dipahami), headline appetite (informasi dibuat singkat, padat, jelas), dan trailer vision (penyederhanaan narasi).

Penyederhanaan narasi ini sering kali muncul dalam bentuk framing, yang ironisnya masih berkiblat pada teknik-teknik yang dipakai media arus utama, meski gerakan-gerakan ini berakar pada media sosial.

Mengutip Remotivi (2015), framing atau pembingkaian adalah cara media mengemas sebuah informasi mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Ia tidak berbohong, tapi mencoba membelokkan fakta dengan halus melalui penyeleksian informasi.

Framing yang populer biasanya menarasikan masalah dengan sudut pandang good vs evil. Kedua pihak yang bermasalah dihitam-putihkan sehingga mengabaikan kompleksitas masalah yang mungkin ada. Dengan narasi tersebut, masyarakat secara mudah akan berpihak pada “si Baik” yang diberitakan media. Simplifikasi masalah seperti ini mudah sekali dilakukan oleh para inisiator gerakan dalam kiriman yang mereka bagikan.

Selain good vs. evil, teknik framing lain yang sering digunakan adalah victimisation framing. Pembingkaian semacam ini menghadapkan dua pihak yang berseteru, biasanya antara seseorang atau perusahaan besar yang berpengaruh dengan individu atau kelompok yang lebih lemah, dengan penggambaran pihak yang lebih kuat sebagai “penjahatnya”. Kisah kejahatan melawan kebaikan merupakan narasi populer yang digemari masyarakat, yang juga sering mereka jumpai di banyak cerita sejarah, religi, maupun fiksi sehingga sangat mudah untuk memikat mereka. Melalui cara ini, berita dapat disajikan secara sensasional dengan bungkusan ringan dan menarik.

Cara lain media atau inisiator gerakan untuk menarik simpati publik adalah dengan mengaitkannya dengan peristiwa populer. #GejayanMemanggil membawa Jalan Gejayan, area yang sering dijadikan tempat unjuk rasa mahasiswa Yogyakarta dan saksi bisu kerusuhan mahasiswa dengan aparat tahun ’98. Ada pula cara media menarasikan Setya Novanto dalam kasus Papa Minta Saham yang mengambil plesetan dari skema penipuan Mama Minta Pulsa yang muncul di dekade awal 2000an.

Kampanye seperti ini memang efektif dalam menyebarkan sebuah ide, gagasan, atau cara berpikir secara masif. Gerakan #MeToo, #BlackLivesMatter, bahkan #Reformasidikorupsi adalah contoh nyata betapa besarnya jangkauan kampanye digital melalui prinsip-prinsip tadi.

Penggunaan beragam strategi pengemasan informasi ini tidak menandakan kalau konten yang dihasilkan adalah berita bohong atau misinformasi. Malahan, strategi seperti inilah yang justru membuat gerakan-gerakan ini menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat. Hanya saja, jika pengemasan sebuah gerakan lebih menarik dibandingkan isinya, apa permasalahan yang diangkat akan benar-benar dipahami oleh masyarakat?

Many clicks, but little sticks!

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bisa kembali melihat temuan Merlyna Lim pada esainya yang berjudul Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia. Di sini, Lim menggunakan kasus Koin Peduli Prita sebagai salah satu contoh “kesuksesan” aktivisme media sosial. Pada 2009, Prita dituntut oleh RS Omni atas keluhannya dalam sebuah surel. RS Omni menggunakan UU ITE untuk menuntutnya ke pengadilan. Pengadilan Tinggi Banten menghukum Prita membayar Rp204 juta rupiah atas tuntutan tadi. Melihat ketidakwarasan hukum yang berlangsung, masyarakat mulai mengeluarkan protes di media sosial.

Tidak butuh waktu lama untuk protes tersebut berubah menjadi gerakan sosial yang terjadi di banyak wilayah Indonesia dengan payung bernama Koin Peduli Prita. Singkat cerita, Prita dinyatakan tidak bersalah dan koin yang terkumpul diberikan ke organisasi amal untuk membantu “Prita” lainnya.

Meski koin tidak jadi dipakai untuk tujuan awal, gerakan Koin Peduli Prita sukses mengumpulkan simpatisan. Kampanye yang bermula di Jakarta itu mulai menyebar ke kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Surabaya, Yogyakarta, dan kota-kota lainnya. Bahkan, komunitas-komunitas Indonesia dari berbagai negara pun turut membantu aksi ini. Koin yang terkumpul pada akhirnya mencapai Rp. 800 juta, jauh melampaui denda yang diberikan pengadilan.

Kampanye seperti ini memang dapat sukses mengumpulkan banyak interaksi. Tapi seperti yang kita tahu, jumlah angka kadang tidak sejalan dengan kualitasnya. Penyederhanaan substansi jadi alasan utama kenapa angka yang banyak tadi tidak menjamin terjadinya perubahan. Seperti judul esainya, many clicks but little sticks!

Dalam kasus gerakan Koin Peduli Prita sendiri kita dapat melihat hal ini terjadi. Gerakan ini mengalami pertumbuhan yang besar di Facebook setelah mendapat pemberitaan media arus utama, khususnya televisi. Namun, Lim menyebutkan bahwa media memberitakan kasus ini lewat sudut pandang victimisation framing, dan dengan demikian sering kali abai akan detail-detail yang membentuk kompleksitasnya.

Selain itu, bukan hal yang mudah pula untuk menerjemahkan jumlah engagement tersebut menjadi mobilisasi sosial nyata. Kebanyakan interaksi hanya dihasilkan dari fenomena bandwagon effect—alias ikut-ikutan. Mungkin tidak sedikit yang sebenarnya kurang memahami substansi yang diperkarakan. Akibatnya, sulit sekali untuk mencapai perubahan yang berusaha dicapai aksi tersebut. Jika kita melihat kembali pada kasus Koin Peduli Prita, Lim menemukan sejumlah simpatisan yang bergabung hanya karena orang-orang di sekitarnya ikut bergabung. Kita memang tidak bisa menggeneralisasi seluruh simpatisan, tapi tekanan untuk fit in tidak bisa dipungkiri membuat banyak orang ‘bersimpati’ dengan kasus ini. Tentu ini tidak masalah, tapi lagi-lagi: many clicks but little sticks.

Aktivisme digital lainnya seperti menandatangani petisi daring juga tidak banyak membantu dengan alasan yang sama. Bagi tujuan kolektif mungkin ia bisa membantu meningkatkan kesadaran di masyarakat. Namun di sisi lain, ini hanya jalan pintas bagi kita-kita yang tidak mau ambil pusing dalam mencari cara berkontribusi. Tinggal klik-klik saja kita sudah bisa bergabung dengan ribuan orang lain yang sama malasnya.

Kalau ingin dipukul rata, memang tidak ada gerakan aktivisme yang bisa menjamin keberhasilan. Keberhasilan sendiri kadang masih menggunakan tolak ukur yang berbeda-beda. Pada aktivisme media sosial cara mengukurnya lebih abu-abu lagi, ada yang hanya melihatnya dari angka ada pula yang menuntut tenaga. Bahkan ketika jangkauan yang mereka miliki sangat luas, hal ini akan tetap menyisakan sebuah pertanyaan.Seperti gambar meme di internet yang saking seringnya dibagikan malah kehilangan pikselnya sampai kabur dan tidak terbaca, kampanye media sosial mungkin berhasil menyebarluaskan sebuah pesan, tapi kalau sampai penyederhanaan narasi mengorbankan substansi, apa pesannya benar-benar tersampaikan?

REFERENSI

Merlyna Lim. 2013. Many Clicks but Little Sticks: Social Media Activism in Indonesia. Journal of Contemporary Asia. http://dx.doi.org/10.1080/00472336.2013.769386. Diakses 15 Juli 2021.

Tempo. 2009. Warga Antusias Dukung Koin Peduli Prita. Tempo. https://nasional.tempo.co/read/212047/warga-antusias-dukung-koin-peduli-prita. Diakses 18 Juli 2021.

Remotivi. 2015. Framing: Cara Media Memanipulasi Informasi. Remotivi. https://www.remotivi.or.id/video-detail/5. Diakses 20 Juli 2021.Rizky Wika. 2019. Gejayan Memanggil dan Aksi Pergerakan Mahasiswa di Yogyakarta. Detik. https://news.detik.com/berita/d-4717325/gejayan-memanggil-dan-aksi-pergerakan-mahasiswa-di-yogyakarta. Diakses 27 Juli 2021.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *