Ditulis oleh: Fauzan Abdul
Disunting oleh: Zania R Putri
Ilustrasi oleh: Lisa Kalystari

Hujan sudah menumpahkan dirinya selama hampir setengah jam saat aku memasuki perpustakaan ini. Pendingin ruangan sedang menyala, tapi udara terasa hangat. Mungkin karena mesin itu sudah lebih tua daripada diriku dan hampir-hampir tak mengeluarkan udara dingin, atau mungkin ia hanya terasa lebih hangat karena aku membandingkannya dengan hembusan angin bercampur hujan di luar. Lagipula, memangnya ada perasaan yang kita rasakan tanpa perbandingan?

Kombinasi udara yang agak pengap dan nyala lampu putih kekuningan mengingatkanku akan rasa teh pahit yang terlanjur dibuat tanpa menyadari bahwa gula telah habis. Tak terlalu enak, tapi kalau kau dapat membayangkan bahwa ada gula di dalamnya, itu cukup untuk menemani di kala hujan.

Aku pergi untuk mengambil buku yang selalu menjadi pilihan setiap kali aku ingin menghabiskan waktu di perpustakaan ini: sebuah kumpulan cerpen berjudul Elegi Sang Merpati.

Sampul buku itu menampilkan sebuah lukisan yang tampak seperti burung merpati yang sedang menatap keluar dari dalam sangkarnya. Aku menggunakan kata “tampak” di sini karena aku tak yakin apa yang sebenarnya sang pelukis coba gambarkan. Seekor burung merpati? Mungkin. Gumpalan warna-warna yang muncul dalam mimpinya saat ia tidur di sebuah klub malam? Tak kalah mungkin.

Yang jelas cerpen yang menjadi judul buku itu betul-betul mengisahkan seekor burung merpati. Kisahnya kira-kira seperti ini:

Sang Merpati telah menghabiskan separuh hidupnya dalam sebuah sangkar di teras depan rumah Babeh. Selama ia berada dalam sangkar, ia tak pernah mempermasalahkan makanan yang itu-itu saja, kotoran yang kadang lupa dibersihkan, ataupun curhatan memualkan Babeh yang akan selalu pergi ke teras setelah bertengkar dengan istrinya. Hanya satu hal yang ia inginkan: keluar dari sangkar dan bertemu kekasihnya sekali lagi.

Saat ia baru ditangkap, ia mencoba memberi tahu Babeh kalau ia sendiri sudah punya pasangan yang pasti sedang mengkhawatirkannya, tapi Babeh tak bisa bicara bahasa merpati, dan Sang Merpati tak bisa bicara bahasa Babeh. Maka hari, minggu, dan bulan pun berlalu tanpa sangkar itu pernah dibuka. Ia mencoba membuka sangkar dengan paruh dan kakinya, tapi jeruji besi sangkar tak pernah bergeser sedikitpun. Sang Merpati akhirnya menjadi yakin bahwa hanya satu hal yang dapat menyelamatkannya: Tuhan.

Suatu hari suara yang asing menarik perhatiannya. Suara itu datang di pagi hari, dan begitu ia datang orang-orang langsung mengerumuni sumbernya. “Inilah suara Tuhan yang telah datang menjawab doaku,” pikir Sang Merpati. Ia pun berteriak memanggil Tuhan untuk datang. Ia yakin kalau Tuhan hari itu telah datang untuk membebaskan dirinya dari sangkar yang selama ini mengekangnya. Ia sudah dapat membayangkan wajah sang kekasih yang telah menunggunya dengan sabar, harum tanah di sekitar sarang mereka yang baru saja dibasahi hujan pagi, dan suara sungai yang mengalir di kejauhan.

Namun sayang, suara itu bukanlah suara Tuhan, melainkan suara ambulans. Babeh terpeleset saat buang hajat dan kepalanya menubruk jamban. Ia meninggal sebelum ambulans keluar pagar rumah. Sang Merpati pun tak lama kemudian mati dalam sangkarnya.

Ya, sebenarnya aku tak tahu apakah Sang Merpati mati atau tidak setelah itu. Halaman terakhir cerpen telah dirobek seseorang. Istri Babeh mungkin saja melepaskannya karena ia mengingatkan dirinya akan sang suami. Atau mungkin Sang Merpati berkomplot dengan Sang Kucing, Sang Arwana, dan hewan peliharaan lainnya untuk membebaskan semua hewan dan mendirikan peternakan egaliter yang akhirnya dipimpin oleh seorang diktator. Siapa juga yang tahu?

Lagipula, aku rasa hilangnya halaman terakhir cerpen ini justru membuatnya lebih menarik. Aku dapat membuat akhir ceritaku sendiri, dan karenanya setiap kali aku punya waktu luang aku selalu kembali kepada cerpen ini untuk menuliskan akhir yang berbeda.

Namun, kali ini buku itu tak ada. Pandanganku menyisir tingkat di atas dan di bawahnya. Tidak ada juga. Apa mungkin orang yang merobek halaman terakhir itu memutuskan untuk mengambil seluruh bukunya?. Aku pun beralih pada tangan-tangan segelintir orang yang berada dalam perpustakaan saat itu. Dan saat itulah, aku melihat ia.

Orang sering bilang ketika mereka terkejut, jantung mereka berhenti sesaat. Saat itu bukan hanya jantung, tapi seluruh tubuhku terhenti dan terpaku ke lantai. Rasa-rasanya tetesan hujan di luar pun mengambang sejenak, khawatir mengganggu momen yang ada dengan percikannya. 

Wajahnya memang cantik, tapi ada sesuatu yang lain yang membuatnya teramat menarik. Pandangannya yang tajam terlihat seakan-seakan ia dapat menembus lembaran buku dan memotong meja kayu di bawahnya. Dan senyumannya, ya Tuhan, senyumannya! Bagaimana bibirnya yang tipis membentuk senyuman yang lebih tipis lagi terlihat seperti sebuah tirai yang tersibak sedikit dan memperbolehkan mereka yang berada di sekitarnya untuk mengintip ke dalam dunia penuh perasaan yang misterius dan menggoda di baliknya. Jika Bumi Pasundan lahir saat Tuhan sedang tersenyum, maka ia pasti lahir saat Tuhan sedang jatuh cinta.

Barang sepuluh detik mungkin telah berlalu sampai aku akhirnya mengalihkan pandanganku.

Aku kembali menghadap rak buku. Sambil menghembuskan napas, aku mengambil buku secara asal dan mencoba memikirkan langkah selanjutnya. Apa aku akan duduk di hadapannya? Tidak, itu terlalu jelas. Ada banyak kursi lain yang sedang tak ditempati. Namun aku juga ingin yang aku lakukan cukup jelas untuk diperhatikan olehnya. Baiklah, aku akan duduk di kursi arah serong darinya. 

Heningnya ruangan menyiksaku, seakan-akan setiap pasang mata sedang diam-diam mengamati gerak-gerik diriku. Aku pun berjalan senormal mungkin ke arah mejanya. 

Sesudah duduk, pikiranku kuputar kembali. Apa yang dapat kulakukan sekarang? Menanyakan namanya? Tak mungkin, aku akan terdengar seperti orang aneh. Oh ya, bertanya tentang bukunya. Ya, itu yang paling mungkin.

Aku mencuri pandang ke arahnya dan melihat jari-jarinya membalik halaman Elegi Sang Merpati dengan perlahan. Baiklah, aku tinggal menunggu waktu yang tepat dan berkata padanya, “pertama kali aku melihat buku itu dibaca oleh orang lain.” Ia kemungkinan akan menjawab, “Oh, buku ini? Agak tua memang. Kamu juga suka?” Dan dari situ aku yakin pembicaraan akan mengalir, layaknya air hujan yang terbawa aliran sungai. Tapi tunggu, bukannya orang akan merasa terganggu jika tiba-tiba ditanya saat sedang baca buku?

Jalan pikiranku terhenti oleh kilatan ungu yang tiba-tiba memancar dari arah jendela. Belum juga aku dapat mengenalinya, guruh halilintar mengikuti dengan kebisingan yang tampaknya tak mau kalah dengan terangnya kilat. Kaca pada jendela ruangan dapat kurasakan bergetar.

Ia pun tampak terkejut dan menatap ke luar jendela. Inilah kesempatanku! Namun aku harus cepat, tak ada orang yang berkomentar tentang petir yang menyambar lima menit lalu.

“Besar… besar juga ya hujannya,” ucap diriku dengan ketidakpercayadirian yang tampak terplester pada setiap suku katanya.

“Iya,” balasnya sederhana. Kali itu lah pertama kali pandangan kami bertautan. Meski hanya sekejap, momen itu cukup untuk membuatku yakin bahwa segala risiko malu tak seberapa jika dibandingkan dengan kemungkinan bertukar satu-dua kata lagi dengannya.

“Pertama kali aku lihat buku itu dibaca orang lain,” ucapku. Kali ini aku lebih tenang sedikit, dan kata-kataku keluar sebagaimana aku telah membayangkan diriku mengucapkannya.

Ia tak langsung menjawab dan malah menatap diriku dengan tatapannya yang tajam itu.

“Ini juga pertama kali aku diajak bicara orang tak dikenal di perpustakaan.”

Diriku membeku. Mengapa aku tiba-tiba diserang seperti ini? Aku merasa sorotan matanya dapat menembus tengkorakku dan melihat isi pikiranku.

Setelah beberapa detik penuh keheningan, yang bagiku lebih terasa seperti beberapa jam, wajahnya kembali menampilkan senyuman. “Bercanda. Jangan kaku begitu, dong.”

Aku mengeluarkan tawa kecil yang gugup.

“Maaf ya,” lanjutnya seakan-akan ia mengerti kegugupan yang memenuhi diriku, “hobiku memang membuat orang lain tak nyaman. Tapi iya, aku takkan terkejut bila tak banyak orang yang mau membaca buku ini. Lihat, sampulnya saja tidak menarik sama sekali.”

“Iya, kebalikan dengan dirimu.”

Ketika huruf terakhir telah meluncur keluar dari mulutku, aku baru saja menyadari apa yang aku katakan.

Ia tersenyum sedikit, dan berkata “terima kasih.”

“Oh iya, aku belum tahu namamu,” lanjutnya.

Aku ucapkan namaku dengan terburu-buru dan balik bertanya, “kalau kamu?”

“Pentingkah untuk diriku punya nama? Kalau kau mau, kau bisa panggil aku Cinderella,” katanya sambil menahan tawa. 

Aku mengerutkan dahi. Lelucon macam apa ini? Ia pun mengarahkan pandangannya pada tanganku, dan aku baru sadar ternyata buku yang tadi aku ambil adalah buku kisah Cinderella. Sialan.

“Aku salah mengambil buku,” kataku sambil tertawa malu.

“Pertama kali aku melihat orang salah mengambil buku seperti itu.”

“Ya, tampaknya hari ini punya banyak hal pertama.”

Setelah itu, meski bukan dalam cara yang awalnya kubayangkan, pembicaraan mulai mengalir. 

Hari ini ternyata pertama kalinya ia datang ke perpustakaan ini. Ia tinggal di sisi lain kota, sisi di mana jalanan pada malam hari terasa lebih ramai daripada siang, atau setidaknya itu yang orang-orang katakan. Ia pun mengambil buku yang kucari karena buku itu terletak pada urutan ke-14 di raknya, dan saat kutanya kenapa 14, ia menjawab “lihat jam tanganmu.” Betul saja, tanggal 14.

Hujan telah berubah menjadi gerimis saat ia berdiri dan hendak pulang. Aku pun menghentikannya dan berkata, “kapan aku bisa bertemu kamu lagi?”

Ia terhenti sejenak.

“Kau tahu bioskop di seberang rumah sakit?”

“Ya.” Aku sebenarnya tak tahu, tapi aku yakin aku dapat mencari tahu.

“Brazil akan diputar di sana besok jam tujuh.” Ia tak mengucapkan apa-apa lagi, tapi senyumannya seolah mengatakan hal yang saat itu paling ingin aku dengar: sampai bertemu lagi.

Aku terus memandanginya hingga yang tersisa darinya hanyalah hembusan angin dingin yang masuk lewat celah terbukanya pintu dan senyuman hangat yang membekas dalam angan-anganku.

Kumandang azan maghrib terdengar di kejauhan saat aku memasuki gedung bioskop. 

Di depan ruang bioskop terdapat sebuah toko piringan hitam. Aku hanya mengenali sebagian kecil dari rekaman-rekaman yang dijual, dan memang kebanyakan dari mereka tampaknya populer di masa orang tuaku masih kanak-kanak. Di pojok ruangan seorang laki-laki dengan topi memancing dan kaus kebesaran sedang membolak-balikkan sebuah rekaman The Beatles. Seperti ini ternyata tempat-tempat yang ia sukai.

Aku pun duduk pada bangku di luar. Suara Julie London menyanyikan “I’m In The Mood For Love” terdengar dari pemutar piringan di sebelah pintu.

“I’m in the mood for love simply because you’re near me”

Ah, bahkan ia tak berada di dekatku saja aku tidak bisa tidak memikirkannya. Aku mencoba membayangkan dirinya datang melewati pintu masuk, tapi setiap kali aku melakukannya, aku mendapatkan bayangan yang berbeda. Hanya satu hal yang selalu sama: senyumannya. 

Namun, senyuman itu tak kunjung mewujudkan dirinya di hadapanku. Akankah ia betul-betul datang hari ini? Atau ia hanya ingin mengerjaiku?

“Why stop to think of whether this little dream might fade?”

Pundakku tiba-tiba ditepuk dari belakang.

“Hai. Maaf aku terlambat, tadi ada pekerjaan yang perlu aku selesaikan.”

“Iya, tidak apa-apa. Oh ya, apa memangnya pekerjaanmu?”

“Pelacur.”

Saking terkejutnya aku hampir meloncat.

“Bercanda. Kalau aku benar-benar pelacur, aku baru akan berangkat kerja jam segini.” Dan saat itu aku akhirnya bertemu senyumannya lagi.

“Lagipula, apa bedanya kita dengan pelacur? Kita semua juga menjual sebagian diri kita dalam bekerja. ‘Kita semua adalah pelacur, yang berbeda apa yang kita lacurkan.’ Rasanya aku pernah membaca itu dalam suatu buku.”

“Tapi tentu bukan buku kumpulan cerpen itu kan?”

“Ya, bukan.”

Saat kami masuk ke ruang teater, film telah berjalan beberapa menit. Seorang perempuan yang sedang menjalani operasi plastik tampil di tengah layar. Wajahnya, dengan rupa seperti plastisin, sedang ditarik ke berbagai arah dan bagiku malah tampak lebih mengerikan dari sebelumnya. Kalau aku menonton sendiri, saat ini aku pasti sudah mulai menguap lebar-lebar. Namun, kali ini aku tidak sendiri. Aku bersamanya.

Sesekali aku akan melirik ke arah wajahnya dan menikmati menonton raut wajahnya yang tampak begitu fokus dengan film itu. Aku pun mulai memandangi wajahnya lebih lama, dan aku tahu ia pasti tahu aku memandanginya. Itu membuat wajahnya tampak lebih menarik lagi.

Ketika film memasuki paruh keduanya, ia tiba-tiba menggenggam tanganku. Aku langsung melihat ke arahnya, dan ia hanya tersenyum kepadaku. Senyumannya yang tipis saat itu terasa begitu dalam. Pipinya berganti-ganti warna memantulkan tampilan film pada layar. Saat itu bagiku tak ada lagi layar, film, ataupun bioskop. Yang ada hanya aku dan dia. Tersenyum, tanpa mau mengalihkan pandangan dari satu sama lain. Betapa indahnya…

“Hai.” Suara itu terasa mengguncang diriku. Aku termenung sejenak dan mencoba mengenali sekitaranku. Ya, aku masih berada di perpustakaan.

Di seberang meja ada ia dan seorang lelaki. Ternyata sepotong sapaan yang menampar diriku tadi berasal dari mulut sang lelaki. Mereka sedang berbicara, tapi suara yang keluar dari mulut mereka tak dapat kurangkai menjadi kata-kata. Hujan masih turun di luar. Udara pun masih terasa pengap, tapi kali ini lebih berat.

Ketika aku memalingkan pandangan ke arahnya lagi, ia telah berjalan pergi. Aku ingin mengucapkan sesuatu, tapi kata-kataku menjadi kering begitu mereka menyentuh tenggorokan. Aku melirik ke kanan dan kiri, berharap akan ada tangan yang membawanya kepadaku, tapi tak ada tangan yang datang. 

Ia telah berjalan pergi, dan aku membiarkannya pergi tanpa pernah mengatakan apa yang kupikirkan tentangnya. Tak ada lagi kesempatan berkomentar tentang cuaca atau menggunakan buku sebagai dalih untuk memulai percakapan, karena tak ada lagi ia.

Akankah ia mau berbincang denganku bila aku mencoba memulainya? Akankah ia membuat lelucon dan mengajakku menonton film? Aku tak tahu, dan tampaknya aku takkan pernah tahu.

Aku mencoba mengingatnya kembali, tapi wajahnya tak dapat lagi kupanggil dari dalam lubuk ingatan. Kini yang tersisa hanyalah ruang kosong di seberang meja yang dulu adalah dirinya dan suara langkah kaki yang meski sudah lama pergi, masih menggema dalam pikiran, mengingatkanku bahwa segala kata yang tak terucap dan segala rasa yang tak terungkap adalah akibat ketidakmampuan diriku. Dan ia telah berjalan pergi.

Mungkin aku memang tak pantas untuk pernah mengenalnya. Mungkin aku harus merasa cukup dengan bayang-bayangku akan dirinya, akan senyumannya saat kami bertemu kembali, akan tatapannya saat pandangan kami bertemu, tanpa pernah tahu bentuk apa yang akan dijelma bayang-bayang itu dalam kenyataan. Mungkin inilah diriku.

Ruangan menjadi gelap. Suara-suara di sekitar pun perlahan pudar, hanya menyisakan deru hujan yang turun, tanpa henti dan tanpa akhir.

Sang Merpati masih memandangiku dari dalam sangkarnya.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *