Mungkinkah Melindungi Gen Z dan Gen Alfa dari Eksploitasi Jejak Digital?

Ditulis oleh: Melisa Pranata
Disunting oleh: Wulan Faraditha, Zania R Putri, Ghafi Reyhan
Ilustrasi oleh: Lisa Kalystari

Pernah ngga, setidaknya satu dari kalian bertanya, “bermulanya internet diciptakan ini atas dasar tujuan apa, sih?” atau “bagaimana jejak persebaran internet pada saat itu sampai sekarang, ya?” Jika pernah, kemungkinan besar kita mempunyai rasa penasaran yang mirip-mirip. Tidak bisa dipungkiri bahwa penemuan internet turut memberikan perubahan masif. Internet menjadikan dunia sebagai global village. Aktivitas manusia seperti berkomunikasi, yang dulunya terbatas dalam hal ruang dan waktu, kini tidak lagi terbatas hal demikian.

Berawal di  tahun 1969, Departemen Pertahanan Amerika Serikat menginisiasi riset yang dikenal sebagai ARPANET (Advanced Research Projects Agency Network). Riset ini bertujuan untuk menciptakan jaringan antar komputer atau yang sekarang disebut sebagai internet (Hasfi, 2014). Berangkat dari titik itu, internet kemudian dikembangkan di negara-negara lain di seluruh dunia sehingga penyebaran dan penggunaannya semakin masif dan tidak terpisahkan dari hidup manusia dari waktu ke waktu. 

Tetapi perlu diingat bahwa setiap kemajuan mempunyai konsekuensi yang mengikuti, salah satu konsekuensi dari keputusan untuk menciptakan dan menggunakan internet adalah terciptanya jejak digital (digital footprint). Jejak digital (digital footprint) adalah jejak data yang dihasilkan saat menggunakan internet seperti mengunjungi website, belanja online, berkirim surel, dan membuat akun media sosial (Christensson, 2014) dan dapat ditinjau melalui bagaimana suatu kegiatan digital menghasilkan jejak dan jenis datanya. 

Jejak digital secara umum dibagi menjadi dua; aktif dan pasif. Jejak digital aktif adalah jejak data yang sengaja diberikan saat menggunakan internet seperti mengunggah foto atau video di media sosial. Sedangkan, jejak digital pasif adalah jejak data yang tidak sengaja ditinggalkan saat menggunakan internet seperti alamat IP atau riwayat aplikasi geolokasi seperti  Google Maps. Lalu, menurut jenis datanya, jejak digital terdiri atas jejak digital data pribadi dan bukan data pribadi. Jejak digital data pribadi meliputi nama, agama, jenis kelamin, orientasi seksual, data biometrik, dan sebagainya. Sedangkan, jejak digital bukan data pribadi berupa pembagian pesan broadcast atau pranala berisi informasi terkini di media sosial. 

Keberadaan jejak digital bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi bermanfaat untuk kemajuan teknologi komunikasi dan informasi, di sisi lain dapat dieksploitasi untuk kepentingan seseorang atau kelompok tertentu. Eksploitasi jejak digital perlu digaris bawahi karena merupakan dampak negatif yang dapat sangat merugikan dalam jangka panjang, seseorang harus paham pentingnya untuk berhati-hati dalam meninggalkan jejak digital di dunia maya. Mereka yang meninggalkan jejak digitalnya secara sembarangan mempunyai tingkat kerentanan lebih tinggi untuk dieksploitasi. Dampak negatif dari eksploitasi umumnya berupa berubahnya cara orang memandang kita, ancaman blackmail terhadap kehidupan pribadi, merusak reputasi, kehilangan pekerjaan, bahkan sampai memutus hubungan dengan orang terdekat.  

Parahnya, eksploitasi jejak digital dapat dilakukan atau dibantu oleh perusahaan penyedia layanan media sosial seperti Facebook dan keterlibatannya dalam kasus Cambridge Analytica pada referendum Brexit 2016 dan kemenangan Donald Trump di Pilpres AS 2016 (Aria, 2020). 

Eksploitasi jejak digital yang dilakukan atau dibantu oleh perusahaan layanan media sosial tidak terbatas pada jejak digital orang dewasa saja. Anak-anak usia 18 tahun ke bawah yang terdiri dari Generasi Alfa dan sebagian Generasi Z juga rentan terhadap eksploitasi jejak digital, sebab mereka sangat akrab dengan internet dan produknya; media sosial. Salah satu media sosial yang menjadi “sarang” eksploitasi jejak digital anak sekarang adalah TikTok. Berdasarkan rentang usia, pengguna TikTok paling banyak berusia 6-17 tahun yaitu sebanyak 31,59%, diikuti oleh pengguna berusia 18-24 tahun sebanyak 30,14% (Mou, 2020: 22).

Eksploitasi jejak digital anak yang dilakukan oleh TikTok pernah terungkap di beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan. Di Amerika Serikat, pada tahun 2019 TikTok didenda sebesar 5,7 juta dollar AS oleh Federal Trade Commission karena  melanggar Children’s Online Privacy Protection Act (COPPA), yang bertujuan melindungi anak-anak  dibawah 13 tahun dari bahaya penggunaan internet melalui larangan mengumpulkan data milik anak-anak tanpa izin dari orang tua (Lieber, 2019). Satu tahun setelah kasus tersebut, pemerintah Korea Selatan juga mendenda TikTok sebesar 186 juta won karena terbukti mengumpulkan data dari anak-anak berusia 14 tahun ke bawah tanpa izin dari orang tua (Jati, 2020). Kasus demikian menjadi sangat berbahaya bagi anak-anak karena dapat membongkar perlindungan tradisional yang ditujukan bagi anak-anak oleh masyarakat. Bentuk konkret dari perlindungan tradisional ini adalah apa yang orang tua sudah biasa dilakukan by default, memantau perkembangan anak di kehidupan nyata dengan memberikan perlindungan melalui bangunan fisik (rumah) atau memberikan batasan kepada anak-anak seperti tidak boleh melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan umurnya. Tetapi dengan eksistensi internet dan akrabnya anak-anak sekarang terhadap internet, membuka celah perlindungan tradisional yang diberikan orang tua. Terutama jika orang tua kurang memahami keamanan siber dan cara melindungi anak-anaknya yang telah sedemikian terkoneksi dengan internet, maka anak-anak yang semakin terekspos dengan bahaya dunia maya, tidak akan mampu memahami perbedaan apa yang harus dihindari dan tidak sehingga berpotensi membahayakan mereka. Selain itu, kerentanan dalam kehidupan anak-anak seperti kemiskinan dapat membuat mereka mengalami bahaya yang lebih serius dari eksploitasi jejak digital, seperti penculikan dan perdagangan manusia (UNICEF, 2017: 71). 

Di Indonesia, belum ada regulasi yang bertujuan untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi jejak digital. Misalnya, dalam Pasal 26 Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 (UU ITE) tidak dijelaskan bagaimana persetujuan penggunaan data pribadi dari seorang anak atau walinya yang sah. Sama halnya dengan UU ITE, RUU PDP yang diusulkan oleh Kominfo juga tidak membahas mengenai jejak digital anak. Padahal, dalam rancangan penjelasan umum RUU PDP dinyatakan bahwa, “keberadaan suatu Undang-Undang tentang Perlindungan atas Data Pribadi merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditunda-tunda lagi karena sangat mendesak bagi berbagai kepentingan nasional”. Adanya kekosongan hukum di tengah maraknya kasus mengenai hal ini, menempatkan Indonesia pada posisi rentan alias tidak ideal.

Kurangnya literasi mengenai pentingnya melindungi jejak digital anak dari eksploitasi cukup mempengaruhi kesadaran masyarakat mengenai betapa substansialnya hal ini, kurangnya kesadaran berdampak pada absennya regulasi yang secara spesifik mengatur tentang hal ini. Absennya regulasi memberikan ketidakpastian hukum, adanya ketidakpastian hukum membuat para pelaku eksploitasi tetap berjalan di bawah radar penegakan hukum. Maka dari itu, tidak menutup kemungkinan bahwa eksploitasi jejak digital anak akan terjadi, sudah pernah terjadi, atau bahkan sedang terjadi di Indonesia.

Mengingat preseden buruk yang pernah terjadi, maka perlu dipikirkan kembali mengenai kepentingan keamanan nasional yang hendaknya dilindungi oleh pemerintah. Jika sangat mendesak bagi berbagai kepentingan nasional, mengapa tidak ada regulasi yang mengatur mengenai perlindungan anak-anak dari Generasi Z dan Generasi Alfa dari eksploitasi jejak digital? Bukankah perlindungan anak-anak adalah prasyarat utama agar mampu melindungi kepentingan nasional dalam beberapa dekade ke depan? 

Jawaban atas dua pertanyaan tersebut sebenarnya dapat didapatkan melalui keadaan sebagian besar masyarakat yang belum sadar mengenai bahaya eksploitasi jejak digital yang mengintai anak-anak. Dalam hal ini, memang perlu diakui bahwa antara kemajuan teknologi komunikasi dan informasi dengan kemampuan manusia merespons perubahan seringkali berjalan secara timpang. Namun, ketimpangan bukanlah hal yang mustahil diatasi. Ketimpangan masih dapat diatasi dengan pembuatan regulasi pemerintah yang lebih berpihak kepada anak-anak. Meski idealnya seperti itu, pemerintah masih saja kurang memperhatikan urgensi perlindungan jejak digital warganegaranya, terutama anak-anak. Kurangnya kesadaran serta perhatian pemerintah mengenai hal ini, menyebabkan regulasi yang melindungi anak-anak secara optimal dari bahaya eksploitasi jejak digital. 

Dengan kurangnya perhatian dari pemerintah, maka tidak asing jika bermunculan spekulasi bahwa pemerintah menyepelekan hal ini, dan jika sikap tersebut tidak kunjung diubah, maka anak-anak akan menjadi kalangan yang paling dirugikan, sekarang maupun di kemudian hari. Untuk itu, sangatlah penting untuk mulai mempersiapkan lapisan-lapisan benteng sebagai bentuk perlindungan bagi Generasi Z dan Generasi Alfa dari bahaya eksploitasi jejak digital. 

Berbagai elemen di negara mempunyai peran vitalnya masing-masing dalam pembentukan perlindungan terhadap anak, dimulai dari peningkatan literasi di masyarakat mengenai bahaya eksploitasi jejak digital, peran orang tua dalam memberikan pemahaman kepada anaknya, lalu pemerintah yang mengindahkan aspirasi dan desakan masyarakat, kemudian penciptaan regulasi sebagai dasar resmi yang memberikan kepastian hukum pencegahan dan mengatasi eksploitasi jejak digital anak.

Tanpa kooperasi dari berbagai pihak tersebut, maka wacana mengenai keinginan untuk melindungi Generasi Z dan Generasi Alfa hanya akan menjadi wacana semata.

REFERENSI

Aria, P. (2020). Carole Cadwalladr, Jurnalis Penguak Skandal Cambridge Analytica. Diakses dari https://katadata.co.id/pingitaria/berita/5e9a498e92905/carole-cadwalladr-jurnalis-penguak-skandal-cambridge-analytica pada 23 Mei 2021.

BPS (2021). Hasil Sensus Penduduk 2020. Diakses dari https://www.bps.go.id/pressrelease/2021/01/21/1854/hasil-sensus-penduduk-2020.html pada 29 Juli 2021. 

Christensson, P. (2014). Digital Footprint Definition. Diakses dari https://techterms.com pada 21 Mei 2021.

Gumelar, G. (2018). Dua Syarat Agar Kominfo Buka Blokir Tik Tok. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20180704165855-185-311537/dua-syarat-agar-kominfo-buka-blokir-tik-tok pada 27 Juli 2021. 

Hasfi, N. (2014). Sejarah Perkembangan Internet sebagai Wadah Keberadaan Cyber Media. Universitas Terbuka. Diakses dari http://repository.ut.ac.id/4508/2/SKOM4331-M1.pdf pada 21 Mei 2021. 

Jati, A. S. (2020). TikTok kena Denda di Korsel Karena Langgar Privasi Anak. Diakses dari https://inet.detik.com/law-and-policy/d-5094758/tiktok-kena-denda-di-korsel-karena-langgar-privasi-anak pada 25 Mei 2021. 

Lieber, C. (2019). TikTok has been illegally collecting children’s data. Diakses dari https://www.vox.com/the-goods/2019/2/28/18244996/tiktok-children-privacy-data-ftc-settlement pada 25 Mei 2021. 

Mou, J. B. (2020). Study on social media marketing campaign strategy — TikTok and Instagram. Diakses dari https://dspace.mit.edu/handle/1721.1/127010 pada 27 Juli 2021.

UNICEF. (2017). The State of the World’s Children 2017: Children in a Digital World. Diakses dari https://www.unicef.org/media/48581/file/SOWC_2017_ENG.pdf pada 5 Agustus 2021. 

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *