Hikayat Manusia Robot

Created by Kolom Remaja Summer Bootcamp Participants
Content: Malinda Adelia Fitri
Cover: Amira

Masuk SMA favorit, aktif berorganisasi, memperoleh nilai A di seluruh mata pelajaran, dan harus masuk PTN. Jika hari ini satu permintaan telah terpenuhi, besok lusa muncul lagi permintaan-permintaan lainnya. Permintaan (yang lebih tepatnya disebut dengan tuntutan) ini, sama seperti revisian skripsi, tidak pernah ada habisnya. 

Jika ditanya saya lelah atau tidak, jawabannya sudah pasti lelah. Namun, selayaknya penumpang yang mengikuti kemanapun sang supir pergi, saya pun begitu, pasrah mengikuti dan menuruti semua kemauan orang tua yang tidak pernah diketahui dimana tanda titiknya.  

Robot, itulah kata yang tepat untuk mendeskripsikan situasi saya saat ini. Setiap malamnya pertanyaan semacam “Sebenarnya kehidupan siapa yang sedang saya jalani saat ini?” tidak pernah berhenti memenuhi isi kepala.

Ketika saya mulai mengutarakan perasaan saya ini jawabannya pasti, “kamu itu masih kecil, tidak tahu-menahu tentang dunia ini. Sudah ikuti saja apa kata ibumu ini dijamin sukses dan bahagia.” Bercerita kepada beberapa kerabat pun rasanya tidak ada gunanya, karena kalimat-kalimat yang sering terucap tidaklah jauh-jauh dari “Sudah turuti saja apa kemauan ayah dan ibumu, mereka pasti sudah tahu apa yang terbaik untukmu.” atau “ya tinggal dijalani saja, lama-kelamaan juga pasti terbiasa dan terasa ringan kok.” 

Namun, bagaimana saya bisa tahu arti kebahagiaan dan kebebasan itu sendiri jika semua hal yang saya lakukan bukanlah atas kehendak saya? Bagaimana saya bisa menikmati perjalanan itu jika yang selama ini saya dapatkan hanyalah sakit kepala? 

Sebenarnya tidak hanya sakit kepala yang saya dapatkan, kehilangan kontrol atas diri sendiri adalah hal yang paling sulit sekali untuk diterima. Keinginan untuk menentukan ke arah mana yang akan saya tuju pun rasa-rasanya sudah tidak ada lagi. 

Dalam situasi ini, saya rasa tidak ada lagi hal yang dapat saya lakukan. Ingin rasanya melawan, namun ketakutan akan kualat begitu besar terasa, bayangan terkutuk menjadi batu seperti Malin Kundang pun selalu menghantui saya setiap kali ingin membuka suara. Jadilah saya selalu mengucapkan kata “iya” setiap kali permintaan baru itu muncul. Sebenarnya, berat rasanya untuk mengatakan satu kata itu, karena artinya akan ada lagi teman yang datang untuk kesekian kalinya seperti tidak mengenal kata bosan, air mata dan burnout. 
Namun, dari tuntutan-tuntutan itu saya belajar bahwa keterlibatan berlebih dalam kehidupan orang lain dapat membuat niat baik menjadi berubah. Dari yang awalnya ingin mendukung dengan memberikan sepatah dua patah kalimat hingga berakhir menjadi tuntutan yang wajib hukumnya untuk dipenuhi. Dan karena itu pula saya dapat mengetahui makna yang sesungguhnya dari “secukupnya dan seperlunya.”

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *