Kembali Mengenali Kecantikan dalam Diri

Ditulis oleh: Raynanda Zahra
Disunting oleh: Wulan Faraditha, Zania R Putri, dan Ghafi Reyhan
Ilustrasi oleh: Lisa Kalystari

Kecantikan tidak jarang dijadikan tolak ukur oleh masyarakat untuk menentukan “kualitas” seseorang. Abad ke-21 bukan hanya memungkinkan kita melihat pesatnya pergerakan teknologi, namun juga menunjukan banyaknya muncul pergerakan progresif dalam berbagai hal di berbagai penjuru dunia. Munculnya pergerakan progresif ini sering kali harus mengunjungi ulang “definisi” atau bahkan “standar sosial” dari suatu topik. Dengan kesempatan ini, melalui artikel ini saya akan mencoba untuk memaknai ulang arti kecantikan dengan melihat definisi dan implementasi pada skala sosial dan pribadi dari konsep tersebut. 

Mengulas Kembali Definisi “Kecantikan” Dari Masa ke Masa

Meski kriteria kecantikan terus berubah dari waktu ke waktu, dalam beberapa periode terakhir seringkali kriteria kecantikan yang ditampilkan media cenderung sama. Perempuan yang “cantik” biasanya diperlihatkan sebagai orang yang memiliki  tubuh yang kurus langsing, tinggi semampai, kulit putih bersih, rambut panjang, mata besar, dan hidung mancung (Adriani, 2019 dalam Ardhiarisa, 2021) — kecantikan yang seringkali kerap dilihat sebagai “Eurosentris” atau kecantikan “Barat”. 

Mengambil contoh dari diskusi yang digelar Confucius Institute U.S. Center yang diisi oleh pakar psikologi karakter dan perilaku manusia Dr. Jaehee Jung dari University of Delaware dan direktur klinis The Body Therapy Center Dr. Veronica Franklin yang membahas dampak dan evolusi standar kecantikan Barat secara global. Di zaman imperialisme, standar kecantikan Barat termasuk kulit putih muncul sebagai cita-cita “kolektif” global. Ini secara historis bergantung pada keadaan unik yang berlaku pada waktu itu, tetapi begitu cita-cita “kolektif” itu ada, strategi perusahaan bisnis membantu memperkuatnya karena pemenuhan permintaan untuk tujuan utama, yaitu laba. Ketika perusahaan kecantikan membangun pasar internasional melalui ekspor dan investasi asing, mereka menyebarkan sebuah persepsi terhadap kecantikan dan persepsi tersebut bukan hanya sekadar krim kulit atau lipstik. Perusahaan mengubah cita-cita sosial dan budaya menjadi merek aspirasional, mereka dengan cerdik mengambil norma di seluruh dunia, sebagian melalui penggunaan keterampilan pemasaran mereka untuk membuat mereknya tampak relevan secara lokal.  Momentum di balik standar ini diperkuat oleh dampak Hollywood dan pendorong lain dari budaya konsumerisme internasional. Perusahaan kecantikan membentuk komponen penting dari ekosistem bisnis yang lebih luas, yang mana mencakup studio film, penyelenggara kontes, dan majalah mode, sehingga perspektif yang dibuat untuk mendukung merek mereka mencakup ‘lapangan’ yang lebih luas. 

Penelitian 15 tahun terakhir menunjukkan perempuan Asia, secara spesifik dalam penelitian, perempuan Tiongkok, mengalami ketidakpuasan terhadap tubuh mereka yang umumnya lebih kecil dari standar Barat (Jung, 2018). Penelitian dua dekade terakhir juga menemukan bahwa perempuan Tiongkok mengalami ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh mereka jika dibandingkan dengan  perempuan di Amerika Serikat (Jung dan Forbes, 2007). Kedua hal ini menegaskan pentingnya pengetahuan dan pemahaman bagi konsumen mengenai kampanye-kampanye kecantikan yang telah melewati proses suntingan tingkat lanjut yang tidak mencerminkan ‘keaslian’ dan untuk menghilangkan stigma sosial mengenai tidak sesuainya seseorang pada standar kecantikan tertentu (Exploring the Globalization of Beauty Standards – Confucius Institute, 2019). Kecantikan sendiri sering dianggap sebagai relativitas. Mengenai bagaimana kita melihatnya, semua ada pada pilihan masing-masing. 

Tentu menarik saat melihat bagaimana globalisasi mempengaruhi dan mengubah bagaimana manusia berpikir. Terlihat bagaimana manusia mendefinisikan kecantikan tentu tidak selalu berirama dari dulu hingga sekarang. Contoh lain, saat memasuki abad ke-20, kecantikan seseorang dikonsentrasikan kepada status fisik; fasad dan daya tarik seksual. Bagaimana dengan saat ini? Semakin terbukanya pikiran manusia mengenai berbagai hal, tak luput juga bagaimana manusia memandang kecantikan. Sekarang, kecantikan tentu tidak hanya berputar pada dua variabel tersebut. 

Sering kali dilihat bahwa beberapa orang mendefinisikan “kecantikan” berdasarkan dua aspek: kecantikan luar (“outer beauty”) dan kecantikan dalam diri (“inner beauty”) . Dengan semakin populernya perbincangan mengenai kedua hal tersebut serta definisinya yang semakin beragam membuat saya menggali lebih dalam apa arti sebenarnya kedua istilah tersebut. Menurut Dr. Lisa Katharin Schmalzried (2013) dalam jurnalnya yang berjudul Inner Beauty — The Friendship-Hypothesis, ia mengungkapkan beberapa teori dari para filsuf tentang pemaknaan dari apa itu inner beauty. Plato mendefinisikan inner beauty sebagai orang yang cantik karena moralnya baik. Sedangkan menurut Reid atau Gaut, inner beauty tak hanya tentang kebaikan moral tapi berkaitan erat dengan kecerdasan, selera humor, dan optimisme yang dimiliki seseorang (Schmalzried, 2013: 614). Dari kedua aspek tersebut, pertanyaan yang kerap ditanyakan adalah: Aspek mana, diantara kecantikan luar dan kecantikan dalam diri, yang menjadi lebih penting dan membawa manfaat nyata pada diri sendiri?

Mana Yang Lebih Penting: Outer Beauty atau Inner Beauty?

Meskipun terdapat perubahan dalam persepsi masyarakat mengenai kecantikan dimana aspek “outer beauty” tersebut diukur melalui lensa subjektif daripada objektif, standar objektif sosial dari kerupawanan fisik seseorang masih signifikan. Hal ini diperburuk dimana kerap kali dilihat juga bahwa manusia berusaha sekeras mungkin untuk memenuhi “standar objektif kecantikan” sampai akhirnya melupakan aspek kecantikan dalam diri masing-masing. Terlupakannya inner beauty tentu disebabkan oleh berbagai faktor. Seiring berkembangnya teknologi dan perangkat digital, semua orang berlomba-lomba untuk menampilkan bentuk fisik yang “sempurna” berdasarkan standar sosial, selalu terlihat baik, dan tidak ingin tampak celah dalam dirinya. Maraknya penggunaan sosial media mengakibatkan banyak orang berambisi untuk  terlihat sempurna di depan kamera dan di dunia maya. Banyaknya konten mengenai kecantikan pun membuat banyak orang ingin “mengubah” penampilan diri bukan untuk dirinya tetapi demi memuaskan ekspektasi orang lain. Dikarenakan eksistensi pretty privilege di masyarakat, kebanyakan orang yang memiliki  paras cantik mendapatkan “keuntungan” atau “pemakluman” pada setiap tindakan yang mereka lakukan. Perkembangan teknologi pun berperan aktif dalam merealisasikan perubahan tersebut, contohnya seperti menggunakan photoshop, filter kamera, dan perangkat lunak editor lainnya yang digunakan untuk mengubah diri agar sesuai dengan standar kecantikan eurosentris. Tentu tidak sepenuhnya salah, namun jika menjadi sebuah ketergantungan dan pada akhirnya menekan diri sendiri, bukankah itu mempersulit diri sendiri? 

Eksistensi pretty privilege terlahir dari mindset segelintir individu yang pada akhirnya berkembang secara luas dan menjadi suatu konsep dalam khalayak luas. Pretty privilege adalah sebuah hak istimewa yang diberikan kepada individu-individu yang mempunyai tampilan fisik yang dianggap sesuai dengan standar kecantikan “Eurosentris”. Pretty privilege menilai value yang ada di diri seseorang dengan faktor utamanya yaitu penampilan fisik. 

Berbagai penelitian dan survei ilmiah telah membuktikan bahwa penampilan kita sayangnya memiliki korelasi langsung dengan seberapa baik kita diterima oleh orang lain, baik dalam lingkungan sosial maupun profesional. Semakin kita mendekati kecantikan universal atau semakin menyerupai orang-orang cantik yang kita lihat di iklan, televisi, atau di majalah, maka semakin besar kemungkinan untuk dihargai secara finansial atau diangkat ke “lapisan” atas struktur sosial di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan adanya pretty privilege, banyak dari kita yang berlomba-lomba untuk mengubah penampilan dengan harapan agar dapat diuntungkan dari hak istimewa yang ‘beracun’ ini. Mengapa dikatakan beracun? Seperti kebanyakan bias lainnya, pretty privilege adalah sesuatu yang kita sadari, apakah kita pernah mengalaminya secara langsung atau tidak. Namun, tidak jarang kita mau mengakuinya atau bahkan membicarakannya, terutama jika kita adalah pihak yang menerima manfaatnya. 

Mengubah Persepsi “Keindahan”

Maka dari itu, penting bagi kita semua untuk mengubah persepsi keindahan. Saya pribadi merasa bahwa semakin saya melihat keragaman di layar TV dan catwalk, semakin saya memahami dan menerima bahwa tidak ada yang ‘sempurna’ dan orang dapat mengekspresikan kecantikan dengan berbagai cara. Pada akhirnya, hal ini akan menghasilkan penghargaan besar bagi masyarakat secara keseluruhan dalam hal peningkatan harga diri, karena orang-orang menyadari bahwa mereka memiliki suara dan berharga, terlepas dari penampilan mereka. Ini pada gilirannya akan membuka peluang bagi mereka karena mereka tidak lagi dibayangi oleh orang lain yang dianggap lebih ‘cantik secara konvensional’. Pada akhirnya, kita harus membuat perubahan luas agar pretty privilege dapat dihapuskan. Tentu langkah pertama adalah mengakuinya.

Terdapat sebuah pepatah Yunani mengatakan, “kecantikan terletak pada mata yang melihatnya’’. Apa yang dimaksud kutipan ini adalah kecantikan bertumpu pada perspektif masyarakat. Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa seringkali “visibilitas” kita di masyarakat dapat ditetapkan dengan sebagaimana kita mengikuti standar kecantikan tertentu yang telah ditetapkan masyarakat dan juga diikuti oleh sebagian besar masyarakat tersebut. Standar-standar ini bertanggung jawab untuk menciptakan semacam frustasi pada orang-orang yang gagal memenuhi standar tersebut yang jika dibiarkan seperti itu terus-menerus, akan “memaksa” kita agar merasa ‘fit in’ di masyarakat sehingga memberikan dampak yang tidak baik kepada kesejahteraan dan kebahagiaan seorang manusia dalam menerima dan merasa bahagia terhadap dirinya dengan apa adanya. 

Tentu tidak dapat dipungkiri bahwa outer beauty yang didapatkan dengan tujuan membahagiakan diri sendiri, merupakan sesuatu yang layak untuk “dirayakan”, tetapi karena standar kecantikan yang menjadi semakin tidak realistis, tidak terjangkau, dan sempit; baik bagi perempuan maupun pria, merasa semakin tidak memadai dan tidak berdaya. Meski begitu, seseorang yang cantik secara fisik tidak lagi dianggap langka. Mereka ada dimana-mana, Tampaknya dunia ini penuh dengan orang-orang ‘cantik’ konvensional yang tampak menjalani gaya hidup ‘sempurna’ karena hasil dari tuntutan sosial. Jika saja kita juga dapat menyesuaikan diri dengan gagasan ketat tentang ‘kecantikan’ ini, tentu kita juga memiliki kesempatan untuk mencapai kebahagiaan yang mereka lihat dalam iklan. Tapi cara berpikir ini semuanya salah! Kita perlu memperluas ide kita tentang kecantikan, untuk memasukkan mayoritas yang lebih luas.

Lebih baik lagi, kita perlu memulai mengalihkan perhatian lebih dari fisik ke internal. Mulailah menanamkan mindset kepada diri sendiri bahwa kecantikan bukan hanya tentang apa yang terlihat dari luar, tetapi juga dari dalam. Ya, berpenampilan baik tentu dapat membantu seseorang merasa dan menjadi yang terbaik. Tetapi bagaimana dengan hal-hal yang kita tawarkan, yang tidak dapat dilihat oleh siapa pun? Kebaikan hati, bakat, pengetahuan, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional, dan sebagainya. 

Bukankah dunia akan menjadi tempat yang jauh lebih bahagia dan jauh lebih mengasihi sebagai tempat untuk hidup? Sudah saatnya kita mengucapkan selamat tinggal pada rasa insecure, self-hatred, self-loathe dan semacamnya pada diri sendiri. Harus disadari bagaimana kita memperlakukan diri sendiri, apa yang kita lakukan sebaiknya demi keinginan dan kebaikan diri sendiri, bukan untuk semata-mata memuaskan orang lain. Akan selalu ada seseorang yang mempermasalahkan keputusan atau penampilan kita. Maka dari itu, akan jadi jauh lebih baik jika kita dapat mengesampingkan pendapat orang dan fokus pada hal yang kita pribadi dapat “kontrol”: mengelola kecantikan dalam diri (inner beauty). 

Memahami dan Memperbaiki Kecantikan Dalam Diri

Lalu bagaimana cara untuk merasa layak dan percaya diri dengan mengandalkan inner beauty?  Saya sendiri berusaha untuk mengadopsi beberapa cara dalam rangka mengambil langkah konkret untuk merubah persepsi pribadi dari konsep “kecantikan”. Pertama, Saya mulai untuk menerima dan menghargai apa yang ada dalam diri, baik maupun buruk. Dengan menerima segala kekurangan dan kelebihan kita secara tidak langsung mengajari bahwa ketidaksempurnaan adalah sesuatu yang normal dan semua orang memilikinya. Kedua, Saya berusaha untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik bagi diri sendiri dan sekitar. Ketiga, Saya berusaha menyadari siapa diri Saya sejatinya untuk menemukan kenyamanan pada diri sendiri. Dengan lebih mengasihi diri dan sekitar, tentu dapat secara perlahan mengubah situasi dan kondisi di sekitar kita yang judgemental menjadi lebih ramah dan bersahabat. Jika kita telah menemukan jati diri kita, maka dapat dianggap kita telah mengetahui potensi apa yang sesuai dengan diri kita. Dengan mengetahui apa kebutuhan dan keinginan diri, maka hal ini mengarah kepada kepuasan (contentness) dalam hidup daripada terus menerus membandingkan diri sendiri dengan orang lain.
Mengutip perbincangan saya dengan seseorang, “alangkah indahnya jika ‘kecantikan’ tidak dipandang menjadi hal yang substansial.” Meskipun harapan tersebut indah jika dipikirkan, sudah menjadi sifat natural manusia untuk mengukur “nilai” diri sendirinya dan ingin menjadi “indah”. Hal itu membuat saya berpikir bahwa harapan orang tersebut adalah harapan utopia. Maka dari itu, penting bagi kita untuk sadar, menerima, dan mulai berpikir bahwa kecantikan luar diri (outer beauty) itu beragam dan subjektif. Di dalam keberagaman tersebut, berbagai elemen di dalamnya mempunyai arti dan nilai tambahnya masing-masing. Yang menjadi penting adalah untuk memprioritaskan aspek inner beauty tersebut. Dengan mencoba untuk memulai memprioritaskan mengenali aspek-aspek inner beauty kita, maka itu akan membantu dalam mengenali dan menerima apa yang telah ada di dalam diri. Alih-alih menggantinya secara total, kita bisa mengubah perlahan-lahan aspek-aspek tersebut menjadi versi yang lebih baik; seperti bagaimana kita melihat, menghargai, dan menerima diri sendiri, orang lain, hingga dunia tidak semata-mata dari luarnya saja.

REFERENSI

Fitryarini, I., 2009. Iklan dan Budaya Popular: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan di Televisi. ILMU KOMUNIKASI, [online] 6(2). Available at: <https://media.neliti.com/media/publications/137052-ID-iklan-dan-budaya-popular-pembentukan-ide.pdf> [Accessed 25 August 2021].

Ardhiarisa, N., 2021. REPRESENTASI KECANTIKAN PEREMPUAN DAN ISU BEAUTY PRIVILEGE DALAM FILM (Analisis Semiotika Roland Barthes Tentang Film Imperfect Karya Ernest Prakasa). Jurnal Kommas, [online] Available at: <https://www.jurnalkommas.com/docs/Jurnal%20D0215075.pdf> [Accessed 5 October 2021].

Rachman, J. and Indarti, Y., 2013. Balancing between Outer and Inner Beauty: A New Concept on Female Rubric of Kompas Online Newspaper. Anglicist, [online] 2(2), p.52. Available at: <http://journal.unair.ac.id/download-fullpapers-angliciste1490ade9afull.pdf> [Accessed 4 September 2021].

Schmalzried, L., 2013. Inner Beauty — The Friendship-Hypothesis. Proceedings of the European Society for Aesthetics, [online] 5, p.614. Available at: <http://www.eurosa.org/volumes/5/SchmalzriedESA2013.pdf> [Accessed 1 September 2021]. 

Yonce, K. P., (2014) Attractiveness privilege: the unearned advantages of physical attractiveness. Master’s thesis. Smith College.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *