
Ditulis oleh: Fauzan Abdul
Disunting oleh: Fauzan Abdul
Ilustrasi oleh: Btari Indira
Bosan. Ya, dalam beberapa bulan terakhir, terutama bagi kita yang punya cukup privilese untuk tak perlu mengkhawatirkan persoalan perut, perasaan yang satu ini rasanya membayangi setiap momen kehidupan dalam rumah. Kalau emosi kita dikendalikan dengan tuas dan tombol seperti pada film Inside Out, mungkin Bosan saat ini sedang telentang di atas meja kontrol, sementara emosi lainnya hilang entah ke mana.
Kondisi ini pun merebak layaknya sebuah pandemi. Maret lalu, hampir 3.500 warga Italia dalam sebuah survei ditanya tentang aspek negatif yang paling mereka rasakan saat harus tinggal di rumah. Hasilnya: rasa bosan menempati tempat kedua, hanya kalah dari kurangnya kebebasan. Survei serupa juga dilakukan di Kanada ketika wabah SARS melanda di tahun 2003. Dari 1.057 partisipan, 62% melaporkan perasaan bosan, melampaui bahkan kekhawatiran ataupun ketakutan.
Sebenarnya, kekuatan rasa bosan ini sudah dikenali sejak lama. Pada pertengahan abad ke-18, Voltaire mengkategorikan kebosanan sebagai “kejahatan besar” (‘great evil’), bersama dengan kebiasaan buruk (‘vice’), dan kemiskinan (‘need’). Meski kala itu ia menganggap kerja, bukan barisan Instagram stories atau cuitan tanpa akhir, sebagai alat pengusirnya, takhta keburukan rasa bosan tampaknya tak banyak berubah hingga masa kini.
Namun, pernahkah kita bertanya mengapa kita dapat merasa bosan? Dan mengapa, kendati segala usaha kita, tampaknya kita tak pernah lepas dari cengkeraman kebosanan?
Tentu, kebosanan dapat dijelaskan dalam bingkai sejarah evolusioner sederhana: individu yang dapat merasakan bosan dalam rutinitas yang sama akan mencoba mengeksplorasi hal baru; eksplorasi hal baru dapat berujung pada penemuan yang menguntungkan keberlangsungan hidupnya (sumber makanan baru atau pasangan tambahan sebagai contohnya); maka, gen individu itu dapat tersebar lebih banyak dan lebih luas hingga akhirnya menjadi ciri umum manusia.
Pengertian seperti ini mungkin tampak menggoda untuk diterima sebagai kenyataan. Lagipula, kesamaan rutinitas kitalah yang menjadi sumber rasa bosan, bukan? Bangun siang pada jam yang sama, sarapan malas-malasan yang sama, layar video call yang sama, semua hal inilah yang ketika diulang untuk ke-200 kalinya mencapai titik jenuh dan memungkinkan kita untuk bertanya: terakhir mandi itu pagi ini atau pagi dua hari lalu, ya?
Namun, pandangan in menutup mata pada kapasitas perubahan yang mungkin terjadi selama tinggal di rumah: Netflix punya lebih banyak judul daripada yang mampu kita habiskan jika kita menonton tanpa henti selama setahun; online course gratis sudah tersedia cukup banyak untuk dapat kita susun dalam jadwal kelas 24 SKS; artikel tentang hal baru untuk dicoba selama pandemi pun terus bertambah panjang tanpa henti (bahkan ada yang memuat hingga 101 hal!). Nyatanya, kalau variasi adalah kunci menangkal rasa bosan, kita tidak akan pernah mempermasalahkannya.
Untuk memahami cara menghadapi kebosanan, kita pertama perlu memahami apa sebenarnya kebosanan itu.
Leo Tolstoy—sang penulis buku War and Peace setebal 1225 halaman yang belakangan ini dibaca kembali orang-orang untuk mengisi waktu—mengartikan kebosanan sebagai “sebuah keinginan akan keinginan.” Melalui sudut pandang ini, rasa bosan hadir bukan karena kita tidak punya pilihan aktivitas yang bervariasi, tapi karena tidak ada pilihan aktivitas yang menggugah keinginan kita. Maka, mereka yang bosan tidak menginginkan tambahan saran akan hal baru untuk dicoba, tapi mereka menginginkan keinginan untuk mencoba hal yang mereka sudah ketahui mungkin dilakukannya.
Namun, pertanyaan baru muncul: mengapa kita tidak dapat menemukan keinginan untuk melakukan sesuatu?
Coba bayangkan Anda ingin pergi ke suatu tempat dan sedang membuka peta untuk mencari arah. Di antara banyaknya pilihan langkah untuk diambil, bagaimana Anda dapat menentukan bahwa di perempatan berikutnya Anda perlu belok ke kanan dan bukan ke kiri? Bagaimana kemudian Anda dapat mengambil langkah itu tanpa merasa bosan dan memutar balik untuk mencoba jalan lain? Jawabannya, tentu, karena Anda memiliki sebuah tempat sebagai tujuan, dan Anda tahu bahwa jalan yang Anda tempuh, bukan jalan lainnya, adalah yang Anda perlukan untuk sampai ke tujuan itu.
Hal yang sama saya yakini juga berlaku pada navigasi kita melalui silang-sengkarut kehidupan. Layaknya pengemudi yang tetap tenang mengikuti arahan suara robotik Google Maps tanpa mengetahui lokasi tujuannya, kebanyakan dari kita juga menjalani rutinitas hari (entah yang digariskan oleh jadwal pelajaran sekolah, jadwal meeting kantor, atau jadwal lainnya) tanpa banyak berpikir tentang tujuan dari rutinitas tersebut. Ketika secara seketika struktur penyokong keseharian ini tercerabut oleh keharusan untuk tinggal di rumah, kita terbengong, kebingungan akan hal apa yang perlu kita lakukan dalam kebebasan yang asing ini. Setiap jalan yang kita tempuh terasa sia-sia, menghabiskan waktu tanpa membawa kita sejengkal pun lebih dekat kepada tujuan kita. Tentu, bagaimana mungkin kita bisa lebih dekat kepada tujuan yang tiada?
Maka, untuk dapat mengembalikan makna dalam aktivitas kita tanpa perlu bergantung pada struktur eksternal, untuk dapat mengenyahkan kebosanan dengan tangan kita sendiri, kita perlu menyadari bahwa sesungguhnya kebosanan adalah ketiadaan tujuan.
Saat ini pilihan kegiatan kita memang terbatas. Namun, justru dalam keterbatasan ini kita butuh untuk menemukan kembali tujuan kita, dan dengannya memahami kegiatan mana yang benar-benar berarti dan kegiatan mana yang sekadar distraksi. Jika tidak, kita mungkin akan terjebak dalam lomba lari dengan rasa bosan, terus-menerus meloncat dari satu kegiatan baru ke yang lainnya, tanpa ada garis akhir yang terlihat.
Ya, tampaknya Pram benar ketika ia menuliskan bahwa “orang bilang ada kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya.”