Biarkan Ia Tersimpan

Created by Kolom Remaja Summer Bootcamp Participants
Content: Ghina Athaya
Ilustration: Shabrina Zuhaidar

Hari ini adalah hariku, di mana aku bisa membuktikan jika dunia berputar sebagaimana mestinya. Kuyakin Tuhan tak pernah tidur dan hari ini akan jadi contoh konkritnya.

Pesta reuni; bertatap muka setelah memori mulai hilang dari ingatan. Memaksa kepala menebak nama di tengah ingatan yang mengabur. Entahlah. Bayanganku dalam memori mereka mungkin nyaris tak ada. 

Jika pun ada, mungkin aku hanya dijadikan alat untuk bersenang-senang—bak tupai yang diburu. Mencari kebahagiaan di kala bergidiknya bulu kudukku saat masuk ruang kelas yang tak lain jadi tempat eksekusi? Kesenangan semata yang diperas dari kerapuhan si lemah. Membuat aku, si lemah, ingin segera lenyap. Membuat setiap hariku terpaksa membawa malu, menyesal, dan ingin berontak; mengapa tak dilawan saja.

Bisa jadi sudut pandang mereka pada memori kelamku dianggap menyenangkan. Padahal sejatinya orang jahat tak jadi apa-apa, setidaknya itu yang aku temui di novel dan film. Aku lelah menjadi tupai lemah yang hanya bisa menjadi korban. Toh, sepanjang hidup aku sudah berusaha berlaku baik. 

“Siapa namanya?” tanya perempuan dari balik meja registrasi. Rambut kuncir kuda dengan gaun merah membuat ia tampak mencolok, oh, Jeni. Wajah cantik itu belum juga pudar sejak tak lagi berada di tim sorak. 

“Bagas.”

Ia membolak-balikkan isi kertas, “Bagas siapa? Ada banyak Bagas di sini.”

Bagaimana dia bisa melupakan aku?

“Bagas Sanjaya.”

“Oh.” Jeni berusaha tersenyum meski tampaknya masih larut dalam bingung. Tak lama ia menyodorkan pin bertuliskan ‘REUNI ANGKATAN 67’ 

Aku tersenyum, mengangguk berterima kasih padanya.

Gemerlap lampu bercampur obrolan sana-sini membuatku bingung harus memulai menunjukkan diriku dengan bangga dari mana. “Halo,” sapaku. Mencoba menyelinap di tengah obrolan seru, ketua pemburu tupai di masa lalu, Bram dan anak buahnya.

Bisa kulihat matanya berbinar tak percaya. “Wah, Bagas?”

Sudah kuduga. Ada banyak hal yang berubah dari diriku. “Apa kabar, Gas?” sapa Bram, “Lepas kacamata nih sekarang? Dulu kan culun banget!”

“Iya, nih.” Jawabku tersenyum tipis. “Sekarang sibuk apa, Gas?”

“Kebetulan lagi nyoba bisnis makanan sih,” balasku berusaha merendah, “baru lulus juga dari UI. Jadi sambil menunggu penerimaan kerja, mau coba usaha kecil-kecilan dulu.”

Semua orang mengangguk, membuatku merasa bahwa obrolanku cukup menarik perhatian mereka. Tentu saja, siapa sangka seekor tupai yang dulunya diburu kini jadi sosok yang sukses? Lagipula, bukankah sudah kodratnya bahwa kehidupan akan selalu berputar?

“Kalau aku, jadi founder startup sih. Jadi aku mau bikin semacam aplikasi yang berbasis pada pendidikan—”

Seketika semua perhatian kembali padanya. Aku tak mengerti mengapa banyak perhatian diberi padanya secara cuma-cuma.  Tidakkah sedikit pun terbesit ingatan perilaku pemburu ini kepada tupai yang tak bersalah?

Sorotan ini tak lagi jadi milikku. Tubuhku sontak terbawa memori. Penjahat yang membiarkan diriku terkubur dalam malu seperti saatku harus pulang tanpa sepatu. Merasa sudah semestinya jikalau aku berakhir hanyut dalam dendam. Bukankah tidak dipungkiri bahwa setiap kejahatan akan dibalas oleh semesta? Apa ini semua berarti orang jahat selalu jadi pemenang? 

Sudah nasibku menelan realitas jika dunia memang tak adil; seisinya hanya berkutat pada Bram dan pemburu lainnya. Ceritaku kini hanya bisa didengar cokelat panas beserta semilir angin malam. Sibuk menatap kebisingan mereka dari gedung di seberang. Mereka tetap menjalani kehidupannya seakan masa lalu tidak pernah terjadi, tanpa adanya terlontar kata “maaf” dan rasa bersalah.

“Sendirian saja?” Suara asing mampir di tengah kesendirianku. Aku menoleh. 

Perempuan rambut biru tergerai duduk tanpa permisi. Raut tenang berpadu dengan kepulan asap mengepul dari segelas kopi. Tak ada sepatah kata keluar usai menggantungkan lamunan pada jalan raya di bawah naungan langit gelap dan dingin.

“Masih ingat aku, ngga?”

Tentu saja aku ingat semua orang, terlebih yang juga menjadi buruan, “Sarah, ‘kan?”

Perempuan itu mengangguk. Isi kepala carut marut saat melihat keberadaannya. Apa ia merasakan apa yang kurasa? Masih adakah amarah terpendam dalam dirinya? Bak tupai yang gagal melompat sampai akhirnya ditembak?

“Dunia bukan untuk orang-orang baik ya?” Kubuka pembicaraan dengan ambiguitas. Mengingat jejaknya tak jauh berbeda denganku, apakah ia langsung menangkap apa maksudku?

Sarah mengangkat sebelah bibirnya. “Jangan taruh dirimu dalam ketidaksabaran, Bagas”

Salahku juga melontarkan kebingungan, kini Sarah melakukan hal yang sama. Aku berusaha tak membantah. Biarkan asumsi larut dalam pikiran masing-masing. 

Kuingat aku sama sekali tak menangkap keberadaannya di pesta reuni. “Tadi tidak ikut reuni?”

Sarah menggeleng.

“Padahal ini reuni pertama lho. Sayang sekali kalau tidak ikut,” balasku berusaha ramah.

Hmm, pamer kesuksesan bukanlah kesukaanku,” kedualengan Sarah dilipat di depan dada. “Untuk apa? Pujian sementara?” Aku melihat senyum tipisnya seraya bertanya-tanya, mengapa aku tidak berpikir seperti itu? Jika saja aku tahu kalau aku tetaplah Bagas si terlupakan. Aku tak perlu susah menelah malu seperti tadi.

“Kenapa kamu bertanya seperti tadi? Bahwa dunia bukan buat orang baik?” tanyanya, seakan mengujiku. Aku mengarahkan pandanganku ke sekumpulan pemburu. Bajunya gemerlap dengan tawa yang menggelegar. “Lihat mereka. Apa mereka lupa dengan perlakuan mereka dulu pada orang-orang sepertiku—”

“Seperti kita,” potong Sarah. Ternyata dia masih ingat.

“Lihat sekarang. Mereka hidup enak seperti tak ada beban. Padahal mereka dulu begitu jahat, tak tahu ampun.” Aku menghela napas sebelum melanjutkan kembali perkataanku, “rasanya tidak adil melihat mereka bahagia seperti itu.”

Dua pasang mata masih melekat pada mereka yang tertawanya menggelegar hingga sampai ke kuping ini. Mereka beserta senyumnya yang semakin melebar. Bram yang masih menjadi primadona. Ia entah di mana, tetapi kuyakin pasti sedang jadi pusat perhatian yang baru saja datang.

“Bram sekarang mengepalai startup soal pendidikan.”

“Lantas?”

“Aneh saja.” Aku tertawa pelan. “Padahal dulu dia merundungku karena kacamata tebalku yang selalu bertaut pada buku.”

“Bukankah kamu juga begitu?” tanya Sarah balik, “Berusaha berubah sedemikian rupa agar dilirik. Padahal setiap orang mempunyai garis hidup masing-masing. Dunia tidak hanya berputar untuk kita seorang.”

Mulanya aku menolak menerima perkataannya. Ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini agar tak lagi mendengar perkataannya. Bukankah wajar untuk mendapat validasi kala semua orang memandangku rendah di masa lalu?

“Akan selalu ada orang yang lebih baik darimu, Gas.” Sarah tersenyum tipis. “Masa lalu tidak merefleksikan siapa dirimu sekarang.”

Segala ekspresi tumpah ruah berlomba siapa yang ingin mendominasi. Semua menyatu jadi satu tarikan napas.

“Amarahmu masih ada, Gas. Bahkan, akan selalu ada. Tapi bukankah itu manusia?” Sarah tertawa kecil. “Makhluk pemarah dengan jiwa tak pernah puas. Itulah manusia, mereka kompleks. Dibandingkan pun nihil hasilnya, hanya mereka sendiri yang harus berefleksi.”

Isi kepalaku masih kelabu. “Justru, kini kalimatmu yang kompleks!”

“Kamu adalah apa yang kamu bentuk sedemikian rupa. Bagas akan tetaplah sama; dulu, kini dan nanti,” jawabnya, “jika kamu terus membiarkan dirimu terbawa api. Suka tak suka. Tapi kuharap kelak dapat melihat kamu mengatur ke mana kamu membawa kobaran api masa lalu itu. Ke mana kamu bisa melawan api diri sendiri.”

“Melawan diriku sendiri?” Aku menggelengkan kepala. “Tak ada yang salah dariku!”

“Hanya orang pasrah yang selalu menyalahkan masa lalu.”

Panas cokelat menyentuh bibir dikalahkan dinginnya percakapan. “Apa maksudmu?”

“Apa kau akan jadi pasrah selamanya?”

Tentu aku bukan seperti yang diungkapkan. Aku tidak pasrah. Hanya dengan titik awal yang ingin dipuja. Mungkin ada benarnya, bumi terlalu mampat untuk namaku dipampang besar-besar. Pada dasarnya semua manusia ingin dipandang.

Aku tak tega pada bumi dan diriku sendiri. Bekerja giat demi tak ada mata yang tertinggal. Tetapi untuk apa? Toh, manusia hanya peduli pada apa yang diinginkannya—seperti Bram yang merundungku—demi meraih kebahagiaan. Persetan dengan api ini! Telah banyak ruang di hatiku dilahapnya.  Hanya orang pasrah yang selalu menyalahkan masa lalu, katanya. Mengingatkan pada diriku yang kelewat nyaman menyalahkan sejarah. Mencari tahu apa yang salah sampai menemui jalan buntu. Tak ada lagi yang bisa diubah. Semua dari diriku akan senantiasa sama.

Apa aku akan menerimanya? Atau justru memaksakannya tampak indah?

Bagai dua buku berbeda, keadaan tak lagi sama dibanding SMA. Aku, Sarah, dan seluruh makhluk komplek di gedung seberang tentu punya sejarah. Semua kini tinggal kenangan; tersimpan damai dalam hati. Kini ada buku selanjutnya yang belum kusambangi. Mencari lembaran baru tanpa memikirkan yang lalu. Kuharap tak ada lagi sejarah yang menjadi kambing hitam. Tak melupakan masa lalu bukan berarti diri ini menyimpan dendam, bukan?

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *