Yang Pasti; Satu per Satu.

Ditulis oleh: Stephanie Lidya
Disunting oleh: Fauzan Abdul
Ilustrasi oleh: Resh-Aina

Dulu, keseharianku berkutat pada angka. Sekarang, angka yang sering kutemui hanya sekadar nomor halaman dalam buku dan jurnal akademik. Bersamaan dengan itu pula aku mengenal dan belajar menghadapi ketidakpastian, secara akademis maupun di kehidupan nyata.

Tiga tahun belakangan ini  aku bertegur sapa dengan rumus, rumus, dan rumus. Sudah menjadi makanan sehari-hari sebagai seseorang yang mengambil jurusan MIPA saat SMA untuk berteman baik dengan angka. Entah aku sudah mempelajarinya dengan benar atau tidak, satu yang ku tahu, aku terlampau nyaman dengan “kepastian” yang hadir karenanya. Setiap soal yang ku hadapi memiliki jawaban yang saklek. Kasarnya, kalau aku mengikuti semua instruksi dengan baik, aku pasti sampai pada jawaban yang diinginkan. 

Mungkin ini salahku, tapi nampaknya rasa nyaman terhadap kepastian itu sampai merambat ke segala lini kehidupanku. Bisa dibilang, keseharianku sangat teratur. Hampir semua hal dalam hidupku berjalan baik-baik saja dengan hanya sedikit hambatan. Kasarnya, setiap aku mengikuti semua yang telah ku rencanakan, hampir pasti aku akan sampai pada segala harapan yang aku impikan. 

Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil langkah untuk keluar dari zona nyaman, memilih rumpun ilmu sosial humaniora untuk jurusan kuliah. Sepertinya saat itu kata-kata “yang pasti-pasti saja” telah menghilang dari kamusku. Sebuah langkah yang dipenuhi cemas dan risiko, tetapi tetap ku ambil. Aku putuskan aku tidak ingin lagi berkutat dengan rumus, rumus, dan rumus. 

Seakan seluruh kepastian yang awalnya aku miliki seketika musnah, aku bertemu dengan hal-hal yang belum lumrah. Memasuki dunia akademik yang jauh berbeda tentu tidaklah mudah. Tidak ada lagi jawaban saklek sempat membuatku frustasi dan marah. Terlebih saat hasil belum sempurna dan sulit untuk mengetahui langkah mana yang salah.

Tidak hanya menghadapi ketidakpastian dalam dunia akademis, pandemi datang untuk menyambutku ke dunia yang benar-benar tidak pasti. Keseharian yang rutin ku jalani tiba-tiba harus terhenti. Aku dipaksa untuk menerka-nerka; sehebat apapun aku berencana, esok hari bisa datang dan menghapus segalanya. Satu hari aku masih bersenda gurau bersama teman-teman, keesokan harinya aku hanya menatap layar sambil menggerutu akibat koneksi internet yang sangat amat pelan. Setiap harinya begitu, penuh kejutan dan tak jarang kekecewaan.

Lalu aku tersadar bahwa satu-satunya hal yang pasti adalah apa yang ada di depan mata—di sini, sekarang. Khawatir tentang nilai tidak akan ada habisnya saat tugas datang bertubi-tubi. Bertanya-tanya tentang hari esok, minggu depan, bulan depan, atau tahun depan pun hanya akan menguras energi. Mengejar kesempurnaan tak ada gunanya karena segala hal dapat berubah dalam sekejap.

Aku pun belajar untuk berjalan lebih perlahan. Melangkah dengan jalan yang buram memang sulit, tetapi bukan mustahil untuk dilaksanakan. Dua kali beradaptasi dengan ketidakpastian—secara akademik dan di kehidupan nyata—membuatku sadar bahwa yang terpenting adalah melakukan yang terbaik untuk segala hal yang sedang dihadapi. Tidak peduli jawaban yang ku berikan sesuai harapan atau tidak, setidaknya aku mengerjakannya dengan usaha yang maksimal. Tidak peduli kabar mengagetkan apa lagi yang akan kuterima esok hari, setidaknya aku menjalani hari ini dengan terus melangkah.
Ternyata memang tidak ada yang pasti di kehidupan ini. Semua rencana dan harapan dapat dengan mudah hancur seketika. Dulu, keseharianku adalah rutinitas yang dapat ditebak. Sekarang, semua serba kabur dan penuh ketidakpastian. Bersamaan dengan itu pula aku mengenal dan belajar menjalani segalanya, yang pasti, satu per satu—one task at a time, one day at a time.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *