Gulai Kambing

Kebahagiaan di Hadapan Perubahan: antara Kenangan dan Kenyataan

Ditulis oleh: Fauzan Abdul
Disunting oleh: Fauzan Abdul
Ilustrasi oleh: Btari Indira

Kore wa gulai kambing desu,” ucap sang pelayan restoran sambil meletakkan sepiring daging kambing bermandikan kuah santan di atas meja saya. Ya, memang terdengar sedikit aneh, tapi setelah sebulan lebih tak mencicipi cita rasa Indonesia, saya rasa sedikit keanehan di sana-sini sepadan dengan rasa rindu yang akan dibayar kontan. Tentu, perasaan yang sama tak asing bagi kebanyakan dari kita. Pergi ke tempat yang baru, entah itu sekadar ke kota seberang atau bahkan ke belahan dunia lain, menggugah banyak kenangan akan rumah, dan lagi-lagi kenangan akan kelezatan masakan kampung halaman datang memanggil paling kencang. Namun, kenangan jarang dapat terwujudkan kembali sebagai kenyataan, dan dalam pertentangan antara kenangan masa lalu dan kenyataan masa kini inilah saya percaya kita dapat belajar satu-dua hal tentang kebahagiaan.

Jika Anda bertanya apa yang saya, sebagai pelajar di negeri asing, rindukan sekarang, maka jawaban saya adalah “banyak.” Saya rindu Jakarta dengan panasnya yang terik, ondel-ondel berisik yang sesekali membuat jalan tersendat, dan tempat-tempat bersuaka teduh yang dapat dijumpai jika kita mengalihkan pandangan sejenak dari gemerlapnya kaca gedung pencakar langit. Saya rindu rumah, di mana di dalamnya saya tak pernah khawatir akan penampilan saya, dan jika saya punya kegelisahan apapun, saya selalu bisa berbincang dengan keluarga atau sekadar duduk mengamati kucing rumah saya yang tertidur lelap. 

Namun, satu rasa rindu lebih sering muncul dibanding yang lain: rindu akan makanan. Selain karena rasa lapar tiga kali sehari selalu mendorong saya membayangkan makanan apa yang biasanya saya santap pada waktu-waktu itu ketika masih di rumah, alasan rasa rindu pada makanan terngiang tak henti-henti adalah karena ia salah satu kerinduan yang (setidaknya kala itu saya rasa) paling mudah untuk diobati. Tentu, untuk dapat berpelukan kembali dengan ibu atau untuk berjalan-jalan lagi di bawah terik matahari Jakarta adalah sebuah kemustahilan, tapi untuk kembali mencicipi seporsi gulai kambing dalam wujud fisiknya adalah sebuah kemungkinan yang benar-benar nyata.

Sayang, layaknya pada banyak ekspektasi lain dalam kehidupan, kenyataan berkata lain. Rasa bumbu yang meresap di lidah dalam restoran Indonesia di ujung gang di Sanjo Kawaramachi itu terasa berbeda dengan yang saya kenal dari rumah makan-rumah makan pinggir jalan di Jakarta; tata letak lesehan-nya pun lebih mirip dengan bentuk meja makan Jepang daripada Indonesia. Terang, saya kecewa; alih-alih merasakan kembali kenangan menyantap gulai kambing yang nikmat, yang saya dapat adalah hidangan berbumbu aneh dan bon yang kelewat mahal.

Namun, saya kemudian teringat percakapan saya dengan seorang paman yang telah menghabiskan beberapa tahun tinggal di berbagai negara sebelum saya berangkat. Kali itu saya bertanya kepadanya, “Om, dari semua tempat yang pernah om tinggalin, menurut om paling enak di mana?” Ia terdiam sejenak dan menjawab “hmmm… nggak ada. Menurut aku,” lanjutnya, “di mana aku tinggal, di situ aku bahagia.”

Jawaban yang sederhana ini menurut saya mencerminkan kebenaran yang lebih dalam: kenyataan bahwa sebenarnya kita memiliki kapasitas untuk mendefinisikan ulang arti kebahagiaan bagi diri kita.

Selayaknya paman saya yang berpindah tempat tinggal dari satu kota ke kota lainnya, kita semua dalam kehidupan sehari-sehari kita juga berpindah dalam satu situasi ke situasi yang lainnya. Tahun ini pun telah menampakkan dengan gamblang bagaimana perubahan seperti itu dapat menjamah bagian kehidupan yang kita kira tidak akan berubah. Sebagian dari kita terpaksa kembali ke rumah yang telah menjadi asing setelah sekian lama tinggal jauh darinya, sebagian yang lain harus menghadapi perginya orang-orang tercinta, dan sebagian yang lain lagi—yang, tak bisa dipungkiri, cukup beruntung—harus berurusan dengan gulai kambing yang rasanya tak sesuai dengan ingatan. 

Dalam tiap situasi ini, kita bisa saja menggunakan arti kebahagiaan yang dulu dalam menafsirkan kenyataan yang baru, dan untuk melakukan ini adalah tindakan yang dapat dimengerti. Siapa juga yang bisa menyalahkan mereka yang mengeluh akan kekurangan WFH atau pembelajaran daring ataupun mereka yang menangisi kepergian anggota keluarganya. 

Meski demikian, kita juga memiliki pilihan lain: kita dapat menyadari keterbatasan situasi kita masing-masing dan mencoba membentuk arti kebahagiaan yang baru dari apa yang kita miliki saat ini. 

Malam itu, saya bisa saja pulang dalam keadaan kecewa. Namun, yang saya coba sadari dari kekecewaan itu adalah fakta bahwa kenyataan saya telah berubah: saya tak lagi di Jakarta, dan saya tak bisa memaksakan Jakarta hadir dalam sepiring gulai kambing di negeri yang asing ini. Yang saya bisa lakukan adalah berdamai dengan kenyataan ini dan merangkai kebahagiaan yang dapat saya bentuk darinya, dan malam itu, kebahagiaan saya temukan pada teman-teman saya. 

Rasa sepiring gulai kambing tersebut memang kalah jauh jika dibandingkan dengan yang biasa saya santap di Jakarta. Namun, momen saya bersama teman-teman tertawa ketika salah menebak judul lagu Indonesia yang diputar di pengeras suara, menghela napas sambil mengingat masakan favorit di Indonesia, dan meratapi uang bulanan yang kian menipis karena terlampau sering makan di luar ternyata dapat menghadirkan rasa baru yang lebih dari cukup untuk menggantikannya. 

Ya, mencari gulai kambing dengan rasa yang sama dengan kenangan masa lalu mungkin hanya akan berakhir pada kekecewaan, tapi bila kita rela menyadari bahwa kita hidup dalam kenyataan yang berbeda dengan dunia kenangan dan mau mencari kebahagiaan di luar sepiring gulai kambing, mungkin saja kita dapat menemukan rasa-rasa baru yang tak terpikirkan sebelumnya, atau setidaknya menghemat uang karena tak perlu lagi membeli gulai kambing seharga Rp140 ribu.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *