Sepotong Malam. Sepatah Kata.

Ditulis oleh: Fauzan Abdul
Ilustrasi oleh: Lisa Kalystari

Aku hanya pernah berbohong kepadanya tiga kali. Dan hari itu aku mengucapkan kebohongan yang ketiga.

***

Waktu akhirnya mempertemukan kami kembali, tapi aku tahu yang sebenarnya aku ingin temui adalah ia yang telah tiada.

Kujenguk kembali hitam matanya, tapi tak lagi kutemukan pantulan diriku di sana. Yang ada adalah kesedihan yang tak kukenal, yang asal muasalnya tak lagi diceritakan pada malam-malam gerah di atas kasur tanpa bantal. Ya, malam-malam itu takkan pernah kembali, dan kami mengetahuinya. Kami pun terdiam, diselubungi kesendirian masing-masing, memaksakan senyum kepada seorang yang telah menjadi asing.

“Apa kabar?” tanyanya.

“Baik. Apa kabar?”

Dimas baru mengerti mengapa Surti meninggalkannya. Mengapa Surti tak suka menelepon lama-lama, mengapa Surti menutupi mulutnya saat mereka bercinta meski tak ada orang lain di rumah, mengapa mereka menghabiskan malam bermain bisu yang hanya pecah ketika “aku sayang kamu” tak lagi dapat ditahan tenggorokan Dimas. Suaranya cempreng seperti lumba-lumba.

Karena itu jarinya pun ragu saat ia menekan nomor Surti. Namun ia tak tahan lagi, ia harus mendengar suaranya, yang lembut dan ringan, yang selalu menarik senyumnya selebar garis pantai sekalipun hanya tinggal gema dalam ingatan.

“Halo.” Ia terdiam.

“Halo?” Suara yang datang menubruknya itu bagaikan lautan, berat dan begitu dalam.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *