
Ditulis oleh: Fauzan Abdul
Disunting oleh: Zania R Putri
Ilustrasi oleh: Lisa Kalystari
Buang hajat sambil baca buku. Menyetir sambil mendengarkan podcast. Menunggu antrian sambil membaca berita harian. Ya, pada puncak keranjingan saya terhadap “hidup yang produktif”, segala hal yang saya lakukan rasa-rasanya tak lengkap (atau malah rugi) jika tidak ada sambilannya. “Sambil” pun menjadi candu yang lebih bikin nagih daripada sambal, sementara “cuman” menjadi hama yang lebih menjijikkan daripada kuman. Pikir saya, kalau bisa melakukan dua hal sekaligus, untuk apa melakukannya satu per satu?
Tak butuh waktu lama bagi saya untuk merasakan pahitnya sambal ini. Setiap menit yang terbuang leyeh-leyeh di kasur menjadi bahan penyesalan; setiap bongkahan tahi yang keluar tanpa adanya bacaan yang masuk terasa seperti kesempatan yang hilang. Pendeknya, hari-hari saya habis dalam sibuk atau gelisah tentang waktu yang tidak dipakai menyibukkan diri.
Ketika hal ini saya ceritakan kepada kawan-kawan saya, sering kali saran yang saya dapat tidaklah jauh-jauh dari “yang penting sih seimbangin aja.” Tentu, hal yang dimaksud perlu disembangkan dalam wejangan itu adalah sibuk dan senggang, dua kekasih yang saling berebut waktu hari-hari kita. Hal yang menarik bukanlah bagaimana saran ini dapat menyelesaikan permasalahan saya (sebagaimana kalian mungkin tahu, saran “yang penting sih seimbangin aja” jarang dapat menyelesaikan masalah apapun), tapi bagaimana saran ini mengungkapkan batas-batas pemikiran kita akan persoalan senggang-sibuk ini.
Satu hal yang tersirat dalam nasihat seperti itu adalah kalau bisa, sebaiknya kita sibuk saja; kalau tidak bisa, bolehlah sesekali kita bersantai. Santai (dalam berbagai macam perwujudannya, entah itu rebahan, meditasi, atau menonton Netflix) dianggap sebagai hal yang ada hanya untuk menunjang kesibukan, dan bukan dilakukan untuk suatu tujuan yang ada secara intrinsik dalam kegiatan bersantai itu.
Pada dasarnya, pandangan seperti ini bertumpu pada anggapan bahwa menjadi sibuk (yang kemudian juga sering disamakan dengan produktif) itu, kalaupun tidak mesti baik, adalah keadaan yang lebih baik daripada bersantai.
Anggapan yang sama turut membentuk tolak ukur kita akan status sosial satu sama lain. Walau mungkin tidak semua dari kita akan me-retweet cuitan kerja 80 jam per minggu Elon Musk, kebanyakan dari kita tetap sering kali menilai kehidupan diri kita dan orang lain dari seberapa sibuk kesehariannya: entah itu dalam bentuk pujian “anj*ng produktif banget lo” kepada teman yang bilang ia belum rebahan seharian, rasa puas ketika mulai mengikuti kelas yoga online setiap pagi, atau bahkan aplikasi untuk beradu lama waktu belajar.
Ya, anggapan ini rasanya begitu mendasar hingga beberapa dari kita mungkin tergoda untuk menyebutnya sebagai bagian dari “sifat alami” manusia. Namun, apa benar hidup yang sibuk selalu dianggap lebih baik daripada yang tidak sibuk? Sejarah mungkin berkata lain.
Ambillah sebagai contoh Robert Suurhof, kawan sekolah Minke dalam novel Bumi Manusia. Berlatarkan Hindia Belanda pada pergantian abad ke-20, posisinya menarik untuk diperhatikan karena ia bukanlah seorang Belanda, tapi ia ingin dianggap sebagai Belanda tulen (yang notabene adalah kelas sosial tertinggi saat itu). Maka apa yang ia lakukan? Ia tidak menghabiskan harinya merintis perkebunan tebu baru, mengurus catatan hingga larut malam, ataupun sengaja membalas surat-suratnya sepekan setelah mereka sampai agar tampak sibuk. Ia memilih untuk pergi ke rumah kawannya, makan-makan, berbincang tentang sepak bola, kemudian berburu burung dan tupai. Singkatnya, ia memilih untuk bersantai.
Pilihan ini pun bukanlah tanpa alasan. Dalam bukunya yang terbit pada tahun 1899, kurang lebih sama dengan latar waktu Bumi Manusia, Thorstein Veblen memperkenalkan istilah “the leisure class” untuk menggambarkan kehidupan masyarakat kelas elite sejak kemunculan pertama komunitas-komunitas “barbar” hingga akhir abad ke-19 itu. Di sini, kesenggangan, atau leisure, memperoleh pemahaman baru. Alih-alih melihat waktu santai sebagai sekadar pemuas suatu keinginan alamiah, Veblen memposisikannya sebagai cara kaum elite membuktikan keunggulan finansialnya: aku kaya, maka aku nyantai. Atau lebih tepatnya, aku kaya, maka aku mampu menghabiskan waktu dalam kegiatan yang tidak produktif secara ekonomi.
Yang awalnya adalah persoalan mampu pun berubah menjadi persoalan harus, di mana bersantai tidak lagi dilakukan karena sang pelaku punya cukup uang untuk melakukannya, tapi karena perilaku itu telah menjadi, dalam istilah Veblen, “syarat kesopanan”. Keterlibatan dalam pekerjaan, setidaknya dari kacamata kaum elite, dianggap sebagai “bukti konvensional akan kekuatan yang inferior”, yang kemudian “melalui jalan pintas mental, dianggap secara intrinsik hina.”
Dilihat melalui lensa ini, pilihan Suurhof untuk makan-makan, berbincang tentang sepak bola, dan berburu burung dan tupai bukanlah sebuah pilihan sama sekali dalam upayanya menjadi Belanda tulen. Untuk menjadi bagian dari kaum elite, ia harus menjalani hidup penuh kesenggangan seperti itu; untuk hidup dengan cara lain adalah sesuatu yang sama sekali tak terpikirkan. Jikalau ia bercerita kepada kawan-kawan Belandanya tentang angan untuk punya pekerjaan 9-to-5, barangkali ia akan dianggap sinting oleh mereka.
Sentimen yang senada juga dapat kita temukan 2300 tahun sebelumnya pada masa Yunani kuno. Namun, kali itu satu not yang berbeda mendominasi skena perbincangan: kesenggangan sebagai cita-cita moral. Bagi para aristokrat Athena, sebuah kota yang pada puncaknya memiliki 3-4 budak per rumah tangga untuk melakukan pekerjaan mereka, kesenggangan bukan hanya berperan untuk membedakan yang kaya dari yang miskin, tapi juga yang bermoral dari yang amoral, yang saleh dari yang sundal, yang beradab dari yang biadab.
Coba lihat saja tulisan Aristoteles dalam Politics, di mana ia berkata
“di negara yang paling mulia, dan yang memiliki orang yang betul-betul adil, para warganya tidak boleh menjalani kehidupan tukang maupun pedagang, karena kehidupan seperti itu tercela dan bertentangan dengan kesempurnaan. Tidak pula mereka boleh menjadi petani, karena kesenggangan diperlukan untuk mengembangkan kesempurnaan dan menjalankan tugas politik.”
Pandangan seperti ini tidaklah terbatas pada monolog-monolog para filsuf. Di Sparta, contohnya, tidak ada warga yang mengotori tangannya dengan kerja manual; hukum Lycurgus melarang mereka. Di Thebes, mereka yang pernah berdagang di agora (ruang publik di tengah kota) dalam 10 tahun terakhir tidak diberikan kewarganegaraan. Pekerjaan yang praktis dan tidak memberi ruang untuk kontemplasi seperti itu dianggap banausik: merusak tubuh dan jiwa pelakunya.
Maka, kesenggangan pun menjadi lebih dari hanya cap kekayaan; ia juga menjadi papan reklame keluhuran budi yang diamini oleh negara.
Lantas, mengapa pandangan seperti ini bisa berubah? Mengapa para elite rela meninggalkan kehidupan berleha-leha dan menghabiskan hari dengan rapat-rapat yang tiada akhir? Apakah kita bahkan punya pilihan dalam membentuk gambaran kehidupan yang ideal? Saya juga belum (meluangkan waktu untuk mencari) tahu.
Namun, yang saya coba lakukan di sini, jika saya boleh meminjam kata-kata Foucault, adalah “membuat hal-hal menjadi lebih rapuh“: menunjukkan bahwa meski anggapan kita akan kesibukan dan produktivitas sebagai nilai yang adiluhung telah mengakar begitu dalam pada pikiran—hingga tampaknya absurd untuk dipertanyakan, apalagi digugat—nyatanya akar yang menunjang anggapan ini bukanlah sesuatu yang alami ataupun kekal. Setidak-tidaknya pada lingkungan sosial dan waktu di atas, terdapat gambaran lain akan cara kita seharusnya hidup. Dan mungkin saja, kalau kita tidak keburu mati kelelahan, kita bisa berhenti sejenak dan bertanya: kehidupan seperti apa yang layak kita jalani?
BIBLIOGRAPHY
Balme, Maurice. “Attitudes to Work and Leisure in Ancient Greece.” Greece & Rome, vol. 31, no. 2, 1984, pp. 140–152. JSTOR, www.jstor.org/stable/642580. Accessed 25 July 2020.
Sylvester, Charles. “The Classical Idea of Leisure: Cultural Ideal or Class Prejudice?” Leisure Sciences, vol. 21, no. 1, 1999, pp. 3–16., doi:10.1080/014904099273255.
Toer, Pramoedya A. Bumi Manusia. Hasta Mitra, 2002, pp. 10-26.
Veblen, Thorstein, and Stuart Chase. The Theory of the Leisure Class: An Economic Study of Institutions. New York, N.Y.: Modern library, 1934.