Aku Mencintaimu Se(b)utuhnya

Aku mencintaimu
*syarat dan ketentuan berlaku

Ditulis oleh: Fauzan Abdul
Disunting oleh: Zania R Putri
Ilustrasi oleh: Kannitha Adrian

Cinta memang banyak bentuknya. Atau setidaknya itu yang dibilang oleh para penyanyi yang tahu pendengarnya melankolis. Nyatanya, gambaran cinta kebanyakan dari kita punya sedikit sekali variasi. Pada abad ke-19, Leo Tolstoy menuliskan bahwa “ketika kamu mencintai seseorang, kamu mencintainya secara utuh, sebagaimana dia adanya, dan bukan sebagaimana keinginanmu akan dia.” 135 tahun kemudian, Katy Perry meneriakkan kalimat “I will love you unconditionally” belasan kali dalam lagu yang panjangnya kurang dari empat menit. 

Walau mungkin kita tidak menuliskan pandangan kita dalam novel ataupun lagu, konsep kolektif kita akan cinta sering kali berputar pada ciri yang sama: utuh, tanpa syarat, absolut. Untuk mencintai seseorang karena uangnya atau jabatannya dianggap banal, karena “cinta yang sesungguhnya” mencintai seseorang karena keseluruhan dirinya, dengan segala kelebihan maupun kekurangan yang ia punya. Sayangnya, di hadapan laju perubahan masyarakat kita, konsep seperti ini mungkin akan diingat sebagai dongeng masa lalu belaka.

Salah satu hal yang mencirikan kehidupan modern adalah singkatnya hubungan kita dengan bagian-bagian lain dari kehidupan kita. Hal ini pun tidaklah terbatas pada barang-barang, seperti masker atau pulpen sekali pakai, tapi juga pada orang-orang yang berinteraksi dengan kita. Coba hitung saja, dalam satu hari, bahkan dalam kondisi pandemi seperti ini, berapa banyak driver ojol, pegawai parkiran, dan kasir swalayan yang Anda temui hanya untuk berpisah lagi dalam hitungan menit. Belum lagi kalau kita menghitung mereka yang berinteraksi dengan kita tanpa adanya tatap muka: customer service Indihome yang kita telepon saat wifi mati untuk kesekian kalinya, moderator dan narasumber webinar yang kita ikuti, atau admin toko online tempat kita berbelanja. 

Bandingkan ini dengan interaksi seorang petani era Majapahit, misalnya. Bukan hanya ia mengenal pemilik gerobak dan penjual buah di pasar, tapi kemungkinan ia juga mengenal seluruh orang yang tinggal di desanya. Bila suatu hari orang yang menjajakan pisang di pasar berubah, ia pasti akan menyadari perubahan itu dan agaknya terkejut olehnya. Sementara itu, kita bukan saja tidak akan terkejut bila kasir swalayan kita berubah ketika kita datang esok hari, tapi kita mengharapkan ia untuk berubah. Bila kita datang lagi ke suatu kota setelah beberapa tahun dan menemukan orang yang sama sedang melayani pelanggan dari balik kasir yang sama, kita justru akan terkejut oleh kesamaan itu.

Kecepatan pergantian orang yang lalu-lalang melalui hidup kita seperti ini hanya dimungkinkan oleh pembatasan “area” interaksi kita dengan mereka. Bagi kita, seorang kasir hanya perlu ada untuk memindai belanjaan kita, menerima uang, dan memberikan kembalian yang sesuai. Bila fungsi ini terpenuhi, kita tidak peduli apakah ia penggemar The Beatles atau Metallica, mencoblos PDI-P atau PKS saat pemilu, atau lebih menyukai makan bubur diaduk atau tidak. 

Dalam kebanyakan interaksi kita, secara sadar ataupun tidak, kita menarik garis fungsional seperti ini yang membatasi aspek-aspek mana saja yang perlu kita pedulikan dan yang tidak. Hasilnya adalah yang disebut Alvin Toffler, dalam bukunya Future Shock yang terbit setengah abad lalu, sebagai “Manusia Modular”. Dengan membatasi interaksi kita pada modul-modul tertentu yang kita anggap dibutuhkan dari orang lain, kita memungkinkan diri kita untuk berinteraksi dengan puluhan orang setiap harinya tanpa perlu memusingkan diri tentang aspek-aspek lain dari kepribadian mereka.

Modularisasi ini lah yang sekarang juga merambah pada persoalan cinta, sebagaimana tercermin pada mereka yang memilih pasangan berdasarkan “tipe-tipe” tertentu. Ketika mereka bicara bahwa kita ingin pasangan yang “jago nyetir” atau “selalu bisa bikin ketawa”, mereka sebenarnya sedang mendefinisikan aspek fungsional seorang pasangan: satu, sebagai orang yang mengantar kita bepergian dan dua, sebagai orang yang menghibur kita dengan leluconnya. Dengan begitu, secara sadar ataupun tidak, mereka tidak menganggap kualitas-kualitas di luar garis ini penting dalam pertimbangan mereka memilih pasangan.

Walau orang-orang seperti itu tentu akan kesulitan jika diminta menjabarkan setiap aspek yang mereka anggap penting, mereka tetap dapat mengetahui dengan cukup yakin mana saja aspek yang penting, kurang penting, dan tidak penting sama sekali. Maka, kita dapat melihat bahwa yang sebenarnya disampaikan ketika mereka berkata “aku mencintaimu seutuhnya” adalah “aku mencintaimu dalam semua aspek fungsional yang aku anggap penting”. Ya, kurang cocok untuk dijadikan caption postingan Instagram.

Tentu, tidak semua dari kita jatuh cinta dalam garis-garis yang terdefinisikan secara jelas seperti itu; terkadang, perasaan muncul dalam situasi-situasi yang menolak definisi apapun. Namun, saya rasa juga agak naif apabila kita menutup mata akan kemungkinan bahwa modularisasi yang telah terjadi pada pegawai parkiran dan kasir swalayan pada generasi-generasi sebelum kita juga akan terjadi pada pasangan romantis kita di masa depan. 

Mencintai seseorang seutuhnya akan menjadi semakin mustahil bukan karena kita tidak mungkin mencintai setiap aspek kecil dari kepribadiannya, tapi karena kita akan kesulitan untuk membentuk kepedulian untuk mencintai ataupun membenci setiap aspek kecil dari kepribadiannya. Hari-hari kita tidak akan bertambah panjang, dan laju pergantian orang-orang yang melalui hidup kita hanya akan bertambah cepat. Di hadapan kedua fakta ini, mungkin saja memilih pasangan berdasarkan tipe-tipe yang telah ditentukan sebelumnya tidak akan lagi dianggap sebagai praktik marginal, tapi sebagai hal yang normal untuk dilakukan siapapun yang merasa kewalahan untuk mengenal setiap sisi dari calon pasangannya.

Lantas, jika kenyataan seperti itu betul-betul datang, apa yang akan terjadi ketika aspek fungsional seorang pasangan dapat dipenuhi oleh hal lain, ketika mobil tanpa pengemudi meniadakan kebutuhan menyetir, atau ketika, dengan beberapa langkah sederhana pada sebuah aplikasi kencan, kita dapat menemukan ratusan orang yang leluconnya lebih lucu? Saya juga belum tahu, tapi untuk memaksakan diri kembali pada konsep “cinta seutuhnya” adalah untuk bergantung pada angan-angan masa lalu.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *