Mati Rasa.

Ditulis oleh: Fauzan Abdul
Disunting oleh: Zania R Putri
Ilustrasi oleh: Pricharia Via

“Ibu udah engga ada.” Kalimat itu masuk ke dalam kupingmu tapi kau tak mendengarnya. Dan yang terjadi selanjutnya terasa seperti menonton potongan film. Adegan berubah tanpa aba-aba. Datang ke rumah sakit. Pemakaman. Obrolan kecil dengan tetangga yang datang melayat. Orang kira kau sedang membayangkan ibu di surga. Padahal kau hanya memandang cicak di jendela. Kerabat datang dan pergi, ucapan ditukar dan diulangi, bunga diberi dan dibiarkan mati. Semua itu berjalan di depan mata, tapi tak lebih dekat. Seakan-akan segala hal yang kau dengar datang terlambat, empat kata terlalu lambat. Sampai suatu hari kau bertanya, “Ibuku meninggal kapan, ya?”

Delapan ribu delapan ratus orang meninggal hari ini. Aku salah satunya. Katanya, harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Namun, kini nama pun aku tak dapat, hanya sebuah angka. Saat orang yang pertama meninggal, semua orang tahu namanya. Saat orang keseribu meninggal, semua orang melanjutkan makan siangnya. Istirahat hanya setengah jam, lagi pula. Aku sendiri urutan keberapa? Aku tak tahu. Sudah kubuang karcis masuk tempat ini. Tahu pun tak ada gunanya. Yang berguna adalah diriku yang dulu, masuk kerja saat pagi masih buta, pulang saat malam telah bisu. Oh ya, doakan aku, surga sedang buka lowongan pekerjaan baru.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *