Melepaskan Diri dari Kontrol Bias yang Tak Disadari

Ditulis oleh: Melisa Nirmala Dewi
Disunting oleh: Fanya Tarissa
Ilustrasi oleh: Pricharia Via

Dalam sebuah survei nasional yang diadakan oleh Sally White dan Edward Aspinall mengenai opini masyarakat Indonesia terhadap partisipasi perempuan dalam politik, sebanyak 88,2% responden setuju terhadap pernyataan bahwa ‘Pria, bukan wanita, harus menjadi kepala atau pemimpin masyarakat dan wanita harus mendukung mereka’, sedangkan hanya 17,6% responden tak setuju (White & Aspinall, 2019). Maklum, budaya patriarki dan seksisme di Indonesia masih mengakar kuat dalam budaya sosietal masyarakat. Namun, tak banyak orang mengetahui bahwa respons terhadap pertanyaan atau pernyataan kategoris, layaknya pernyataan di atas, seringkali dipengaruhi oleh kecenderungan berpikir yang secara implisit hadir di luar kesadaran manusia. Mengapa seperti itu, ya?

Kebanyakan orang, seringkali, memberikan penilaian (judgment) atau impresi spontan yang tidak disadari sehingga kemudian timbul apa yang disebut sebagai unconscious bias, implicit bias, atau bias yang tidak disadari. Bias sendiri mengacu pada perilaku atau penilaian yang didasarkan atas pendapat atau keyakinan pribadi maupun pengaruh orang lain yang lantas menghasilkan label penilaian sendiri terhadap individu lain. Ketika kita berperilaku atau berpikiran bias, seringkali kita melakukannya di luar kesadaran sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku atau penilaian tersebut mengandung  unconscious bias

Bias dapat muncul secara alami di pikiran manusia karena manusia senantiasa berinteraksi dengan banyak orang baru. Secara otomatis, aneka interaksi tersebut akan menstimulasi reaksi psikologis yang berfungsi sebagai alat untuk mendeteksi bahaya terhadap segala sesuatu atau seseorang yang baru sebelum manusia memutuskan untuk  berinteraksi atau menjalin hubungan lebih lanjut. Cara ini kemudian lambat laun mempengaruhi manusia dalam melihat dan memperlakukan apa yang ditemuinya di dunia dan menghadirkan pikiran-pikiran yang tanpa disadari mendorong kita untuk membuat keputusan terhadap hal apa yang menurut kita aman, bernilai, dan kompeten. Bahkan, menurut Roger Shepard—penulis Mind Sights: Original Visual Illusions, Ambiguities, and Other Anomalies (1990)pikiran yang muncul tanpa kesadaran penuh memiliki pengaruh yang justru lebih besar daripada keputusan yang dilakukan secara sadar.

Lebih lanjut, Renee Navarro, Wakil Kanselir dari organisasi Diversity and Outreach, University of California, San Francisco (UCSF), menerangkan bahwa unconscious bias memang lekat dengan aneka stereotipe sosial yang dibentuk oleh otak manusia di luar kesadarannya dalam upaya mengorganisasi berbagai informasi yang diterima dengan cara mengkategorisasikannya ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Liz Burton (2017) menambahkan bahwa bias-bias yang mendorong pembentukan stereotipe tersebut terbentuk dengan berdasar pada pengalaman-pengalaman di masa lalu; pengetahuan manusia terkait macam-macam situasi sosial, sikap, kultur, atau reaksi emosional yang berbeda; hingga eksposur terhadap media tertentu di sepanjang hidupnya. Tanpa kita ketahui, unconscious bias dapat terbentuk sejak usia kanak-kanak—dipengaruhi secara signifikan oleh kondisi sosietal dan parental semasa kecil (Dore, 2014)—serta memiliki efek yang nyata terhadap perilaku manusia sehari-hari (Dasgupta, 2014).

Mari berefleksi terhadap beberapa kejadian yang mungkin pernah kita alami. Pernah nggak, sih, saat kita berada di tempat umum, kita melihat seseorang dan langsung menyimpulkan suatu hal mengenai orang tersebut karena penampilan fisiknya? Kebanyakan orang, misalnya, kerap memberikan penilaian fisik terhadap seseorang yang berasal dari etnis Tionghoa sebagai sosok  yang tegas, cerdik, dan kaya. Beda halnya ketika memberikan penilaian pada orang yang memiliki postur tubuh pendek, berkulit gelap, dan rambut keriting serta memiliki tabiat atau watak  yang “keras” dan berkomunikasi dengan nada bicara yang tinggi—stigma terhadap karakteristik fisik dan sosio-kultural yang kerap dilekatkan pada orang-orang yang berasal dari wilayah Timur Indonesia. Kasus unconscious bias yang demikian cenderung diasosiasikan sebagai wujud sikap dan perilaku rasisme yang, sayangnya, masih marak terjadi di kalangan masyarakat Indonesia. Sedangkan, dengan berasumsi bahwa perempuan tidak cukup kuat (tough) dan kompeten daripada laki-laki untuk berkarier di politik, masyarakat Indonesia melanggengkan kecenderungan untuk mengunggulkan salah satu kelompok gender tertentu di atas yang lain yang merupakan manifestasi dari bias gender sebagai salah satu tipe unconscious bias yang sering ditemui (Burton, 2017). 

Penilaian-penilaian yang muncul di dalam benak kebanyakan orang tersebut dapat diidentifikasi sebagai unconscious bias atau bias yang tidak disadari sebab beragam informasi yang diterima, di antaranya mengenai sifat dari seseorang atau sekelompok orang yang berasal dari kelompok identitas tertentu tak jarang membuat kebanyakan orang secara otomatis menyematkan asumsi-asumsi yang sering lalu lalang pada segelintir orang asing yang jelas-jelas belum dikenalnya  lebih jauh. Padahal, belum tentu penilaian yang diberikan itu benar adanya, bahkan seringkali meleset. Bahayanya, penilaian yang seringkali salah, atau meleset, karena sarat akan unconscious bias tersebut dapat berakibat pada penilaian yang tidak adil (unfair), tidak akurat, eksklusif terhadap kategori kelompok tertentu, atau bahkan diskriminatif secara subtil maupun terang-terangan (Burton, 2017). Dalam jangka waktu panjang dan skala operasional yang lebih luas, misalnya dalam konteks sistem peradilan hingga akses terhadap pendidikan, pekerjaan, atau kesehatan, beragam penilaian yang timpang atau berat sebelah tersebut dapat merugikan kelompok-kelompok tertentu yang dianggap sebagai minoritas sebab terus menerus dinomorduakan oleh mereka yang dianggap sebagai mayoritas. 

Unconscious bias mungkin tampak sepele karena bias ini biasanya lahir dari pikiran dan benak yang ada dalam diri. Namun, akan sangat berbahaya apabila kita mulai membiarkan pikiran kita dikendalikan oleh bias tidak sadar ini. Unconscious bias dapat menghadirkan beberapa kondisi irasional yang pada akhirnya bisa mendorong seseorang untuk mengambil keputusan yang seringkali tidak masuk akal karena didasarkan pada asumsi-asumsi belaka yang tak pasti kebenarannya. Cukup sulit untuk kemudian benar-benar menghilangkan kebiasaan dalam memberikan penilaian bias ini karena beberapa di antaranya bisa datang dari kepercayaan yang tertanam dalam diri selama bertahun-tahun atau kepercayaan yang tumbuh dari kelompok lingkungan terdekatnya sehingga melabeli kelompok lain sebagai “buruk” karena perbedaan-perbedaan yang dimilikinya dianggap normal. Hal ini menjadi penting agar kita, sebagai generasi muda, tidak termakan oleh penilaian-penilaian yang cenderung “laku” di pasaran namun tak jelas kebenarannya dan jauh dari pola pikir unconscious bias. Sebagai manusia yang derajatnya sama di mata Tuhan, kita perlu membiasakan diri untuk memfamiliarkan diri dengan  perbedaan yang ada di sekeliling kita dan berempati terhadap perbedaan-perbedaan yang variatif dalam hal kualitas yang dimiliki oleh manusia lain—bukan menghakimi, mengomparasi, atau menggeneralisasinya. 

Mempraktikkan dan membiasakannya dapat dimulai ketika kita bergabung dalam sebuah organisasi di sekolah atau kampus. Seringkali, dalam proses seleksi anggota baru, kita dibayangi oleh  beberapa anggapan atau asumsi terhadap calon-calon kandidat anggota tertentu dari organisasi tersebut—entah karena gendernya, kesamaan latar belakang atau identitas yang dimiliki dengan kita, maupun tampilan fisiknya yang lebih memukau mata. Dengan belajar untuk lebih memahami dan menilai kualitas kandidat anggota baru organisasi tersebut secara murni dan bebas nilai (value-free) menurut kemampuan dan kapabilitas yang dimiliki, kita dapat menghindar dari unconscious bias yang acap terbentuk. Cara lain pun dapat bekerja, misalnya dengan membaurkan dan menghadirkan diversitas dalam sebuah penyusunan kelompok untuk kemudian melatih anak-anak muda agar tidak termakan oleh bahaya unconscious bias. Dengan memfamiliarkan diri dengan perbedaan, secara tidak langsung, kita akan melatih kemampuan kognitif untuk menilai sesuatu secara objektif, bukan karena dorongan emosional, atau dengan kata lain, mengontrol unconscious bias yang telah lekat terpatri dalam diri sebelumnya.

Melatih diri untuk mengontrol unconscious bias ini bisa menjadi pembiasaan positif bagi kita, khususnya apabila telah memasuki dunia kerja. Secara adil, kita akan melihat setiap individu murni dari kemampuan yang dimiliki. Entah kulitnya hitam atau putih, agamanya Islam atau Kristen, perempuan atau laki-laki, diversitas identitas tersebut tidak menjadi  penghalang untuk setiap individu dalam menunjukkan kemampuan dan kesempatannya dalam berkontribusi terhadap lingkungan sekitarnya. 

Be mindful with our decision and don’t let unconscious bias control us.

REFERENSI

Burton, L. (2021). What is Unconscious Bias in Recruitment?. The Hub | High Speed Training. Retrieved 20 January 2021, from https://www.highspeedtraining.co.uk/hub/types-of-unconscious-bias/

Chadiha, K. State of Science on Unconscious Bias | diversity.ucsf.edu. Diversity.ucsf.edu. Retrieved 20 January 2021, from https://diversity.ucsf.edu/resources/state-science-unconscious-bias

Navarro, R. Unconscious Bias | diversity.ucsf.edu. Diversity.ucsf.edu. Retrieved 20 January 2021, from https://diversity.ucsf.edu/resources/unconscious-bias

White, S., & Aspinall, E. (2019). Why good women lose elections in Indonesia – New Mandala. New Mandala. Retrieved 19 January 2021, from https://www.newmandala.org/why-good-women-lose-elections/

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *