Demokrasi Indonesia yang Terkorupsi oleh KB: Keluarga Berkuasa

Ditulis oleh: Rania Saskara
Disunting oleh: Alice Pricillya
Ilustrasi oleh: Amodia

Menjelang 9 Desember 2020, “dinasti politik” menjadi sebuah topik yang ramai diperbincangkan oleh banyak orang. Hal ini dikarenakan oleh Gibran Rakabuming Raka, anak sulung dari Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, yang mencalonkan diri sebagai Calon Walikota kota Solo. Di saat yang bersamaan, Bobby Afif Nasution, menantu dari Joko Widodo, juga mencalonkan diri sebagai Calon Walikota kota Medan. 

Dinasti politik, sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga, bukanlah hal yang baru di politik Indonesia. Riset lembaga studi Nagara Institute menyebutkan sekitar 17,22% anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti sebab memiliki hubungan dengan pejabat publik lainnya, baik hubungan darah, pernikahan, maupun kombinasi keduanya (Taher, 2020). Belakangan ini, terdapat kenaikan jumlah kandidat yang terjalin hubungan politik dinasti di Pilkada 2020. Pada Pilkada 2015 tercatat sebanyak 52 kandidat memiliki kekerabatan dengan pejabat, namun jumlah tersebut naik secara drastis pada Pilkada 2020 hingga 204%.

Dinasti Politik Tidak Ilegal

Dinasti politik sempat dilarang secara hukum di Indonesia, ditetapkan pada UU no. 8 tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota bahwa: 

“Warga negara Indonesia yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Wali Kota dan Calon Wakil Wali Kota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.”

Maksud dari tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana adalah tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan. Namun, pasal tersebut akhirnya dihapus pada 8 Juli 2015 atas gugatan anggota DPRD Provinsi Sulawesi Selatan periode 2014-2019, Adnan Purichta Ichsan, karena tim kuasa hukumnya menganggap belum ada penelitian komprehensif yang menemukan korelasi antara moral dan korupsi dengan keluarga petahana (Saputra, 2017). Alasan yang memperkuat penghapusan pasal tersebut adalah pasal tersebut bertentangan dengan beberapa pasal HAM. Diantaranya ada pasal 43 ayat 1 UU HAM yang menetapkan bahwa: 

“Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” 

dan pasal 21 DUHAM PBB Tahun 1948 yang berbunyi: 

“Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas, dan setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.”

Bahaya Dinasti Politik

Meski sudah dilegalkan, namun dinasti politik masih saja menuai banyak pro dan kontra karena bahaya yang ditimbulkannya. Sistem ini dikhawatirkan dapat memicu potensi penyalahgunaan kekuasaan. Menurut analis politik Exposit Strategic, Arif Susanto, dinasti politik pernah menjadi musuh bersama ketika bangsa ini dipimpin oleh Presiden Soeharto. Saat itu, kekuasaan terpusat pada beberapa keluarga sehingga meniadakan nuansa kesetaraan dan nilai-nilai demokrasi lainnya (Mulyana, 2020). Hal ini terjadi karena Presiden Soeharto memiliki kontrol penuh di parlemen. Pada saat itu, beliau menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, Ketua Dewan Pembangunan Partai Golongan Karya (Golkar), dan Panglima Tertinggi ABRI. Beliau juga menguasai MPR dan DPR. Maka dari itu, hanya orang-orang kepercayaan Presiden Soeharto yang dapat memimpin meskipun banyak kandidat lain yang tidak kalah kompeten. Namun, penyalahgunaan kekuasaan tidak hanya berdampak pada ranah politik. Nyatanya, anak-anak Soeharto memanfaatkan hubungan mereka dengan Presiden dalam melakukan kegiatan bisnis masing-masing. Bukan hanya memegang monopoli atas distribusi dan impor komoditas, kekuasan Soeharto juga digunakan oleh anak-anaknya untuk memperoleh pinjaman berbunga rendah dengan berkoordinasi dengan bankir yang berkuasa dan tidak berani menagih pembayaran kembali. Pengelola Bank Indonesia Subarjo Joyosumarto menegaskan bahwa selama Soeharto menjabat, “ada lingkungan yang menyulitkan bank-bank negara untuk menolak mereka.” (Colmey and Liebhold, 1999).

Selain itu, dinasti politik juga dapat membuat fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif sehingga memungkinkan terjadinya penyimpangan kekuasaan seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Akibatnya, pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance) tidak tercapai. Keluarga Ratu Atut Chosiyah merupakan salah satu keluarga yang banyak mendapatkan perhatian publik tentang hal ini. Ratu Atut Chosiyah adalah gubernur provinsi Banten periode 2007-2012 dan 2012-2017. Pada saat yang bersamaan, Hikmat Tomet, suaminya menjabat sebagai anggota DPR yang mewakili daerahnya, sedangkan anak laki-lakinya, Andika Hazrumy, duduk di kursi komite IV DPD. Pada saat Andika diangkat menjadi wakil gubernur provinsi Banten periode 2017-2022, sang adik, Andiara Aprilia Hikmat, meneruskan kedudukan kakaknya di DPD, menjabat selama 2 periode, dari 2014–2024. Pada tahun 2014, Ratu Atut Chosiyah dinyatakan bersalah atas kasus suap sengketa pemilihan kepala daerah Lebak, Banten, tahun 2013 kepada ketua Mahkamah Konstitusi (MK) saat itu, Akil Mochtar. Atut dan Wawan, adiknya yang pada saat itu menjabat sebagai Ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) Banten, membantu pasangan Amir-Kasmin yang mengajukan keberatan hasil Pilkada Lebak ke MK, dengan memberikan uang senilai Rp. 1M kepada ketua MK. Tujuannya adalah agar ketua MK memutus permohonan keberatan hasil Pilkada Lebak supaya sidang pleno MK membatalkan keputusan KPU Lebak atas penghitungan suara Pilkada Banten serta memerintahkan pengambilan suara ulang.

Mengakhiri Dinasti Politik 

Walaupun sudah tidak dilarang, namun masih banyak sekali warga yang menentang adanya dinasti pada sistem politik Indonesia. Karena itu, ada beberapa langkah yang dapat diambil oleh masyarakat untuk mengakhiri dinasti politik yang berdampak buruk terhadap politik Indonesia. Warga negara Indonesia dapat memulai dengan menolak secara tegas praktik politik uang dan jangan mudah tergiur oleh janji politik yang minim realisasi. Lalu, hal terpenting adalah melakukan rekam jejak tentang kebijakan dan pandangan politik kandidat tersebut. Hal tersebut dapat memastikan apakah pandangan kandidat dan warga negara tersebut sejalan. Selanjutnya adalah mengulas dan merasionalisasikan rencana kerja para kandidat. Dari rekam jejak yang telah dilakukan, masyarakat dapat menganalisa kapabilitas kandidat dalam menjalankan tugasnya. Dengan begitu, kandidat yang terpilih adalah calon pemimpin yang dapat dipercaya terlepas dari hubungan yang dimilikinya dengan pejabat.

REFERENSI

Alamsyah, I. (2015), Ini Kisah Mengenai Lahir Dan Matinya Mobnas Timor, Republika Online [online]. Available at: https://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/15/02/09/nji0mq-ini-kisah-mengenai-lahir-dan-matinya-mobnas-timor [Accessed 13 January 2021]

Colmey, J. and Liebhold, D. (1999),  ASIANOW – TIME Asia 05/24/99, edition.cnn.com [online]. Available at: http://edition.cnn.com/ASIANOW/time/asia/magazine/1999/990524/cover1.html [Accessed 14 January 2021]

Dinasti Politik (2019), Media Indonesia [online]. Available at: https://m.mediaindonesia.com/podiums/detail_podiums/1698-dinasti-politik [Accessed 8 January 2021]

Dinasti Politik Di Pilkada 2020 Disebut Meningkat, 67 Menang (2020), CNN Indonesia [online]. Available at: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201216200833-32-583132/dinasti-politik-di-pilkada-2020-disebut-meningkat-67-menang [Accessed 8 January 2021]

Ghifran, C. (2012), Orde Baru Dan Penyalahgunaan Kekuasaan, Slideshare [online]. Available at: https://www.slideshare.net/candhikaghifran/orde-baru-dan-penyalahgunaan-kekuasaan  [Accessed 12 January 2021]

HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA INDONESIA DENGAN UUD 45 | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2015), MKRI [online]. Available at: https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11732  [Accessed 8 January 2021]

Kalla, J. (2020), Dinasti Politik, Media Indonesia [online]. Available at: https://mediaindonesia.com/opini/339393/dinasti-politik [Accessed 8 January 2021]

Mahkamah Konstitusi Legalkan Dinasti Politik | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2015), MKRI [online]. Available at: https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11405 [Accessed 8 January 2021]

Mulyana, C. (2020), Penyalahgunaan Kewenangan Bayangi Politik Dinasti, Media Indonesia [online]. Available at: https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/332900/penyalahgunaan-kewenangan-bayangi-politik-dinasti [Accessed 8 January 2021]

Parase, M. (2020), Mengakhiri Dinasti Politik Di Pilkada, Kumparan [online]. Available at: https://kumparan.com/muh-ilham-akbar-parase/mengakhiri-dinasti-politik-di-pilkada-1twRFPZG0vI [Accessed 8 January 2021]

Pengertian Politik Dinasti | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (2015), MKRI [online]. Available at: https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=11428 [Accessed 8 January 2021]

Pisani, E. (2015), What’s Wrong With Dynastic Politics?, The New Yorker [online]. Available at: https://www.newyorker.com/news/news-desk/whats-wrong-with-dynastic-politics [Accessed 8 January 2021]

Pratama, K. (2020), Menghalau Politik Dinasti, Detiknews [online]. Available at: https://news.detik.com/kolom/d-5111896/menghalau-politik-dinasti [Accessed 8 January 2021]

Putri, R. (2020), Riwayat Politik Dinasti, Historia [online]. Available at: https://historia.id/kultur/articles/riwayat-politik-dinasti-P0Kng/page/2 [Accessed 8 January 2021]

Ramadhan (2019). Perjalanan Panjang Politik Dinasti Di Indonesia | Asumsi, Asumsi [online]. Available at: https://asumsi.co/post/perjalanan-panjang-politik-dinasti-di-indonesia [Accessed 8 January 2021]

Rezkisari, I. (2020), Varian Baru Politik Dinasti Di Tanah Air, Republika Online [online]. Available at: https://republika.co.id/berita/qdre4d328/varian-baru-politik-dinasti-di-tanah-air [Accessed 12 January 2021]

Saputra, A. (2017), Mengapa Dinasti Politik Tidak Dilarang Secara Hukum?, Detiknews [online]. Available at: https://news.detik.com/berita/d-3386772/mengapa-dinasti-politik-tidak-dilarang-secara-hukum [Accessed 8 January 2021]

Taher, A. (2020), Dinasti Politik Era Jokowi Menguat: Apa Bahayanya Bagi Demokrasi?, Tirto [online]. Available at: https://tirto.id/dinasti-politik-era-jokowi-menguat-apa-bahayanya-bagi-demokrasi-ezZ4 [Accessed 8 January 2021]


Wisesa, Y. (2020), Pengamat: Tak Seperti Soeharto, Jokowi Sulit Bangun Dinasti Politik, Hops [online]. Available at: https://www.hops.id/pengamat-tak-seperti-soeharto-jokowi-sulit-bangun-dinasti-politik/ [Accessed 12 January 2021]

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *