Papua dalam Media Kita

Created by Kolom Remaja Summer Bootcamp Participants
Author: Suci Lestari
Illustration: Ratna Kusuma

“Journalism is printing what someone else does not want printed: everything else is public relations.”

Idealisme jurnalistik media barangkali dapat diilustrasikan lewat kutipan masyhur lontaran George Orwell tersebut. Media, idealnya, berfungsi untuk membuat reportase yang membawa perspektif baru meski narasi yang ditawarkan terkesan kontroversial bagi publik dan berkemungkinan mendegradasi penguasa. Dalam dialog mengenai konflik Papua dan Papua Barat, alih-alih menawarkan laporan konflik yang sistematis, media konvensional cenderung lebih marak menawarkan narasi satu dimensi yang terbatas pada pernyataan pemerintah. Media menyulap pemerintah menjadi si protagonis yang meredam kebrutalan masyarakat Papua dan kekerasan aparat menjadi bentuk penertiban yang “pantas” bagi masyarakat Papua. 

Ancaman kekerasan dan represi aparat terhadap jurnalis lokal Papua membuat liputan mereka juga kerap gagal menangkap nuansa konflik yang sesungguhnya terjadi. Ungkapan “tangan yang terikat” mungkin tepat untuk menggambarkan bagaimana kebanyakan dari mereka terpaksa mempraktikkan self-censorship di mana pemerintah dan aparat menjadi sumber tunggal reportase konflik. Format berita yang digunakan juga acapkali menggunakan bentuk berita pernyataan (talking news), yakni berita berdasarkan subjektivitas narasumber yang mengabaikan fakta empiris (banyak wawancara, kurang reportase lapangan). Konflik Papua juga menarik perhatian jurnalis asing untuk mempertanyakan akuntabilitas pemerintah akan nasib rakyat Papua, akan tetapi peliputan mereka kerap terhalang mekanisme clearing house yang diimplementasikan oleh  sejumlah kementerian atau lembaga negara untuk “menyaring” nama-nama jurnalis yang akan masuk ke Indonesia. Kini, patut kita pertanyakan apakah media sudah menjalankan fungsinya sebagai pengawas pemerintah dan menyuarakan aspirasi rakyat, atau justru sekedar “tim public relation” pemerintah dan aparat untuk mendulang citra positif mereka? Iklim jurnalisme seperti inikah yang kita inginkan? 

Produk jurnalisme Indonesia yang mengulas konflik Papua memiliki kecenderungan untuk terjebak pada mekanisme war journalism. Untuk mengenali war journalism, pada dasarnya, mudah. Praktik penggunaan narasi elitis secara dominan dalam liputan termasuk dalam salah satu aspek dari war journalism. Tipe jurnalisme ini dimanifestasikan sebagai reportase yang berfokus pada liputan kekerasan dan memisahkan konflik dari konteksnya yang lebih luas, baik dalam konteks waktu—dengan gagal melaporkan semua faktor yang secara historis dan holistik mungkin menyebabkan timbulnya konflik—maupun konteks ruang—dengan gagal melaporkan  semua pihak yang mungkin terkena dampak konflik (Michelis, 2018). 

Ada dua aspek lain yang turut mengindikasikan mekanisme war journalism dalam pemberitaan Papua. Pertama, peliputannya yang berorientasi pada eksploitasi kekerasan dan sensasi. Media mempertajam pertikaian dengan menawarkan narasi dikotomis “kita” versus “mereka” sehingga terbentuk pemahaman bahwa kemenangan terletak pada dominasi satu pihak atas pihak lain. Hal ini dapat terlihat dari cara media memberitakan insiden perusakan tiang bendera di asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Media Detik, misalnya, merilis berita dengan judul “Tolak Kibarkan Merah Putih, Asrama Mahasiswa Papua Digeruduk Warga.” Kalimat “tolak kibarkan merah putih” nyatanya merupakan hasil tanggapan massa reaksioner, bukan berdasarkan pada fakta lapangan. Judul-judul berita yang menstigmatisasi mahasiswa Papua dengan menyebut mereka “keras kepala,” “melakukan aksi anarkis,” “membuat rusuh,” tanpa verifikasi data yang memadai serta peliputan yang tidak berimbang umumnya diakibatkan oleh absennya versi kebenaran dari pihak-pihak yang tertuduh dalam berita. 

Kedua, orientasi liputan menitikberatkan pada propaganda karena kecenderungannya untuk melindungi koalisi masing-masing pihak. Laporan Human Rights Watch (2015) berjudul “Something to Hide?” tentang kebebasan pers Papua menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia dan aparat membayar jurnalis di Papua untuk bekerja sebagai informan sekaligus memberikan mereka liputan media yang menguntungkan. Aplikasi propaganda pemerintah dalam media juga dapat terlihat dari kegagapan wartawan dalam penggunaan diksi “separatis” yang tidak memiliki basis historis jelas dalam menjelaskan konflik Papua. Fakta bahwa Papua tidak masuk peta NKRI saat Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945 dan Papua yang secara antropologis lebih condong pada budaya Melanesia, membuat kata “separatis” tidak tepat untuk mendeskripsikan konflik yang terjadi. Bukti lain dari hasil penelusuran Tirto dan Tabloid Jubi, salah satu media lokal Papua, menyatakan bahwa setidaknya ada 18 media “siluman” Papua yang melakukan framing berita yang mengimplikasikan bahwa tidak terjadi  pelanggaran hak asasi manusia di Papua, bahwa tentara dan polisi melakukan tugas mereka dengan baik, bahwa masyarakat Papua hidup dengan damai dan aman, dan sebagainya.

Sebagai solusi, Johan Galtung (2003) menawarkan mekanisme peace journalism sebagai panacea bagi ricuhnya perang narasi dalam media. Jika war journalism menawarkan narasi berorientasi kekerasan sebagai solusi meredakan konflik, peace journalism merumuskan reportase transparan yang mendorong kreativitas, humanisasi, dan rekonsiliasi sebagai upaya mencapai perdamaian. 

Peace journalism memiliki empat prinsip utama. Pertama, gaya peliputannya yang mengeksplorasi formasi dari konflik: siapa saja pihak yang terlibat, apa tujuan mereka, apa latar belakang sosio politik dan kultural dari konflik tersebut, dan apa saja manifestasi dan dampak kekerasan dari konflik tersebut. Kedua, peliputan yang berorientasi pada masyarakat dengan menghindari dehumanisasi pihak-pihak yang terlibat konflik. Peace journalism memberikan ruang yang memfasilitasi kelompok marginal untuk buka suara dan berbicara mengenai pengalaman  mereka. Ketiga, bersikap proaktif dengan menyoroti alternatif cara-cara nirkekerasan dan melaporkan inisiatif nirkekerasan yang tumbuh dari level akar rumput (grassroots) untuk mencapai resolusi, rekonstruksi, dan rekonsiliasi. Keempat, reportasenya yang berorientasi pada kebenaran dengan mengungkap fakta.

Awal advokasi peace journalism di Indonesia, pada dasarnya, telah dimulai sejak pecah konflik etnis di Poso dan Maluku tahun 1999-2001 (Remotivi, 2021). Rezim otoriter Orde Baru yang mengekang dunia jurnalistik selama 32 tahun membuat wartawan masih gagap dalam menafsirkan peace journalism pada tahun-tahun awal Reformasi. Kedatangan jurnalis aktivis seperti Jake Lynch dan Annabel McGoldrick pada tahun 2000 di Palu bertujuan untuk mempromosikan teknik liputan peace journalism sekaligus edukasi kebebasan pers. Organisasi seperti Tifa Foundation juga turut memberikan pelatihan bagi awak media dalam peliputan kasus Aceh melalui penerbitan “Panduan Untuk Peliputan Konflik di Aceh”. 

Salah satu bukti aplikasi  peace journalism dalam konflik Papua dapat terlihat pada  liputan Tempo.co mengenai konflik agama di Tolikara, Papua pada 2015. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Puslitbang Kominfo (2016), dari 37 berita yang dipublikasikan Tempo.co, 86.49% mengarah pada orientasi perdamaian. Upaya perdamaian dapat dilihat dari judul berita yang sudah mengarah pada penanganan kasus, misalnya pada judul “Salat Id di Tolikara Rusuh, Wapres Minta Pemda Tangani” yang meliput Wapres Jusuf Kalla ketika menghimbau aparat polisi dan pemerintah untuk segera menyelesaikan kasus dengan baik. Sebanyak 91,89% berita melihat sebab dan akibat di berbagai tempat dan waktu konflik serta menelusuri sejarah konflik atau akar masalah dan 64.86% berita berisi orientasi penyelesaian masalah atau solusi. Puslitbang Kominfo menemukan pula bahwa sebanyak 100% berita berorientasi pada konflik tanpa campuran opini wartawan serta tidak muncul narasi dikotomis “kita-mereka” yang sering mengarah pada provokasi. Sayangnya, peliputan yang dilakukan oleh Tempo.co masih kurang memberi ruang bagi aktor yang terlibat konflik untuk memberikan keterangan. Narasumber yang dipilih kebanyakan berasal dari luar lingkaran konflik, di antaranya presiden, wakil presiden, tokoh agama, tokoh masyarakat, dll.

Framing media tidak hanya berpengaruh pada pemahaman atas suatu kejadian, tetapi juga dapat memicu tindakan untuk menormalisasi dan mereproduksi kejadian tersebut (Remotivi, 2021). Mekanisme peace journalism menawarkan framing alternatif yang dapat membantu kita untuk memiliki orientasi yang tepat sasaran mengenai konflik Papua.  Peace journalism juga dapat membantu masyarakat dalam menganalisis relasi kuasa yang terbentuk dalam suatu konflik. Media dapat membantu kita untuk mengenali siapa yang sebenarnya diuntungkan dan dirugikan atau mana pihak yang menindas dan tertindas dalam sebuah konflik.  Dengan demikian, hate speech atau ungkapan kebencian yang masih sering dilontarkan ke arah masyarakat Papua yang menjadi korban represi dan merupakan golongan minoritas dalam suara dapat terus diminimalisasi. Melalui peace journalism, konflik Papua juga dapat dilihat dan dipelajari secara lebih sistematis di mana dasar-dasar historis konflik turut diperhitungkan.

Dalam situasi konflik, media tak hanya memiliki peran untuk memberitakan fakta lapangan, tetapi juga membangun narasi mengenai realitas konflik (Remotivi, 2021). Media juga punya posisi strategis untuk menawarkan sekaligus mempromosikan jalur penyelesaian konflik serta memberikan kesempatan bagi masyarakat Papua dan Papua Barat untuk menyuarakan visi perdamaian yang selalu mereka cita-citakan.

REFERENSI

Abrar, A. N., 2020. ‘Seolah-olah jurnalisme’: Bagaimana represi kekuasaan memaksa pers Papua jadi corong negara. The Conversation. Available at:

https://theconversation.com/seolah-olah-jurnalisme-bagaimana-represi-kekuasaan-memaksa-pers-papua-jadi-corong-negara-14793

Apinino, R., 2018. Kasus Rebecca BBC dan Gelapnya Kebebasan Pers di Papua. Tirto. Available at: 

https://tirto.id/kasus-rebecca-bbc-dan-gelapnya-kebebasan-pers-di-papua-cEho

Firdaus, F., 2017. Mengapa media gagal meliput Papua?. New Mandala. Available at:

Firman, T., 2019. Media dan Diskriminasi Rasial Terhadap Papua. Remotivi. Available at:

https://remotivi.or.id/amatan/543/media-dan-diskriminasi-rasial-terhadap-papua

Galtung, J., 2003. Peace Journalism. Media Asia, 30(3), pp.177–180.

Handoko, T., 2021. Dampak Framing Media dari Berita Terorisme. Remotivi. Available at:

https://www.remotivi.or.id/mediapedia/676/dampak-framing-media-dari-berita-terorisme

Human Rights Watch, 2015. Something to Hide?. Human Rights Watch. Available at:

https://www.hrw.org/sites/default/files/report_pdf/indonesia1115final_0.pdf

Juditha, C., 2016. Peace Journalism in News Tolikara Religion Conflict in Tempo.co. Media Neliti. Available at:

https://media.neliti.com/media/publications/123559-ID-none.pdf

Kuusik, N., 2010. The Role of the Media in Peace Building, Conflict Management, and Prevention. E-International Relation. Available at:

Lavenia, A., 2021. Menilik Konflik Melalui Lensa Jurnalisme Damai. Remotivi. Available at:

https://www.remotivi.or.id/mediapedia/687/menilik-konflik-melalui-lensa-jurnalisme-damai

Manan, A., 2017. AJI Memprotes Keras Intimidasi dan Pengusiran Jurnalis Asing di Jakarta dan Papua. Aliansi Jurnalis Independen. Available at:

https://aji.or.id/read/press-release/662/aji-memprotes-keras-intimidasi-dan-pengusiran-jurnalis-asing-di-jakarta-dan-papua.html

Manan, A., 2019. AJI: Terapkan Jurnalisme Damai dalam Peristiwa Papua. Aliansi Jurnalis Independen. Available at:

https://www.aji.or.id/read/press-release/970/aji-terapkan-jurnalisme-damai-dalam-peristiwa-papua.html

Michelis, S., 2018. Peace Journalism in Theory and Practice. E-International Relation. Available at:

Suara Papua, 2020. Jurnalis Asing Liput Papua dan Situs (Bagian 1). Suara Papua. Available at:

https://suarapapua.com/2020/03/24/jurnalis-asing-liput-papua-dan-situs-siluman-bagian-1/

Thaniago, R., 2018. Mengapa Kita Selalu Salah Memahami Papua?. Remotivi. Available at:

https://www.remotivi.or.id/amatan/445/mengapa-kita-selalu-salah-memahami-papua

Zuhra, W. U. N., 2018. Media Siluman di Papua: Propaganda, Hoaks, hingga Narasumber Fiktif. Tirto. Available at:

https://tirto.id/media-siluman-di-papua-propaganda-hoaks-hingga-narasumber-fiktif-da5B

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *