
Ditulis oleh: M. Fahri Hardiansyah
Disunting oleh: Fauzan Abdul
Ilustrasi oleh: Pricharia Via
Di zaman yang serba modern dan canggih seperti sekarang, kebutuhan akan komunikasi menjadi lebih mudah berkat kehadiran internet. Salah satu manfaat yang dirasakan adalah melalui media sosial. Media sosial mampu memfasilitasi penggunanya untuk dapat saling berinteraksi tanpa terbatas ruang dan waktu. Hal tersebut membuat pertukaran informasi dari satu pihak ke pihak lain dapat terjadi dengan lebih cepat.
Di kalangan Generasi Z, media sosial tidak hanya digunakan sebagai media untuk berkomunikasi, tetapi juga sebagai wadah untuk mengekspresikan diri. Salah satu media sosial yang akrab digunakan oleh Generasi Z adalah Instagram. Dilansir melalui goodnewsfromindonesia.id, perusahaan analisis marketing media sosial asal Polandia, Napoleon Cat, mencatat jumlah pengguna instagram di Indonesia pada rentang usia 18-24 tahun mencapai angka 25 juta pengguna pada periode Januari-Mei 2020. Melalui fitur yang disediakan, pengguna dapat membagikan aktivitas apa pun yang mereka lakukan sehari-hari.
Sejalan dengan aktivitas yang dibagikan di instagram, muncul berbagai macam tanggapan. Ada yang menyambutnya dengan nada positif, tetapi tak sedikit dari mereka yang meninggalkan komentar negatif. “Kok kamu gendutan deh”, “foto kayak gitu aja di-upload, norak banget”, “apasih dikit-dikit insta story”. Kata-kata semacam itu, meski terdengar remeh, tentu akan menimbulkan tekanan bagi pemilik akun. Para followers menuntut para pemilik akun untuk menjadi seorang pribadi yang sempurna di hadapannya.
Berangkat dari kecemasan akibat tekanan yang diterima, tak sedikit para pengguna instagram membuat akun lain, yang lebih dikenal sebagai second account. Di second account mereka lebih leluasa untuk mengekspresikan diri, tanpa harus khawatir mendapat respon apapun dari orang lain. Hal tersebut tentu tidak bisa dilakukan ketika berada di akun asli atau personal.
Konten-konten yang dibagikan dalam second account cenderung lebih bersifat pribadi. Mulai dari hobi, kegemaran pribadi, pandangan terhadap isu yang sedang terjadi, atau hanya sekadar keluh kesah sehari-hari. Second account juga dapat dimanfaatkan sebagai media untuk membagikan hasil karya pribadi penggunanya, seperti hasil memotret, puisi, hingga lukisan.
Pemilik akun juga terkadang membagikan foto atau video konyol yang hanya dapat dinikmati untuk teman-teman terdekatnya. Hal yang tentunya tidak dapat dilakukan ketika berada di akun asli atau personal karena dapat dianggap “aneh” terlebih bagi orang-orang yang tidak terlalu mengenal dekat.
Munculnya fenomena second account di sosial media berkaitan dengan teori Dramaturgi yang dikemukakan oleh Erving Goffman pada tahun 1959 dalam bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life. Dalam teori ini dijelaskan bahwa, dalam kehidupannya, seseorang memiliki dua sisi yang disebut panggung depan (front stage) dan panggung belakang (backstage).
Ketika seseorang berinteraksi dengan orang lain di lingkungan sosialnya, ia akan memilih peran apa yang akan dijalankan. Mereka akan menampilkan sosok dirinya dalam bentuk yang sebaik-baiknya di panggung depan (front stage). Sementara panggung belakang (backstage) merupakan tempat di mana individu menyembunyikan identitas personalnya.
Selain teori Dramaturgi, terdapat juga teori lain yang memiliki hubungan erat dengan maraknya penggunaan second account. Charles Horton Cooley dalam teori Looking Glass Self menjelaskan, ketika individu melakukan interaksi sosial, ia seakan-akan menaruh cermin di hadapannya. Individu tersebut akan membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilannya, dan bagaimana ia merasakan bangga atau kecewa; atau merasa sedih dan malu.
Jadi, dapat dikatakan bahwa seseorang akan menampilkan image terbaiknya yang dapat diterima di lingkungannya. Oleh karena itu, seseorang akan melakukan proses pengelolaan kesan.
Seseorang yang memiliki second account, tidak serta-merta membagikan seluruh kehidupan pribadi atau keluh kesahnya di sana. Tak jarang mereka masih membutuhkan ruang privasi dalam bermedia sosial tanpa harus diketahui oleh khalayak. Jadi, ingin sampai punya berapa akun agar benar-benar merasa bebas untuk mengekspresikan diri?
REFERENSI
Dewi, R., & Preciosa, A. J. (2018). DRAMATURGI DALAM MEDIA SOSIAL: SECOND ACCOUNT DI INSTAGRAM SEBAGAI ALTER EGO. Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, 340-347.
Nasrullah, R. (2016). Teori dan Riset Media Siber. Jakarta: Prenadamedia Group.
Orlando, J. (2018, Maret 7). How teens use fake Instagram accounts to relieve the pressure of perfection. Retrieved Januari 11, 2021, from theconversation.com: https://theconversation.com/how-teens-use-fake-instagram-accounts-to-relieve-the-pressure-of-perfection-92105