Babi Ngepet, Mesin Slot, dan Stanford Marshmallow Experiment

Mengapa Kita Mengonsumsi Hoax: Mengapa Tidak?

Ditulis oleh: Fauzan Abdul
Ilustrasi oleh: Lisa Kalystari

“Heboh Babi Ngepet di Depok, Warga Dipungut Rp2 Ribu jika Ingin Lihat,” tulis sebuah headline berita beberapa pekan lalu. Betapa absurd, pikir saya. Ada orang-orang yang bukan hanya mempercayai seorang manusia dapat memakai kain hitam dan berubah menjadi babi magis pencuri harta benda, tapi bahkan rela membayar uang untuk mendapat sekilas penampakan makhluk itu. Penelusuran lebih lanjut (baca: membuka Twitter) menampilkan berbagai perbincangan. Klik. Ibu-ibu mengeluh tentang babi ngepet. Klik. Detik-detik babi ngepet dibunuh. Klik. Keterangan ahli zoologi mengenai keberadaan babi ngepet. Dan dengan begitu 30 menit waktu pagi saya telah habis demi babi ngepet yang satu ini. Sarapan belum dibuat, wajah belum dibilas. Lantas, saya pun bertanya, apa saya betul-betul berbeda dengan mereka yang membayar dua ribu untuk melihat babi itu? Dan teruntuk para pembaca yang mengalami hal yang sama, mengapa kita, yang tentu tahu bahwa berita ini kemungkinan besar adalah hoax, tetap rela menghabiskan waktu kita berkutat dengannya? Kali ini, saya ingin menawarkan satu jawaban—mengapa tidak?

Satu hal yang membuat pertanyaan ini lebih membingungkan adalah fakta bahwa banyak orang yang mengonsumsi berita semacam ini (membaca, menonton, membagikan kepada teman-teman di tengah malam) tidak percaya akan kebenarannya. Tentu, kita dapat memahami bagaimana hoax-hoax bermuatan politis terus bersirkulasi dengan dorongan orang-orang yang mempercayainya, entah akibat perasaan membutuhkan identitas kelompok yang lebih kuat, confirmation bias, atau sebab lainnya. Namun, unggahan-unggahan kali ini tidaklah dibagikan oleh mereka yang merasa perlu dukungan dari kelompok pemercaya babi ngepet-nya, atau mereka yang percaya bahwa uang yang hilang dari dompetnya diambil oleh babi ngepet (ya, mungkin beberapa orang yang berada dalam lingkup terdekat isu ini mungkin memang mempercayainya, tapi saya ragu likes merekalah yang membuat Anda sadar akan keberadaan isu ini). Kali ini, tampaknya penjelasan lain kita butuhkan.

Pencarian kita dapat terbantu jika kita mempertimbangkan bagaimana kita bisa tertarik pada unggahan apapun di media sosial. Dalam bahasan mengenai adiksi sosial media, analogi mesin slot sering dipakai untuk menggambarkan interaksi pembuat unggahan dengan platform media sosial yang digunakannya. Setiap unggahan adalah sebuah tarikan tuas, dan jumlah likes, comments, atau shares adalah kombinasi simbol yang tampil di layar mesin slot, melambangkan hadiah yang didapatkan. Unggahan foto babi, 14 likes. Unggahan foto babi ngepet, 14 ribu likes. Jackpot.

Menurut saya, analogi yang serupa dapat kita gunakan untuk melihat interaksi di sisi sebaliknya, yaitu mereka yang mengkonsumsi unggahan tersebut. Setiap kali kita menggeser layar linimasa kita ke bawah, kita sedang menarik tuas, dan kita tidak tahu apakah unggahan yang akan tampil selanjutnya adalah meme, berita tajuk utama, atau foto teman SMA. Hal ini seharusnya tidak menjadi masalah jika kita punya kapabilitas untuk mengonsumsi semua unggahan yang ada di media sosial, tapi Anda, yang sedang membaca artikel ini dalam sebuah platform media sosial, tentu tahu bahwa hal itu mustahil. Ketidakmampuan ini lantas menciptakan opportunity cost dalam setiap interaksi kita dengan sebuah unggahan: demi kesempatan melihat satu unggahan, kita harus merelakan kesempatan untuk melihat unggahan lain. Akibatnya, kita terdorong untuk lebih memilih unggahan yang dapat dikonsumsi dengan cepat untuk mengurangi opportunity cost kita: jika sebuah meme ternyata tidak lucu, kita hanya akan kehilangan beberapa detik, tapi jika sebuah kajian tentang meme sebagai representasi opini publik ternyata tidak memberi tahu hal baru, kita akan kehilangan waktu yang dapat dipakai tertawa akan entah berapa meme sungguhan. 

Di sinilah hoax memiliki keunggulan di atas fakta. Ulasan tentang fakta bahwa ketimpangan ekonomi dan kecemburuan sosial mengakibatkan hoax babi ngepet mungkin akan panjang dan belum tentu menarik, tapi keterangan seorang ibu yang menuduh tetangganya menggunakan babi ngepet dapat difabrikasi untuk memastikan bahwa keterangan itu tidak hanya disajikan dalam format yang dapat dipahami dengan cepat, tapi juga terlalu mustahil untuk tidak menarik perhatian (dan tentunya gelak tawa pembaca skeptis). Maka, kita kerap berinteraksi dengan hoax bukan karena kita menyukai (atau bahkan mempercayai) hoax secara sendirinya, tapi karena konten-konten seperti itu cenderung dapat memberikan kepuasan secara lebih cepat, atau dalam istilah lain memberikan kita  instant gratification.

Namun, saya rasa penjelasan ini tidak berakhir di sini; kita juga perlu melihat latar belakang seperti apa yang hadir di balik proses ini. 

Untuk memahami apa yang saya maksud, mari kita kunjungi salah satu eksperimen paling terkenal mengenai instant gratification: the Stanford marshmallow experiment. Berikan seorang anak sebuah marshmallow dan janjikan marshmallow kedua jika ia bisa menunggu 15 menit tanpa memakannya, setelah itu tinggalkan ruangan. Kemampuan anak mengumpulkan tekad untuk menunggu kemudian dikaitkan dengan skor ujian, performa akademis, dan bahkan indeks massa tubuh (BMI). Tentu, anggapan bahwa tekad yang sama yang dapat menahan godaan marshmallow juga dapat menahan godaan bermalas-malasan, bolos kelas, dan makan junk food terasa mudah untuk diterima, tapi nyatanya ada yang terlupakan di sini: menahan lapar bukan hanya persoalan tekad, tapi juga seberapa sering kita dapat bertemu dengan makanan.

Eksperimen ini hanya melibatkan 90 anak, dan semuanya adalah murid di prasekolah Stanford. Maka, ketika eksperimen yang sama dilakukan lagi (kali ini dengan 900 anak yang lebih representatif dalam hal, ras, etnisitas, dan pendidikan orang tua), hasil yang betul-betul berbeda muncul: kemampuan menunggu hanya punya hubungan lemah dengan pencapaian di kemudian hari ketika faktor lain seperti penghasilan orang tua dan lingkungan rumah ikut diperhitungkan. Replikasi eksperimen ini justru menawarkan penjelasan baru mengenai instant gratification: bahwa lebih mudah untuk menghalau godaan dan menunda hadiah kalau kita datang dari keluarga yang berpenghasilan dan berpendidikan lebih tinggi.   

Ya, menunggu menjadi lebih mudah ketika kenyamanan hidup sehari-hari meyakinkan bahwa kepuasan tak akan pergi begitu saja. Sebaliknya pun juga benar: bagi mereka yang hidupnya tidak selalu pasti, yang dapurnya tak selalu terisi, yang tahu bahwa janji tak selalu ditepati, siapa yang bisa menyalahkan mereka untuk menikmati kesempatan merasakan manisnya marshmallow yang berada di depan mata saat itu juga?

Hal yang sama saya rasa berlaku dalam upaya kita mencari hiburan di media sosial. Ya, mungkin di luar sana ada orang-orang yang dapat dengan sabar melalui bacaan-bacaan sulit dan bersubstansi, tapi bagi kita yang merupakan bagian dari semakin banyak pelajar dan pekerja yang merasakan burnout, bagi kita yang telah terjebak dalam rumah hampir tanpa interaksi dengan orang lain, bagi kita yang akhirnya rebahan di tempat tidur setelah runtutan online meeting panjang, siapa yang bisa menyalahkan jika kita tertawa melihat orang membayar dua ribu untuk bertemu babi pencuri uang?

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *