
Ditulis oleh: Zefanya Aprilia
Ilustrasi oleh: Ikeshia
Beberapa bulan terakhir ini, nama Gisella Anastasia tengah menyita perhatian publik tanah air. Pasalnya, penyanyi dan pemain film itu terseret kasus video pornografi yang beredar di dunia maya. Awalnya, ia membantah bahwa perempuan dalam video tersebut adalah dirinya. Namun kemudian, seorang pengacara bernama Febriyanto Dunggioi telah melaporkan kasus ini atas pelanggaran UU Pornografi dan UU ITE ke pihak kepolisian. Ia menuntut agar semua yang terlibat dalam video tersebut diusut.
Tidak hanya itu, Gisel juga harus menghadapi konsekuensi sosial. Sejak awal video itu beredar, namanya langsung mencuat di trending topic Indonesia. Warganet ramai-ramai menghakimi dan mencaci maki Gisel karena perbuatannya dianggap tidak pantas untuk dilakukan oleh seorang ibu. Tanpa bukti yang jelas, netizen menuduh bahwa Gisel adalah istri yang tidak baik karena diduga video tersebut direkam saat ia masih menjadi istri Gading Marten. Berangkat dari keresahan tersebut, banyak juga yang menyampaikan empatinya terhadap Gempi, anak dari Gisel dan Gading. Alhasil, ia menggelar jumpa pers untuk menyampaikan permintaan maaf kepada publik.
Dari awal video itu viral, Gisel ditempatkan sebagai pelaku yang kemudian resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh aparat. Padahal menurut pengakuannya, video tersebut sudah dihapus dan ia tidak tahu bagaimana video itu bisa tersebar. Maka, sejatinya Gisel sebenarnya adalah korban. Sedangkan pelaku yang seharusnya diusut adalah orang yang menyebarkan video itu tanpa sepengetahuan atau seizin Gisel. Dalam perkara ini, tidak bisa dipungkiri adanya pengaruh besar dari media massa. Alih-alih melindungi privasi Gisel, media malah terus memberi sorotan dengan headline dan isi berita yang sensasional. Media massa telah gagal menjadi social control terhadap warganet yang menyebabkan peredaran luas video itu.
Kode Etik Jurnalistik Pasal 5 melarang penyiaran nama korban kejahatan susila. Sedangkan Pasal 9 menyatakan bahwa wartawan harus menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Kedua pasal tersebut seharusnya menjamin privasi Gisel sebagai korban serta keluarganya. Namun kita melihat bagaimana media mengabaikan kedua pasal tersebut. Ketika Gisel ditetapkan menjadi tersangka, media massa menuliskan nama lengkapnya pada pemberitaannya. Tetapi media enggan menulis nama lengkap pria dalam video syur itu yang juga ditetapkan sebagai tersangka.
Beberapa headline berita tentang kasus ini antara lain,
“Artis Gisella Anastasia dan Pria Berinisial MYD ditetapkan Sebagai Tersangka” (@musemediaid),
“Gisel dan MYD akan Diperiksa sebagai Tersangka 4 Januari” (CNN Indonesia),
“Tak Hanya Rekam Sendiri, Gisella Anastasia Juga Transfer Video Panasnya ke MYD, Berikut Motifnya” (Tribunnewsmaker.com).
Bahkan, Pikiran Rakyat mensensor wajah MYD pada foto dalam berita terkait kasus ini. Sedangkan Suara.com menyertakan tangkapan (screenshot) wajah Gisel dari video syur itu pada pemberitaannya. Memang MYD bukanlah public figure yang memiliki nilai berita prominence dalam jurnalistik, tetapi ketimpangan ini secara tidak langsung menyudutkan Gisel sebagai “biang kerok”-nya. Media kerap melindungi identitas MYD dan memberinya sorotan yang jauh lebih rendah ketimbang Gisel. Dengan demikianlah, terjadi pembentukan opini publik terhadap Gisel. Di samping itu juga, media kerap melakukan framing bahwa Gisel telah gagal menjadi istri dan ibu yang tidak baik. Contohnya terlihat dalam pemberitaan Tribunnews.com dengan judul, “Tampak Tegar Tapi Gading Marten Luka Dalam, Tahu Gisel Istri Sah Rekam Video Syur dengan Pria Lain”. Tak heran bahwa warganet memiliki perspektif yang negatif terhadap Gisel.
Penghakiman warganet terhadap urusan rumah tangga Gisel bahwasannya merupakan wujud dari domestikasi perempuan. Istilah ini merujuk kepada konsep bahwa perempuan hanya boleh terlibat dalam urusan rumah tangga. Bahwa perempuan harus menjadi istri yang baik serta menjadi ibu yang baik pula. Konsep domestikasi ini lah yang mendasari ideologi “Ibuisme” pada era Orde Baru. Dalam ideologi tersebut, perempuan digambarkan sebagai yang patuh, diam, dan yang merawat keluarga. Soeharto bahkan memposisikan perempuan pada saat itu sebagai konco wingking, yakni yang pasangan laki-laki yang berperan di garis belakang (dapur, kasur, sumur). Sejak Gisel tersandung skandal itu, framing media telah mereduksi dirinya sebagai seorang perempuan yang diharapkan menjadi istri dan ibu yang baik.
Kita juga dapat melihat contoh kasus serupa yang menimpa Cut Tari sekitar 10 tahun lalu. Ia tersandung kasus video syur dengan Ariel NOAH (dahulu Peterpan). Meskipun pemain sinetron itu tidak harus mendekam di penjara seperti Ariel, ia nampak tidak melewati konsekuensi sosial dengan baik seperti Ariel. Kita dapat melihat skandal tersebut tidak mengganggu karier Ariel dan NOAH. Sampai saat ini Ariel masih eksis sebagai penyanyi tersohor tanah air. Nasib yang jauh berbeda dengan Cut Tari yang karirnya kini sudah meredup. Dan lagi, berita-berita dengan judul bombastis terus menyudutkan Cut Tari sebagai penyebab dari perceraiannya dengan Yusuf Subrata, suami sahnya pada saat skandal tersebut berlangsung.
Maka demikian, pemberitaan media massa terhadap perempuan dalam kasus pornografi dapat perlu dievaluasi. Apakah media massa telah menjalankan fungsinya dengan baik? Apakah media massa patuh pada Kode Etik Jurnalistik? Terkait dengan framing-nya terhadap public figure perempuan, media massa telah gagal menjalankan fungsi edukasi dan fungsi advokasi. Media massa seharusnya mencerdaskan khalayak tentang menjaga privasi dan juga pornografi. Di samping itu, media massa seharusnya menjadi wadah advokasi bagi para korban dengan mengawal pengusutan penyebar video atau pelaku sampai tuntas.
Kasus penyebaran video pornografi yang menyangkut public figure memang mengandung dua nilai berita yang dominan, yakni seks dan prominence (ketenaran). Namun perlu digaris bawahi bahwa yang bombastis belum tentu dibutuhkan. Yang dibutuhkan dalam kasus ini adalah edukasi bagi masyarakat dan advokasi untuk korban. Sepuluh tahun sesudah kasus Cut Tari, media massa tidak pernah belajar dan masih gagal dalam menjalankan fungsinya pada kasus Gisel.
Di saat media massa di Indonesia gagal menjalankan fungsinya, masyarakat terpaksa harus menjadi mandiri. Masyarakat harus bijaksana dalam memenuhi kebutuhan informasinya. Masyarakat harus bisa membedakan mana informasi yang penting dan mana yang tidak. Masyarakat harus bisa menaruh pusat perhatiannya dengan tepat. Masyarakat harus bertindak tepat dalam menanggapi isu yang sedang terjadi.