Diskriminasi Penghayat Kepercayaan

Created by Kolom Remaja Interns:
Written by: Deanita Sekar
Illustration by: Yanuwar

Sejak dahulu, Indonesia dikenal oleh keberagaman yang dimiliki dalam berbagai aspek. Bangsa Indonesia merupakan bangsa majemuk yang terdiri atas bermacam-macam suku, bahasa, budaya, dan kepercayaan. Hal ini dikarenakan oleh beberapa faktor seperti letak geografis, kondisi iklim, dan pengaruh negara asing. 

Keberagaman yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari ialah agama dan kepercayaan. Penjelasan Pasal 1 UU 1/PNPS/1965 menyebutkan bahwa terdapat enam agama yang diakui oleh pemerintah yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu (Confusius). Namun, dengan pengakuan enam agama resmi tidak berarti bahwa agama atau kepercayaan lain dilarang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Hanya saja, agama dan kepercayaan lain belum diakui keberadaannya secara resmi dibawa hukum Indonesia.

Menurut IGM Nurdjana (2009), yang dimaksud aliran kepercayaan adalah semua aliran (mazhab, sekte, orde, paham dan sebagainya) kepercayaan yang ada dalam masyarakat baik yang bersumber dari agama atau di luar agama serta melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat kebatinan, kejiwaan, kerohanian, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa termasuk berbagai kegiatan yang bersifat mistik, kejawen, perdukunan, peramalan, paranormal dan metafisika. Masyarakat yang mempercayai aliran kepercayaan ini sering disebut sebagai penghayat kepercayaan.

Pada mulanya, bangsa Indonesia menganut paham animisme. Animisme adalah kepercayaan yang mempercayai bahwa semua benda di bumi memiliki jiwa yang hidup sehingga harus dihormati. Mereka percaya jika mengganggu benda mati, roh jahat akan menghampiri mereka dan mengganggu aktivitas sehari-hari (Koentjaraningrat,1994). Kepercayaan ini berkembang dan diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga sebagai warisan leluhur.

Namun, penyebaran agama yang dilakukan oleh bangsa lain menyebabkan kepercayaan kerap kali mengalami krisis eksistensi. Hingga kini, penghayat kepercayaan memiliki persentase yang lebih kecil jika dibandingkan dengan agama asing. Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010 (SP2010), jumlah penghayat kepercayaan di Indonesia berada di angka 299.617 orang, yang mana cukup sedikit dibandingkan dengan agama lain. Namun, Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) memperkirakan penghayat kepercayaan mencapai 12 juta orang dengan 187 jenis kepercayaan berbeda. Angka perkiraan ini hanya berkisar 6% dari penganut agama mayoritas di Indonesia yaitu Islam.

Pada dasarnya, semua penganut agama dan kepercayaan memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata negara. Secara hukum, penghayat kepercayaan dijamin kebebasannya oleh negara dalam UUD 1945 Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” Namun, pada kenyataanya, penghayat kepercayaan kerap kali dijadikan ‘anak tiri’ di Indonesia.

Perjuangan penghayat dimulai dari adanya TAP MPR Nomor 4/1978 yang menyatakan bahwa kepercayaan bukanlah agama, melainkan kebudayaan. 

Seperti yang dialami masyarakat kepercayaan Marapu di Sumba Barat. Sebagian besar penghayat memiliki KTP dengan kolom agama yang diisi Kristen, agama mayoritas di sana. Namun, dalam kehidupannya, mereka tetap beribadah sesuai Kepercayaan Marapu. Hal ini disebabkan karena tidak adanya catatan di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik, yang menyebabkan kendala untuk pelayanan bagi pencatatan identitas mereka. Akibatnya, mereka kesulitan untuk mengurus administrasi lain seperti pencatatan perkawinan dan pembuatan akta kelahiran.Hal ini dapat menimbulkan permasalahan karena hubungan keluarga tidak dapat ditunjukkan melalui identitas resmi (Haryanto, 2018).

Selama ± 40 tahun, penghayat memperjuangkan hak mereka sebagai warga negara. Hingga pada tahun 2017, Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 untuk menuliskan ‘Penghayat’ di kolom agama menjadi titik terang setelah puluhan tahun. Namun, menurut Danang Sudjarwo dalam wawancara NET. (2018), meskipun sudah diputuskan, implementasi di lapangan tentang pengisian kolom agama dengan ‘Penghayat’ belum berjalan dengan baik.

Aktivitas lain yang menjadi permasalahan bagi penghayat adalah hak untuk mendapatkan pelajaran agama. Seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 12 ayat (1) 

“Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.” 

Hasil temuan penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang (2015), penghayat Baha’i di Pati belum bisa mendapatkan pemenuhan hak dalam ranah pendidikan. Hal ini dikarenakan kepercayaan belum tercatat secara resmi dalam data pemerintah dan tidak adanya guru yang tersedia di sekolah. Sehingga, murid penghayat Kepercayaan Baha’i mengikuti pelajaran agama yang tersedia di sekolah karena adanya tuntutan untuk terpenuhinya penilaian pelajaran agama dalam raport.

Namun, beberapa sekolah sudah mengambil tindakan nyata dalam rangka pemenuhan hak pembelajaran bagi siswa penghayat. Salah satu contohnya adalah SMKI Yogyakarta yang memiliki 2 siswa penghayat. Nesi Masilah (2020), menyebutkan dalam wawancara dengan Yayasan LKiS, “Sekolah sudah diberi pembekalan dan melaksanakan dengan cara menerima dan memfasilitasi siswa penghayat.” Meskipun terdapat keterbatasan dalam tempat belajar dan bahan ajar, guru di SMKI Yogyakarta mampu memenuhi hak para siswa penghayat untuk mendapatkan pendidikan agama yang sesuai.

Sejauh ini, penghayat kepercayaan sudah mendapatkan pemenuhan hak yang lebih cukup dibandingkan dengan masa lampau. Namun, tak dapat dihindari, permasalahan kerap kali terjadi, terutama dalam kehidupan sosial. Seperti yang dialami Dewi Kanti, penghayat Sunda Wiwitan, menyatakan kepada BBC (2017) bahwa remaja penghayat kepercayaan kerap kali mengalami perundungan. Ia menyatakan hal ini disebabkan oleh pemahaman yang menjadi norma sosial bahwa di Indonesia hanya terdapat 6 agama.

Masalah lain yang masih sulit untuk diselesaikan ialah perizinan untuk membangun rumah peribadatan. Hal ini kerap kali dialami oleh penghayat kepercayaan karena masyarakat yang masih memandang rendah terhadap penghayat, seperti yang terjadi pada kelompok Parmalim di Sumatera Utara. Sementara itu, penghayat Sapta Darma di Jawa Timur memiliki tempat ibadat yang menyatu dengan rumah warga. Penyebabnya tak lain karena kesulitan mendapatkan perizinan. (Arman Riyansyah, 2011)

Pemilahan kepercayaan kepercayaan yang dialami penghayat di Indonesia ternyata menjadi batu hambatan terciptanya integrasi dalam bidang agama dan kepercayaan. Meskipun tidak ada tujuan tertentu ketika diputuskan pemisahan antara agama dan kepercayaan, hal ini nyatanya menjadi segregasi hingga sekarang. Penghayat kepercayaan menjadi dipandang sebelah mata dan mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Sudut pandang yang melihat bahwa penghayat adalah sesuatu yang buruk sudah menjadi konsumsi khalayak dan diturunkan kepada anak-cucu. Tidak hanya diskriminasi dari masyarakat, penghayat kepercayaan juga mengalaminya dari pemerintah. Hal-hal inilah yang mendorong terjadinya perlakuan yang tidak adil dan tidak terpenuhinya Hak Asasi Manusia para penghayat kepercayaan. 

Kita bisa ambil peran dalam rangka mewujudkan pemenuhan hak bagi penghayat kepercayaan di Indonesia. Langkah ini bisa dimulai dengan menghilangkan stigma yang tertanam dalam diri sendiri mengenai penghayat kepercayaan sebagai ‘kelompok primitif’. Harapannya, para penghayat dipandang sama rata seperti penganut kepercayaan agama yang lain. Hilangnya stigmatisasi dapat mewujudkan toleransi dalam kehidupan sosial dan saling menghormati satu sama lain. Para penghayat bisa membangun rumah ibadah sehingga dapat beribadah dengan waktu dan tempat yang lebih nyaman dari sebelumnya. Dengan begitu, integrasi nasional bisa semakin terwujud di Indonesia. 

REFERENSI

Website:
Artharini, I., 2017. Penghayat Kepercayaan Akan Masuk Kolom Agama – BBC News Indonesia. [online] BBC News Indonesia. Available at: <https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39842354> [Accessed 13 January 2021].

Erdianto, K. and Nadlir, M., 2017. Hapus Diskriminasi Penghayat Kepercayaan Halaman All – Kompas.Com. [online] KOMPAS.com. Available at: <https://nasional.kompas.com/read/2017/12/06/06050061/hapus-diskriminasi-penghayat-kepercayaan?page=all> [Accessed 14 January 2021].

Kurniawan, F., 2017. Seberapa Banyak Jumlah Penghayat Kepercayaan di Indonesia?. [online] tirto.id. Available at : <https://tirto.id/seberapa-banyak-jumlah-penghayat-kepercayaan-di-indonesia-cz2y> [Accessed 12 January 2021].

Saputra, A., 2019. Menunggu 41 Tahun, Akhirnya Penghayat Masuk Kolom Agama Di KTP. [online] detiknews. Available at: <https://news.detik.com/berita/d-4442776/menunggu-41-tahun-akhirnya-penghayat-masuk-kolom-agama-di-ktp> [Accessed 11 January 2021].

Saut, P., 2017. Ada 187 Organisasi Dan 12 Juta Penghayat Kepercayaan Di Indonesia. [online] detiknews. Available at: <https://news.detik.com/berita/d-3720357/ada-187-organisasi-dan-12-juta-penghayat-kepercayaan-di-indonesia> [Accessed 12 January 2021].

Jurnal:
Budijanto, O., 2016. Penghormatan Hak Asasi Manusia Bagi Penghayat Kepercayaan di Kota Bandung. Jurnal HAM, 7(1), pp.35-44.

Riyansyah, A., 2011. Eksklusi Hak-Hak Sipil Dan Konstruksi Identitas Komunitas Penghayat Kepercayaan.

Setiawan, A., 2018. Perspektif hukum refleksif terhadap peran mahkamah konstitusi dalam menjamin hak-hak konstitusional penghayat kepercayaan. Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, 1(1), pp.81-97.

Zakiyah, Z., 2018. PENDIDIKAN KEPERCAYAAN TERHADAP TUHAN YANG MAHA ESA: PEMENUHAN HAK SISWA PENGHAYAT DI SEKOLAH. Penamas, 31(2), pp.397-418.

Buku :
Haryanto, J., 2018. Negara Melayani Agama Dan Kepercayaan. 1st ed. Jakarta: LITBANGDIKLAT PRESS.

Koentjaraningrat, 1994. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka, pp.15-16.

Video :
Netmediatama, 2019. Kisah Pilu ‘Penghayat Kepercayaan’ Di Wilayah DIY- NET YOGYA. Available at: <https://youtu.be/0d4JSDgxKqQ> [Accessed 12 January 2021].

Yayasan LKiS, 2020. Aku Siswa Penghayat. Available at: <https://youtu.be/wcbp10nmTL0s> [Accessed 12 January 2021].

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *