Angkat Kaki, Turun Derajat?

Ditulis oleh: Fauzan Abdul
Disunting oleh: Fauzan Abdul
Ilustrasi oleh: Btari Indira

Kayak di warteg aja kamu.” Itulah ucapan ibu saya ketika melihat kaki saya naik sebelah saat makan malam. Ya, bagi masyarakat Jakarta, dan mungkin kota-kota besar lainnya, kaki yang naik sebelah adalah potret yang identik dengan warung makan pinggir jalan dengan udaranya yang panas, bangku-bangku kayu yang berjajar, dan piring yang penuh dengan nasi “porsi kuli” (meski, tentunya, kuli hanya mewakili sebagian kecil dari pelbagai orang yang makan di tempat semacam itu). Di mata banyak orang, posisi kaki yang mencirikan warung pinggir jalan tak punya tempat pada meja makan restoran maupun rumah masing-masing. Maka, ditegur karena menaikkan kaki bukanlah hal yang baru bagi saya, tapi kali itu saya terusik dan berpikir: memangnya kenapa sih kalau kakinya naik?

Jawaban yang mungkin terlintas pertama kali di pikiran adalah tidak sopan. Namun, jika kita cermati, sebenarnya jawaban seperti ini sama saja dengan menjawab bahwa hal ini kita lakukan hanya karena dari dulu seperti itu. Coba bayangkan, jika dahulu warteg-warteg diisi oleh orang yang makan dengan kedua kakinya di bawah, sedangkan restoran dan rumah membiasakan orang yang makan di dalamnya untuk mengangkat satu kaki. Tidak sulit bagi kita untuk melihat bahwa dalam dunia alternatif itu seorang ibu akan menegur anaknya yang menaruh kedua kaki di bawah karena tindakan itu “tidak sopan”.

Namun, posisi tubuh saat makan tidaklah terbatas pada dikotomi satu atau dua kaki di bawah. Di Jakarta saja, selain warteg yang masuk kategori pertama dan restoran yang masuk kategori kedua, kita juga dapat dengan mudah menemukan tempat-tempat lesehan, di mana pelanggan duduk di atas tikar atau alas sambil menikmati makanannya. Di ujung lain spektrum ini terdapat bar-bar Tachinomi (“Tachi” artinya berdiri dan “nomi” artinya minum) di Jepang, di mana orang-orang bersesakan untuk makan dan minum sambil berdiri.

Lantas, mengapa di rumah kebanyakan dari kita diajarkan untuk makan di meja dengan dua kaki di bawah, dan bukan sambil mengangkat satu kaki atau berdiri? Nyatanya, hal-hal seperti ini adalah konvensi: cara melakukan sesuatu yang muncul bukan dari pertimbangan akan kelebihan dan kekurangannya (coba saja pikirkan apa kerugian mengangkat satu kaki pada proses makan kita), tapi persetujuan sosial akan apa yang dianggap normal atau konvensional oleh suatu komunitas.

Selain pada urusan makan, konvensi juga hadir dalam berbagai potongan kehidupan lainnya. Bahasa, contohnya. Tidak ada kerugian yang jelas yang mencegah kita untuk menyebut tanah berlapis aspal yang membatasi lahan dan bangunan sebagai “perosotan” atau “semangka”, dan bukan “jalan”, kecuali karena konvensi bahasa yang ada adalah sebaliknya. Kebiasaan berpakaian juga tak kalah sarat akan konvensi. Di Inggris, misalnya, pengacara masih diharuskan untuk memakai rambut palsu keriting berwarna putih dalam pengadilan. Ya, dahulu rambut palsu seperti ini memang dipakai untuk menutupi rambut yang menjadi sarang kutu atau kebotakan akibat sifilis. Namun, pada masa di mana kedua kondisi itu sudah tak lagi mewabahi para juri dan advokat, kebiasaan ini tetap dipertahankan. Nyatanya, sepetak rambut kuda itu (atau gulungan plastik sintetis jika Anda seorang pengacara vegan) tetap dipakai bukan karena itu membuat para pengacara menjadi lebih persuasif atau menghalangi pihak lawan membaca isi kepala mereka, tapi karena itu adalah konvensi yang ada, dan orang-orang tidak melihat adanya keuntungan ataupun kerugian dari mengubahnya.

Meski begitu, untuk menyebut bahwa semua konvensi adalah pilihan acak yang netral saya rasa salah. Dulu, guru sekolah saya pernah berkata bahwa ketika kita tidak dapat mendengar perkataan orang lain, kita jangan merespon dengan kata “hah?” karena “cuman tukang bajaj yang kayak gitu”. Saat itu saya tidak banyak memikirkan tentang pernyataan ini, tapi sekarang saya bisa melihat bagaimana konvensi, selain memberikan referensi yang stabil tentang cara kita menjalankan hidup, juga dapat mengasingkan orang yang tidak mengikutinya. Dengan membentuk konvensi untuk merespon pertanyaan yang tidak terdengar dengan kalimat “maaf, boleh tolong diulangi?”, kita secara tidak sadar mendirikan pagar yang memisahkan diri kita dengan mereka yang merespon dengan “hah?”, antara murid sekolah dan tukang bajaj, antara yang kaya dan yang miskin, antara “kita” dan “mereka”. Terpisahkan oleh pagar konvensi yang kian berlapis, berlaku tidak adil kepada orang di seberang sana menjadi semakin mudah, karena dengan jarak yang cukup, kita tidak dapat melihat tangisan orang yang kita lempari batu.

Sayang, konvensi seperti inilah yang paling sulit untuk kita bongkar, karena padanya melekat identitas dan harga diri kelompok. Coba bayangkan jika besok diputuskan bahwa KBBI dan PUEBI akan diubah untuk menyesuaikan dengan bahasa Indonesia “pasar” yang diucapkan lebih banyak orang atau jika table manners dilarang untuk dipraktikkan lagi pada meja makan manapun. Sebenarnya, perbincangan para diplomat dan anggota dewan sekalipun tidak akan banyak terhambat dengan mengadopsi kosakata tukang bajaj dan penjual sayur; pencernaan kita pun juga tidak akan terganggu kalau kita makan tanpa mengganti garpu untuk setiap hidangan atau sambil menaruh sikut di meja. Namun, perubahan pada bentuk-bentuk konvensi seperti ini sering kali dianggap sebagai serangan terhadap nilai-nilai keluhuran dari mereka yang “tak punya adab”, dan karenanya ditolak mentah-mentah.

Kendati demikian, mengikuti konvensi yang ada juga bukan semata-mata berarti melanggengkan permusuhan. Dalam persoalan makan malam, sebagai contoh, kita tentu bisa saja menghabiskan waktu kita dengan menjelaskan mengapa duduk dengan dua kaki di bawah itu tak berdasar sambil mengangkat kedua kaki di atas meja. Namun, kita memilih untuk tidak melakukannya. Kita memilih untuk menurunkan kaki kita dan membiarkan orang lain makan dengan tenang, untuk mendengarkan cerita tentang hari mereka yang melelahkan dan untuk bertukar lelucon sambil bersendawa kekenyangan. Kita memilih untuk mendahulukan kebersamaan daripada kebenaran personal. Kita memilih orang lain di atas diri kita sendiri.
Maka—pada waktu di mana kehangatan orang lain lebih dibutuhkan dari sebelumnya—saya hanya berharap bahwa kita bisa, paling tidak untuk sesaat, mengesampingkan pagar-pagar konvensi yang membatasi diri kita selama ini dan mengetengahkan kebersamaan dengan mereka yang berada di sekitar kita. Dengan begitu, mungkin saja kita dapat merasakan makan malam di mana setiap orang, tanpa memedulikan kalau ia mengangkat satu kaki atau tidak ataupun menjawab pertanyaan dengan “hah?” atau “maaf”, dapat disambut dengan senyuman yang sama.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *