Yang Iri, Yang Terlewati

Menyoal kembali keadilan membandingkan diri dengan orang lain

Ditulis oleh: Fauzan Abdul
Disunting oleh: Fauzan Abdul
Ilustrasi oleh: Btari Indira

“Di antara seven deadly sins, mana yang paling sering lo lakuin?” tanya teman saya beberapa waktu lalu. Kali itu, saya terdiam, dan setelah beberapa saat baru menjawab “iri.” Apakah rasa iri sebenarnya memang mengalahkan keenam dosa pokok lainnya dalam intensitas ataupun frekuensi? Saya tak tahu. Namun, yang jelas saya sering sekali melakukan “dosa” yang satu ini. Tak jarang malam hari saya dihabiskan berputar-putar mempertanyakan kekurangan saya dibandingkan dengan orang lain: kenapa saya tidak bisa punya teman sebanyak orang lain? Kenapa tulisan saya masih belum bisa semahir tulisannya? Kenapa ketika saya pulang dari luar negeri, saya tidak disambut oleh ribuan pendukung saya di bandara? Ya, pada masa di mana mengintip indahnya kehidupan orang lain (tentunya melalui lensa yang telah dikurasi) dapat dilakukan hanya dengan beberapa sentuhan pada layar smartphone, merasa iri menjadi teramat mudah. Namun, perbandingan seperti ini nyatanya bukan hanya membuat diri merasa buruk, tapi juga mengabaikan ketidakadilan yang hadir dalam hidup setiap dari kita.

Dorongan untuk membandingkan diri dengan orang lain memang sulit untuk dihindari. Lebih dari setengah abad lalu, Leon Festinger, seorang psikolog sosial, menuliskan bahwa “terdapat, dalam organisme manusia, sebuah dorongan untuk mengevaluasi pendapat dan kemampuannya,” dan ketika tidak terdapat tolak ukur yang objektif akan hal itu, “orang-orang mengevaluasi pendapat dan kemampuannya dengan perbandingan terhadap pendapat dan kemampuan orang lain.” Perhatikan bahwa kata yang ia pakai di sini adalah “pada organisme manusia”. Bagi Festinger, dorongan ini tidak hanya dirasakan oleh sebagian dari kita yang lemah pendiriannya atau yang “emang hobinya banding-bandingin”, tapi hadir secara universal dalam diri setiap dari kita, sekalipun hanya melintas sesaat dalam lamunan malam hari. Dan agaknya ia benar.

Hal ini diperparah oleh keyakinan kita bahwa apa yang kita capai (dan, sebaliknya, tidak capai) sepenuhnya tergantung pada tindakan kita—keyakinan yang disokong oleh ide meritokrasi. 

Kita tak perlu pergi jauh-jauh untuk melihat ide ini dalam praktik. Ambil saja, sebagai contoh, ujian sekolah. Bentuk penilaian seperti ini masih sering diusung sebagai teknik yang objektif dan imparsial; apakah Anda mendapat nilai besar atau kecil tergantung pada kemampuan Anda. Maka, saran yang menggaung setiap sebelum ujian juga tak jauh-jauh dari “ayo belajar yang rajin, supaya dapat nilai yang bagus.” 

Pandangan ini pun ditancapkan semakin dalam pada pikiran dengan tuturan “kisah-kisah sukses inspiratif” mereka yang memulai dari bawah. Entah itu tentang pendiri suatu perusahaan atau siswa berprestasi, narasi-narasi yang hadir mirip tak kepalang: seseorang datang dari latar belakang yang tak diuntungkan, berjuang dengan keras (dan sering kali dibarengi dengan usaha spiritual yang tak kalah keras) hingga akhirnya sampai pada posisi saat ini yang cukup membanggakan untuk dibagikan ceritanya di grup-grup Whatsapp keluarga oleh para ibu yang ingin anaknya bernasib serupa. Hal yang digarisbawahi dalam cerita seperti ini adalah bagaimana perubahan kondisi yang dialami sang tokoh berasal dari usahanya sendiri. Tidak ada dewi keberuntungan, tidak ada durian runtuh; yang ada hanyalah tekad yang kuat untuk merubah keadaan hidup.

Di bawah bayang-bayang meritokrasi, rasa iri menyayat lebih dalam, karena perbedaan pencapaian mengisyaratkan perbedaan kemampuan: mereka yang lebih sukses menjadi sukses karena hasil tangan sendiri, sedangkan mereka yang tertinggal tak bisa mengejar karena kelemahan diri mereka sendiri.

Tentu, tidak semua kisah sukses seperti itu adalah bualan; saya yakin kita dapat menyebut satu-dua nama orang yang kita yakini sepenuh hati sebagai model pekerja keras yang melampaui keterbatasan latar belakangnya. Sayang, nyatanya yang demikian adalah pencilan—atau outlier—titik-titik data ekstrem di hadapan lautan orang yang terikat pada lingkungan lahir dan besarnya.

Mari kembali kepada bahasan ujian sekolah. Di Amerika Serikat, SAT (ujian yang dipakai kebanyakan murid SMA untuk seleksi universitas; mirip dengan UTBK) juga pernah dianggap sebagai meteran yang setara untuk mengukur kemampuan para murid. Nyatanya, nilai SAT mencerminkan penghasilan orang tua pesertanya dengan kemiripan yang mungkin mencengangkan. Mereka yang orang tuanya berpenghasilan lebih dari $200,000/tahun memiliki rata-rata nilai matematika sebesar 586 (dalam skala 200-800), sementara mereka dengan penghasilan kurang dari $20,000/tahun hanya dapat mencapai nilai rata-rata 453 (College Board, 2016; Perry, 2019). Jika data ini disusun dalam bentuk tabel batang, maka ia akan menyerupai bentuk sebuah tangga, dengan rata-rata nilai yang naik beriringan dengan kenaikan penghasilan.

Lantas, apakah mereka yang berada pada anak tangga lebih rendah memang kurang keras belajarnya dibandingkan mereka yang di atas? Apakah mereka kurang kuat tekadnya atau kurang meresapi kisah-kisah sukses para pembesar sebelumnya?

Sekilas, mereka mungkin tampak diuji dalam kondisi yang buta akan latar belakang mereka: mereka duduk pada ruang kelas yang sama, diberi batas waktu yang sama, dan dinilai dengan kunci jawaban yang sama. Namun, yang luput dari pengamatan semacam ini adalah kesadaran akan fakta bahwa tidak ada bentuk pengujian yang dapat sepenuhnya mengabaikan pengaruh latar belakang. Duduk pada ruang kelas yang sama saat ujian tidak dapat menghapus fakta bahwa banyak murid dengan kesulitan finansial harus belajar dalam ruang yang tak layak, sebagaimana batas waktu ujian yang sama tidak dapat menghapus fakta bahwa murid dengan posisi finansial yang lebih baik dapat menerima ratusan jam belajar tambahan pada layanan bimbingan belajar yang sulit diakses mereka yang berkeuangan rentan. Perbedaan-perbedaan latar belakang yang berada di luar kontrol yang telah terakumulasi inilah yang pada akhirnya akan terekspresikan dalam sebagian besar nilai ujian.

Korelasi antara nilai ujian dengan penghasilan orang tua (dan beberapa faktor demografis lainnya) adalah salah satu contoh yang terdokumentasi paling baik, tapi saya percaya bahwa banyak sekali, kalau bukan semua, kemampuan yang kita miliki dipengaruhi oleh latar belakang kita pula. Tanpa seorang nenek yang memaksa saya membaca buku sejak kecil, mungkin saya tidak akan bisa menulis tulisan seperti ini sekarang; tanpa pandemi yang memberi saya banyak waktu dan sedikit pekerjaan, mungkin saya tidak akan bisa membuat kopi seenak sekarang.

Dengan menyadari bahwa keadaan yang meliputi kehidupan tiap dari kita adalah berbeda dan bahwa perbedaan keadaan tersebut mau tidak mau turut membentuk hasil apapun yang kita capai, saya harap kita dapat memahami kenyataan bahwa membandingkan diri dengan siapapun tidak akan pernah adil.

Tentu, mudah untuk berhenti di sini dan membawa pulang pemahaman baru ini sebagai alasan untuk berpasrah. Jujur, dulu itulah yang saya lakukan setiap kali saya merasa iri; “dia kan emang kaya,” atau “dia kan disekolahin di sekolah yang lebih bagus,” ucap saya menenangkan diri. Namun, saya tidak tenang. Dorongan yang terdapat “dalam organisme manusia” juga terus membakar dalam organisme yang merupakan diri saya; nyalanya hanya tertutupi, tapi tak pernah mati.

Nyatanya, tindakan seperti ini hanya akan berujung pada penambahan satu dosa pokok yang lain: kemalasan. Alih-alih mengusir rasa iri, saya malah menjadi iri dan malas sekaligus. 

Butuh waktu yang cukup lama sebelum saya menyadari bahwa terdapat cara untuk menghindari kemalasan tanpa terpaku oleh pencapaian orang lain yang tak seimbang. Ya, memang banyak faktor penentu pencapaian yang berada di luar kendali saya, tapi tak semuanya begitu. Dan untuk hal-hal yang berada dalam kendali, saya dapat mengukur apakah saya mengalami kemajuan atau kemunduran dengan membuat perbandingan dengan satu-satunya orang yang terikat oleh keterbatasan latar belakang yang sama: diri saya sendiri. 

Maka, di penghujung tahun yang memperjelas perbedaan latar belakang kehidupan kita dengan orang lain ini, alih-alih melirik kiri dan kanan untuk membandingkan hidup yang tak bisa dibandingkan, mari kita mencoba melihat ke belakang dan bertanya: apakah kita telah melakukan semua tindakan yang berada dalam kontrol kita untuk menjadikan diri kita yang hari ini lebih baik daripada diri kita yang kemarin? Bagaimana dengan minggu lalu? Bulan lalu? Tahun lalu? Bila kita dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dengan jujur kepada diri kita sendiri, mungkin saja kita dapat mengenyahkan rasa iri dan berkembang dalam cara yang paling adil: menjadi pribadi terbaik yang dimungkinkan oleh keterbatasan diri.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *