
Ditulis oleh: Indira Sukmariana
Disunting oleh: Rizka Herdiani & Zania R Putri
Ilustrasi oleh: Pricharia Via
Namanya juga asa, kerap redup secara berkala. Namanya juga jiwa, kuat atau tidak tetap porak poranda. Bagaimana tidak?
Dengan detak pertama di pagi hari, hembus perdana di bawah mentari, sadar diri yang semakin merugi dalam dunia lupa diri.
Terdapat tiga gelas air tembaga di atas meja makan. Gelas dari gading retak mau dipoles and dibakar tetap saja bau darah.
“Banjir bandang di kawasan Jakarta Utara—”
“Kasus kematian akibat Covid-19 mencapai angka—”
“Pelaku korupsi ditangkap di rumah terduga—”
Dunia ini semakin gila. Ambil satu dan pegang seharian. Ambil dua dan pegang seharian. Tanganmu tidak cukup untuk yang ketiga.
Pegang saja, jangan diminum! Air tembaga meracuni.
Pegang saja, jangan diletakkan! Meja makan yang rapuh digerogoti rayap butuh bantuan mengangkat beban tugasnya.
Semakin lemah semakin banyak gelas yang dihidangkan, semakin sedikit mereka yang ingin memikulnya.
Racun air tembaga tidak setimpal dengan rasa pegal tangan yang tak kunjung reda. Memikul beban yang seharusnya bukan urusan kita, melainkan mereka yang punya kuasa. Bicara sampai berbusa jika busuk sudah ke akar tidak dapat pun diselamatkan.
Dan ada saatnya gelas itu menjadi milik kita sepenuhnya. Terukir oleh nama Ayah dan berisi ketuban Ibu, dipanggil maut dan sengsara. Keduanya urung diselamatkan karena tangan kami penuh. Bersedih sesaat saja rasanya egois luar biasa.
Lalu, bagaimana nanti? Yang ku tahu kita tetap harus berganti, berotasi hari demi hari, mengangkat gelas gading berisi, hingga meja dapat diperbaiki.