
Created by Kolom Remaja Summer Bootcamp Participants
Penulis: Farhan Arda
Ilustrasi: Pamula Nur
Saya bisa tebak bahwa kebanyakan dari kita punya memori masa kecil yang tidak bisa dipisahkan dari serial animasi Jepang atau yang juga disebut “anime”. Dari rekoleksi memori jaman baheula, baru saja teringat bahwa motivasi bangun pagi di hari Minggu adalah untuk mantengin diri di depan televisi untuk menyaksikan aksi Naruto bersama kawan-kawan ninjanya dari desa Konohagakure hingga tak pernah ketinggalan menonton semua episode One Piece yang sekarang sudah ribuan. Tak berhenti disitu, masih jernih ingatan saya yang sering menghabiskan waktu ngemper di lantai Toko Buku dan sampai rela menyisihkan uang jajan agar bisa membeli manga One Piece yang rilis setiap satu sampai dua bulan sekali. Kecintaan saya terhadap One Piece terus berlanjut hingga saat ini. Tak bisa dipungkiri, paling tidak dari pengalaman sendiri, bahwa anime dan manga memiliki kesan tersendiri untuk masa kecil saya. Bisa dibilang saya tumbuh bersama dengan Monkey D. Luffy dan kru bajak lautnya.
Kepopuleran pop culture Jepang sudah tidak diragukan lagi. Produk-produk pop culture populer Jepang seperti anime, manga, video games, dan musik merupakan sarana hiburan favorit bagi banyak orang di dunia. Anime produksi negeri sakura saat ini telah disiarkan di 70 negara dan mengisi 60% dari total penayangan program animasi di seluruh dunia (Kelts, 2008). Faktor yang mendorong popularitas anime di seluruh dunia adalah penggambaran dunia virtual dengan melibatkan perasaan penontonnya. Alur cerita yang menarik, animasi dan desain yang memikat mata, hingga tokohnya yang cantik atau tampan menjadi daya tarik tersendiri dari sebuah anime. Bahkan bentuk desain karakter ala Jepang menjadi inspirasi bagi karya animasi lain yang diproduksi oleh negara barat sebut saja seperti Avatar the Legend of Aang.
Seiring bertambahnya usia, banyak orang yang akhirnya menaruh kenangannya dalam kotak berlabelkan “masa kecil” dan disimpan baik di gudang penyimpanan karena bukan lagi hiburan yang cocok. Anime bagi mereka tak lebih dari kartun anak-anak. Namun, banyak juga sebagian dari kita yang telah menginjak usia remaja hingga dewasa yang masih menikmati bahkan sangat antusias dengan serial animasi Jepang tersebut.
Jika saat kecil tontonan kita hanya sebatas shounen anime yang diperuntukkan kepada remaja dan kebanyakan memuat genre petualangan, industri anime modern telah menghasilkan banyak genre mulai dari petualangan, shoujo (atau romansa), slice of life, hingga seinen dan josei yang diperuntukkan bagi kalangan dewasa. Namun tak jarang ketika ditanya oleh beberapa teman, “tontonan favorit lo apa?” dan saya jawab anime yang sedang saya gemari sekarang, kata-kata yang keluar dari mulut bukan rasa antusiasme namun candaan nyeleneh seperti “kamu wibu” atau pandangan sinis karena label ‘wibu’ tersebut.
“Orang aneh, kekanakan, cabul, halu, dan anti-sosial” dan ungkapan seperti “wibu bau bawang” dan “wibu no life” merupakan stigma negatif yang lekat dengan seorang penggemar anime. Mungkin sebagian penikmat anime ada yang bersifat seperti itu tapi label wibu terlanjur populer untuk menyebut para penyuka kultur Jepang dan seolah menimbulkan generalisasi dimana setiap penyuka kultur Jepang pasti orang aneh. Akibatnya sebagian penikmat anime harus menutupi hobinya tersebut agar tidak terkena stigma negatif dari orang-orang “normal”. Bahkan topik pembicaraan yang berhubungan dengan kultur Jepang sengaja dihindari agar tidak dicap aneh oleh orang awam. Kita baru bisa terbuka akan kegemaran terhadap kultur Jepang jika bertemu dengan sesama penyuka kultur Jepang. Para penyuka anime juga tak jarang mendapatkan perundungan atau dijauhi oleh orang-orang disekitarnya.
Padahal, penggunaan istilah wibu yang populer di Indonesia sebetulnya keliru karena tidak semua penikmat anime bisa disebut sebagai wibu.
Terdapat tiga tingkat untuk membedakan para penikmat anime (Lacuesta, 2020). Tingkat pertama adalah consumers dimana pada tingkat ini seseorang yang menonton anime hanya sebatas hiburan saja tanpa adanya ketertarikan atau obsesi berlebihan terhadap anime. Mayoritas dari penikmat anime berada dalam tingkat ini dimana mereka menganggap anime hanya media hiburan untuk mengisi waktu luang layaknya hiburan lain.
Tingkat kedua adalah otaku atau yang ekuivalen dengan geek dalam Bahasa Inggris. Seorang penggiat anime dan manga sekaligus cendekiawan sains dan teknologi dari Amerika Serikat bernama Lawrence Eng mendefinisikan otaku sebagai obsesi terhadap pop culture, science fiction, teknologi, atau hobi lain yang mengandung banyak informasi didalamnya. Namun istilah otaku sering diafiliasikan dengan pop culture Jepang meskipun cakupannya tidak sebatas itu saja. Para otaku anime biasanya sangat antusias dan memiliki ketertarikan terhadap segala aspek dalam anime. Mereka mengetahui segala seluk-beluk suatu anime dari setting, jalan cerita, dan karakternya. Tidak hanya unsur dalam cerita, para otaku juga mengetahui segala hal tentang latar belakang pengarang ceritanya dan produksi dibalik layar. Tak jarang para otaku juga mengoleksi merchandise dari anime favoritnya seperti action figure, poster, hingga bantal dakimakura. Beberapa otaku bahkan memiliki teori sendiri untuk memprediksi jalan cerita anime yang sedang diikutinya.
Tingkat ketiga adalah wibu atau weaboo. Wibu adalah bagian dari subkultur otaku namun tingkat ini bisa disebut yang paling radikal atau garis keras dari seorang otaku karena sifat dan perilakunya yang merubah identitas budaya atau rasial diri sendiri (Lacuesta, 2020). Seorang wibu mengalami hal yang disebut sebagai racial dysphoria atau transrasial dimana seseorang mengadopsi identitas rasial yang berbeda dari identitas rasial asalnya (Tuvel, 2017). Dalam konteks wibu, seseorang yang sangat terobsesi dengan anime dan hal lain berbau jejepangan membuatnya mengadopsi nilai-nilai identitas Jepang dalam kehidupan pribadinya. Wibu kerap disebut sebagai wapanese, singkatan dari wannabe japanese karena mereka bertingkah seakan-akan mereka adalah orang Jepang. Cepatnya persebaran informasi dan akses pada manga & anime menjadi salah satu faktor pertama dari munculnya para wibu. Namun, yang menjadi faktor terbesar dari upgrade nya seseorang dari otaku ke wibu adalah kegagalan untuk memisahkan hal yang disukai dengan paham-paham, ideologi, dan way of life yang masing-masing individu adopsi. Akibatnya banyak wibu yang menganggap dirinya sebagai tokoh dalam anime dengan berbicara dan berperilaku layaknya karakter anime favoritnya.
Karena obsesinya kepada karakter anime favoritnya mereka selalu menganggap karakter tersebut sebagai pasangan hidupnya atau biasa disebut waifu/husbando. Bahkan ketertarikannya kepada waifu atau husbando-nya membawa pengaruh ke kehidupan nyata. Contohnya, mereka menerapkan standar untuk orang yang ingin jadi pasangannya misalkan harus memiliki wajah seperti orang Jepang, memiliki bentuk fisik yang mirip karakter anime kesukaannya, atau bahkan mereka tidak ingin orang lain selain karakter anime yang menjadi pasangan hidupnya. Fenomena ini tidak hanya terjadi pada komunitas anime atau manga saja. Dewasa ini, hal yang sama juga terjadi pada dunia pop culture Korea Selatan dimana weeaboo dapat disetarakan dengan fans radikal lainnya seperti K-boo atau Koreaboo karena konsumsi k-pop, k-drama, dan lainnya.
Penikmat anime yang masuk ke dalam kategori wibu menganggap Jepang superior dai negara dan budaya lainnya dan menerapkan nilai-nilai identitas kebudayaan Jepang dalam kehidupan sehari-hari. Namun yang tidak disadari adalah hal tersebut bisa menjurus kepada cultural appropriation yang merupakan penerapan elemen dari suatu identitas kultur oleh orang dari identitas kultural yang berbeda (Young, 2010). Bentuk cultural appropriation terhadap kultur Jepang terlihat dalam pemakaian pakaian tradisional Jepang seperti kimono yang terkadang tidak sesuai dengan budaya Jepang. Dalam tingkat sistematis cultural appropriation dalam industri film terlihat dengan adanya white washing dalam film adaptasi anime Ghost in the Shell dimana karakter Motoko Kusanagi diperankan oleh aktris berkulit putih yaitu Scarlett Johansson.
Selain itu para wibu kerap melakukan fetishizing kepada kultur Jepang. Salah satu bentuk fetishizing kultur Jepang yang sering terjadi adalah stereotip Lotus Blossom. Stereotip tersebut menggambarkan wanita Asia adalah wanita yang submisif, penurut, bahkan tak lebih dari pemuas nafsu para laki-laki. Stereotip tersebut pertama kali muncul ketika masa imperialisme bangsa barat di Asia dan masih populer hingga era modern karena penggambaran wanita Asia dalam media atau pop culture. Meskipun stereotip Lotus Blossom dipopulerkan oleh negara barat namun hal tersebut juga dapat kita temui dalam sebagian tayangan anime. Beberapa serial anime yang umumnya dibuat dari male gaze sering menampilkan fanservice untuk menarik minat penontonnya (Cheng, 2021). Contohnya seperti karakter Nami dari anime One Piece yang digambarkan sebagai karakter wanita yang memiliki wajah cantik, badan sexy, dan sering memakai pakaian yang minim. Akibatnya sebagian penikmat anime menganggap wanita dalam anime sebagai objek seksual dan mereka membawa pemikiran tersebut ke dunia nyata sehingga beberapa kali terjadi kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh para wibu. Ada masanya ketika saya masih sering mendatangi festival kebudayaan Jepang dan disitu saya pernah beberapa kali mendengar kabar pelecehan seksual yang dilakukan para wibu kepada cosplayer ketika sedang foto bersama.
Layaknya hobi lain, anime juga memiliki penggemar dengan tingkat fanatismenya berbeda-beda. Ketertarikan pada hal berbau jejepangan juga bisa menjadi wujud apresiasi kebudayaan Jepang. Perlu digaris bawahi bahwa tidak semua penikmat anime memiliki perilaku seperti wibu. Kebanyakan dari para penikmat anime hanya sekadar menjadikan anime sebagai sarana hiburan atau punya deep interest tanpa adanya obsesi “radikal” terhadap pop culture Jepang tersebut. Apakah ingin mengumbar atau menutupi kecintaan kita pada anime dari orang-orang itu kembali lagi kepada pilihan masing-masing. Namun tak bisa dipungkiri bahwa wibu itu ada dan nyata karena kegagalan untuk memisahkan pop culture Jepang tersebut dengan paham-paham, ideologi, dan way of life yang masing-masing individu adopsi. Selama seorang penggemar pop culture Jepang tersebut mengekspresikan ketertarikannya kepada anime dengan cara yang baik dan tidak merugikan orang lain kita tidak perlu mencemooh atau memberikan stigma negatif kepada mereka. Tapi selama mengekspresikan hobi tanpa merugikan orang lain tidak ada yang salah menjadi seorang wibu. Di sisi lain, jadilah penggemar yang bijak. Mengekspresikan hobi kita itu hal yang lumrah namun jangan sampai fanatisme kita terhadap anime menimbulkan fetishizing kepada kultur Jepang, cultural appropriation, apalagi sampai meresahkan orang lain.
REFERENSI
Chaochu, X. (2019). An Analysis of Japanese Otaku Culture from a Viewpoint of Animation Anthropology. International Journal of Learning and Teaching Volume 5, 277.
Cheng, J. (22 April 2021). Stop fetishizing East and Southeast Asians. Retrieved from The Breeze: https://www.breezejmu.org/opinion/opinion-stop-fetishizing-east-and-southeast-asians/article_23caffd6-a2c4-11eb-8966-f3003ece85fc.html
Eng, L. (2012). Anime and Manga fandom as networked culture. In Fandom unabound : otaku culture in a connected world. New Haven, CT: Yale University Press
Kelts, R. (2008). Japanese Pop Culture: It’s Problems & It’s Enormous Potential. Japan Spotlight Cover Story 5, 18.
Lacuesta, J. (2020). The Weeaboo Subculture: Identification and Performance. 10.13140/RG.2.2.32604.21125.
Tuvel, Rebecca (2017). “In Defense of Transracialism”. Hypatia. 32 (2): 263–278. doi:10.1111/hypa.12327
Young, James O. (1 February 2010). Cultural Appropriation and the Arts. New Jersey: John Wiley & Sons.