
-Wiji Thukul
Ditulis oleh: Daffa Alief
Disunting oleh: Fanya Tarissa dan Zania R Putri
Ilustrasi oleh: Pricharia Via
Sebagai salah satu konsep fundamental dari suatu negara hukum, Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan suatu hak yang dimiliki oleh manusia sejak lahir atau hak dasar yang dimiliki setiap individu. Maka dari itu, sudah kodratnya bagi Indonesia, sebagai negara hukum, untuk tidak hanya mengakui, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai (HAM) seluruh warga negaranya.
HAM memiliki banyak definisi berdasarkan beberapa pandangan. Berdasarkan buku panduan yang dirilis oleh UNHCR, Teaching Human Rights, yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), HAM adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup. Berdasarkan definisi tersebut, tertera jelas bahwa HAM merupakan hak yang fundamental bagi tiap individu.
Senada dengan definisi sebelumnya, dalam bukunya yang berjudul Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Jimly Asshidqie dan Hafid Abbas berpendapat bahwa HAM mencakup dimensi kehidupan manusia. Keberadaannya ada bukan disebabkan oleh masyarakat dan kebaikan negara, melainkan atas dasar martabat setiap manusia berlandaskan pengakuan atas keberadaan manusia sebagai makhluk hidup ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang patut memperoleh apresiasi positif.
Di Indonesia, HAM telah dijamin keberadaan dan pengakuannya, melalui UU Nomor 39 Tahun 1999. Berdasarkan UU tersebut, HAM didefinisikan sebagai “seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.”
Meskipun dasar hukumnya sudah diatur jelas dan diakui, realitas di lapangan berkata lain. Menurut Haris Azhar, mantan Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) untuk periode tahun 2010-2016, “pencapaian” negara dalam hal penghormatan dan perlindungan HAM hanya sebatas formalitas dalam konstitusi dan hukum nasional sebagai produk dari periode transisi era Orde Baru—yang dapat dikatakan “tak mengenal” HAM—ke era Reformasi (Azhar, 2014). Salah satu “pencapaian” terpenting negara dalam hal HAM, yakni penciptaan UU Nomor 39 tahun 1999 yang menegaskan definisi HAM dan komitmen negara terhadapnya, dinilai semata-mata merupakan reaksi instan terhadap ekstremnya kasus-kasus pelanggaran HAM yang baru saja terjadi pada era Soeharto ketika ratusan ribu masyarakat Indonesia harus mengorbankan nyawanya atas nama pembangunan nasional dan tunduk pada rezim pembela militer yang korup (International Center for Transitional Justice; Commission for the Disappeared and Victims of Violence, 2011 dalam Azhar, 2014). HAM di Indonesia, kenyataannya, ‘senjang’ dalam praktik sebab lebih dihargai sebagai perangkat hukum tertulis belaka. Pasca-Soeharto pun, korban-korban maupun penyintas pelanggaran HAM tetap belum bisa menuntut keadilan atas represi, kerugian material maupun immaterial, kesengsaraan, dan ketidakadilan yang dialaminya pada negara—bukti dari ketidaksungguhan negara dan kecondongannya pada impunitas dalam hal perlindungan dan penghormatan HAM.
Kasus pembunuhan aktivis HAM ternama yang berkontribusi dalam membuktikan keterlibatan aparat pemerintah dalam kasus-kasus pelanggaran HAM rezim Orde Baru di Aceh, Papua, dan Timor Timur (Haryanto, 2020) sekaligus pendiri KontraS, Munir Said Thalib, pada tahun 2004 menjadi contohnya. Belasan tahun pasca kematiannya, pemerintah tak kunjung mempublikasikan hasil temuan Tim Pencari Fakta kasus Munir sejak tahun 2005 yang berpotensi besar membongkar figur-figur yang diduga kuat bertanggung jawab atas kematian Munir walaupun Keputusan Presiden No. 111 tahun 2004 telah mewajibkan hal tersebut (Haryanto, 2020). Di sisi lain, keluarga para korban dan penyintas pelanggaran HAM yang berlatar pembunuhan ratusan ribu anggota maupun simpatisan PKI pada tahun 1965-1966 hingga kerusuhan maupun bentrok antara sipil dan aparat di berbagai kota besar menjelang dan pasca turunnya Presiden Soeharto juga harus menerima kenyataan pahit bahwa hingga lebih dari 20 tahun pemerintah tak pernah berupaya mengakui adanya pelanggaran HAM dan memberikan keadilan, setidaknya melalui pengadilan HAM.
Ketidakmampuan (atau keengganan) negara untuk menegakkan dan melindungi HAM seluruh warga negaranya justru melahirkan resistensi sipil yang tangguh dan gigih di masyarakat. Salah satu buktinya dapat diobservasi dari “Aksi Kamisan”—sebuah aksi “protes diam” berasas nirkekerasan yang dilakukan dengan cara berkumpul secara massal di suatu titik atau lokasi tertentu (picketing)—untuk mengenang berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia (Cinthya, 2020). Beberapa contoh besarnya, antara lain Tragedi Semanggi I; Tragedi Semanggi II; Kasus Trisakti; segelintir kasus penghilangan paksa aktivis-aktivis HAM pada era Orde Baru, contohnya saja, Wiji Thukul, Herman Hendrawan, dan Petrus Bima Anugerah; pembunuhan lawan-lawan politik rezim Orde Baru, seperti Munir dan Marsinah; Peristiwa Talangsari, Peristiwa Tanjung Priok; Tragedi Wasior-Wamena; hingga Tragedi 1965 (Cinthya, 2020).
Aksi Kamisan pada awalnya digagas oleh tiga keluarga korban dugaan pelanggaran HAM berat, yakni Maria Katarina Sumarsih—yang merupakan ibu dari Bernardus Realino Norma Irawan—mahasiswa Universitas Atma Jaya yang tewas pada November 1998 dalam peristiwa Semanggi I; Suciwati, istri mendiang penggiat HAM Munir Said Thalib; dan Bedjo Untung, perwakilan dari keluarga korban pembunuhan, pembantaian, dan pengurungan tanpa prosedur hukum terhadap orang-orang yang diduga anggota maupun simpatisan PKI pada periode tahun 1965-1966 (Putra, 2016).
Aksi “protes diam” yang dilakukan oleh para pegiat HAM, anggota keluarga korban, maupun penyintas kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia setiap Kamis sore pukul 16.00-17.00 di depan Istana Merdeka dengan mengenakan pakaian—ditambah payung—serba hitam ini pertama kali diadakan pada tanggal 18 Januari 2007 (Fajar, 2020; Cinthya, 2020). Aksi ini sejatinya berangkat dari sikap pemerintah yang dirasa terus-menerus acuh terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang disponsorinya sendiri di masa lalu. Pemerintah yang terus diam dalam menyikapi kasus-kasus pelanggaran HAM justru memberikan semangat bagi keluarga korban dan para aktivis dalam menyuarakan protesnya di setiap Kamis sore di Istana Merdeka sambil mengusung foto-foto para korban pelanggaran HAM. Aksi Kamisan dilakukan dengan, secara simbolik, “berjaga” dan “mengawasi” pemerintah lewat mempertahankan kehadiran fisik secara konsisten di depan Istana Merdeka (Cinthya, 2020). Wujud resistensi sipil yang demikian hadir untuk menginstitusionalisasi memori kolektif akan sejarah buruk pelanggaran HAM yang belum dipertanggungjawabkan oleh negara (Azhar, 2014) dan menyuarakan ketidakpuasan—seringkali kemarahan—terhadap kinerja pemerintah dalam mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Sudah 667 kali para aktivis dan pegiat HAM berdiri menyuarakan tuntutan-tuntutan atas penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Namun,hasil yang didapatkan belum cukup memuaskan: baru sekali waktu Presiden RI menemui para aktivis Aksi Kamisan secara tertutup, yakni pada tanggal 31 Mei 2018, setelah lebih dari satu dekade perjuangan (Sapiie, 2018) tanpa hasil yang benar-benar signifikan.
Saat ini, Aksi Kamisan telah menginjak usia ke-14 pada 18 Januari 2021 lalu . Pada masa awal pembentukan, aksi ini berdiri melalui sebuah musyawarah antara Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK), Jaringan Relawan Kemanusiaan (JRK), serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Aksi ini juga dikenal sebagai “Aksi Payung Hitam” karena maskot dari aksi ini adalah payung berwarna hitam yang di permukaannya tercetak tuntutan-tuntutan kemanusiaan. Payung sendiri dilambangkan sebagai simbol perlindungan dan keteguhan iman.
Aksi Kamisan acap kali mendapat perlawanan, bahkan dari aparat berwenang. Tuduhan demi tuduhan juga diterima oleh Aksi Kamisan, dari dituduh sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI), dituduh sebagai gerakan perlawanan, hingga dituduh sebagai aksi pemberontakan.
Aksi unjuk rasa yang telah berjalan lebih dari satu dekade ini tidak hanya diselenggarakan di depan Istana Negara saja, tetapi juga berbagai daerah di luar ibu kota. Di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, di area monumen Tugu, Yogyakarta, dan depan kantor Gubernur Kalimantan Timur di Samarinda (Fajar, 2020), contohnya. Karena perjuangan dan spirit yang tidak pernah padam dari para aktivis dan korban untuk terus menyelenggarakan Aksi Kamisan, simpati dan empati pun berdatangan dari masyarakat dan mahasiswa seiring dengan semakin banyaknya masyarakat yang percaya akan pentingnya—sebagaimana diungkapkan oleh founder Aksi Kamisan Maria Katarina Sumarsih—berjuang untuk mendesak pemerintah agar kebenaran dapat terungkap, keadilan dapat terwujud, dan impunitas dapat dilawan (Asian Boss, 2020). Makin banyak pula figur publik yang berdatangan dan membantu menggaungkan tuntutan-tuntutan terhadap negara untuk segera menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu dan memastikan bahwa legasi dan perjuangan yang diwarisi oleh para korban pelanggaran HAM, layaknya Bernardinus Realino Norma Irmawan, tidak terlupakan.
Dengan semakin banyaknya massa yang terus menyuarakan persoalan HAM, Pemerintah diharapkan dapat semakin membuka mata, telinga, dan nuraninya untuk mendengarkan aspirasi dan merestorasi keadilan atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu yang masih meninggalkan luka dan memori kolektif yang pahit, baik bagi keluarga korban, penyintas, dan seluruh masyarakat Indonesia—sebab Aksi Kamisan bukan sekadar rutinitas yang digelar setiap Kamis sore guna menghiasi halaman Istana Negara, melainkan aksi bernyawa perjuangan sepanjang hayat—yang tidak ada akhirnya di Negara Hukum ini.
REFERENSI
Azhar, H. (2014) “The Human Rights Struggle in Indonesia: International Advances, Domestic Deadlocks,” SUR – International Journal On Human Rights, vol. 11, no. 20, pp. 227-237.
Cinthya, W. (2020) “#16 Picketing” [Instagram] August 25. Available at https://www.instagram.com/p/CET9YEcMlZM/ (Accessed: 18 February 2021).
Fajar, M. (2020) Tiga pelajaran dari Aksi Kamisan dalam membangun gerakan sosial [Online]. Available at https://theconversation.com/tiga-pelajaran-dari-aksi-kamisan-dalam-membangun-gerakan-sosial-143445 (Accessed: 19 February 2021).
Haryanto, A. (2020) Mengenang 16 Tahun Munir Said Thalib dan Kisah Tewasnya Pembela HAM [Online]. Available at https://tirto.id/mengenang-16-tahun-munir-said-thalib-dan-kisah-tewasnya-pembela-ham-f3Yi (Accessed: 19 February 2021).
Putra, L. J. (2016). “Aksi Kamisan: Sebuah Tinjauan Praktis dan Teoritis Atas Transformasi Gerakan Simbolik.” Jurnal Polinter Prodi Ilmu Politik FISIP UTA’45 Jakarta. Sapiie, M. A. (2018) Jokowi to meet Kamisan protesters for first time [Online]. Available at https://www.thejakartapost.com/news/2018/05/31/jokowi-to-meet-kamisan-protesters-for-first-time.html (Accessed: 19 February 2021).