Kekuatan Para Pemimpin Perempuan Indonesia dan Sistem Politik Yang Menolak Mereka

Ditulis Oleh: Aradi Priyanto
Disunting oleh: Fanya dan Zania
Ilustrasi Oleh: Ikeshia

Di seluruh dunia, di saat ini banyak yang mengomentari bagaimana pemimpin perempuan telah berhasil menginspirasi perubahan, contohnya lewat gerakan peduli lingkungan (Greta Thunberg) dan lewat kesuksesan mereka dalam mengatasi pandemi dengan aman dan cepat di negara-negara yang mereka pimpin (contoh adalah Jacinda Ardern, perdana menteri Selandia Baru).

Pemimpin perempuan ini menghadapi masalah mereka sendiri di komunitas-komunitas di dalam negara mereka namun tetap dapat menjadi pemimpin yang efektif dalam memobilisasi masyarakat dan menggunakan alat-alat yang mereka punya.

Meningkatnya ‘women power’ juga secara perlahan mulai ‘terlihat’ di Indonesia, dengan  adanya peningkatan perempuan sebagai anggota DPR dan di posisi penting  kabinet. Namun jika ditelusuri lebih jauh sebenarnya fenomena kemunculan pemimpin-pemimpin perempuan yang kuat ini sudah ada sejak lama. 

Walaupun tidak di Senayan, atau tidak mendapatkan perhatian publik dan media, sudah ada pemimpin-pemimpin perempuan akar rumput (grassroots) Indonesia yang melakukan hal yang kira-kira sama walaupun dalam skala yang lebih kecil. 

Lewat cerita perjuangan mereka, bisa dilihat mengapa perempuan dalam posisi yang sangat baik untuk memimpin komunitas mereka dan menjaga lingkungan sekitar mereka, dan kenapa kita membutuhkan lebih banyak figur seperti mereka di dunia politik Indonesia, untuk membantu memecahkan masalah lingkungan dan berkurangnya sumber daya alam yang sekarang dihadapi semua negara di seluruh dunia, tidak hanya di Indonesia.

Ada banyak sekali contoh sosok pahlawan pemimpin perempuan akar rumput di Indonesia, yang mendapatkan perhatian dan penghargaan internasional. 

Pada tahun 2013, misalnya, Aleta Baun, atau yang sering dikenal sebagai mama Aleta, menerima penghargaan internasional, The Goldman Environmental Prize karena kontribusi besar dalam perjuangan  lingkungan hidup dari ancaman. 

Mama Aleta sudah sejak 1996 mempertahankan tanah adat komunitasnya di Gunung Mutis, Nusa Tenggara Barat, dari pertambangan—, menjadi ‘musuh’ dari perusahaan besar dan pemerintah, sampai nyawanya dan keluarganya sempat terancam (Saturi dan Fachrizal, 2013).

Mama Aleta mengorganisasi warga desa sekitar untuk menduduki tempat-tempat pertambangan dengan menenun sebagai bentuk protes terhadap perusahaan tambang dan pemerintah (Saturi dan Fachrizal, 2013). Setelah lebih dari sepuluh tahun perjuangan, pada tahun 2007, mama Aleta dan warga sekitar sukses menghentikan perusakan tanah adat mereka, dan perusahaan-perusahaan tambang marmer pun meninggalkan Gunung Mutis.

Mama Aleta Baun (Mongabay, 2013)

Warga pegunungan Kendeng, Jawa Tengah memprotes pembangunan pabrik semen di tanah adat mereka sejak 2014. Sama seperti warga lokal Gunung Mutis, warga pegunungan Kendeng tidak hanya mendapatkan air bersih, makan dan pekerjaan (sebagai petani) dari tanah adat mereka, tetapi juga menjalin hubungan spiritual dengan nya (Firdaus, 2020).

Pada bulan April 2016, Sukinah, salah satu tokoh pemimpin warga lokal, bersama delapan pejuang wanita lainya menyemen kaki mereka, dan dengan bantuan alat penarik, berjalan di depan Istana Negara, di Jakarta. Gerakan ini dikenal sebagai ‘Sembilan Kartini Kendeng’ (Suriyani, 2020).

Pada bulan Agustus pada tahun yang sama, presiden Jokowi berjanji untuk membekukan proyek pabrik semen tersebut, dan mengadakan sebuah penilaian lingkungan dan memfasilitasi diskusi dengan warga untuk menentukan bagian dari pegunungan Kendeng yang akan menjadi area konservasi.  Namun, proyek pendirian pabrik semen tetap berjalan, dan ‘Sembilan Kartini Kendeng’ kembali menyemen kaki mereka di depan Istana Negara pada 2017. 

Meski telah unjuk rasa untuk lebih dari enam tahun, dan menghadapi tragedi meninggalnya Patmi, salah satu ‘Kartini’ di antara mereka akibat serangan jantung pasca pelaksanaan protes di Istana Negara Sembilan Kartini Kendeng terus berjuang untuk komunitas mereka.

Sukinah (Mongabay, 2020)

Jika dilihat lebih lanjut, ada beberapa alasan mengapa perempuan sudah memainkan peran istimewa dan signifikan dalam mewakili komunitas mereka dan dalam gerakan peduli lingkungan, tidak hanya di Indonesia sebagai negara berkembang, tetapi di seluruh dunia,

Kalau dilihat, dalam komunitas dan keluarga mereka, perempuan seringkali mempunyai tanggung jawab untuk mengelola sumber daya alam, mengelola air, sumber makanan dan bahan bakar, serta lahan pertanian dan hutan. 

Karena itu, banyak perempuan mempunyai pengetahuan mendalam (tradisional dan turun-temurun) tentang komunitas dan lingkungan sekitar mereka, contohnya tentang keanekaragaman hayati (tanaman dan obat-obatan dan sumber nutrisi).

Selain itu, Di negara berkembang, perempuan menghasilkan 60-80% makanan untuk keluarga dan komunitas mereka (Owren, 2012). Karena ini, perempuan juga secara tidak proporsional, lebih banyak terdampak oleh isu-isu lingkungan seperti cuaca ekstrim dan bencana alam (Owren, 2012). 

Ini adalah alasan kenapa perempuan di daerah-daerah berbeda di seluruh dunia mempunyai hubungan penting, bahkan sakral, dengan lingkungan sekitar mereka. Perempuan mempunyai pengalaman dan perspektif penting dalam pembuatan kebijakan tidak hanya untuk lingkungan dan komunitas mereka sendiri tetapi untuk generasi yang akan datang. 

Walaupun di komunitas mereka sendiri memainkan peran penting, di kancah politik nasional dan internasional di seluruh dunia perempuan tetap kurang terwakili. Fenomena tersebut, membatasi pengaruh mereka atas pemerintahan dan kebijakan-kebijakan publik. 

Padahal, menurut UN Women, ada bukti bahwa kepemimpinan perempuan dapat memperbaiki pengambilan keputusan politik, contohnya adalah bagaimana banyak menunjukkan kepemimpinan politik mereka dengan bekerja sama antar partai di parlemen (UN Women, 2019).

Selain pentingnya perempuan dalam kepemimpinan dan pembuatan kebijakan isu-isu komunitas lokal dan lingkungan, partisipasi mereka di dunia politik juga diperlukan untuk memastikan kesetaraan dan hak-hak perempuan, dan menaikan kesadaran terhadap isu-isu gender seperti diskriminasi gender.  

Pada tahun 1990, PBB menyatakan bahwa harus ada setidaknya 30% anggota parlemen perempuan untuk membawa perubahan dalam politik nasional di sebuah negara. Namun, hanya ada 50 parlemen pada tahun 2019 yang mencapai tingkat tersebut, dan juga hanya ada 12 perempuan yang menjabat sebagai pemimpin pemerintahan (UN Women, 2019). 

Walaupun dalam edukasi, pekerjaan dan kesehatan telah terjadi kemajuan untuk perempuan di seluruh dunia, dalam arena politik kemajuan mereka bisa dibilang lambat (Ashford, 2012). Dari semua anggota parlemen di dunia, hanya 24% adalah perempuan pada tahun 2019, dibanding 11% pada tahun 1995, walau ada peningkatan, menurut UN Women, kemajuan ini sangat pelan. 

Sedikitnya perempuan (secara proporsional) di posisi kepentingan politik dan pengambilan keputusan adalah pencerminan bagaimana dunia dan sistem politik nasional didominasi laki-laki, bagaimana mereka mempunyai keunggulan historis dalam sistem pemilu (Ashford, 2012) serta bagaimana ada ketidaksetaraan pria dan wanita di masyarakat secara keseluruhan. 

Keragaman dan kesetaraan gender susah diterima karena sisi informalnya dunia politik dan bagaimana politik seringkali menjadi manifestasi “old boys network” atau sistem informal yang patriarkis di mana pria-pria yang berada di posisi kepentingan dan kepemimpinan memakai posisi mereka untuk membantu pria-pria lain dengan latar belakang sosial yang sama untuk menduduki posisi-posisi yang sama (Ashford, 2012).

Biasanya perempuan mempunyai akses yang kurang ke jalan-jalan untuk menuju posisi-posisi politik, contohnya adalah kurangnya akses ke partai politik dan bisnis-bisnis besar. Karena kurangnya ‘koneksi’, akhirnya mereka seringkali susah untuk menggalang dana untuk kampanye politik, contohnya. 

Dalam konteks politik di Indonesia sendiri, budaya patriarki ini jelas terlihat. Sampai sekarang masih tidak banyak perempuan yang menduduki posisi kepemimpinan tinggi di cabang pemerintahan, walaupun sudah mulai meningkat. Disaat memang ada wanita yang berhasil di politik nasional, ini seringkali karena mereka mempunyai “ikatan kekerabatan” (Dewi, 2020) dengan elite politik dan ekonomi. 

Sebaliknya juga, banyak perempuan yang ingin maju dalam pemilihan akhirnya bergantung kepada lingkaran elite ini, karena mereka memberikan bantuan finansial dan sosial yang dibutuhkan untuk menang. Selain isu elitisme ekonomi dan politik di Indonesia, banyak yang menilai bahwa masih sarat aspek-aspek budaya dan agama yang seringkali melimitasi peningkatan keberadaan perempuan di posisi-posisi politik Indonesia. 

Ada kalangan masyarakat Indonesia yang lebih konservatif secara budaya dan agama yang belum dapat sepenuhnya menerima pemimpin perempuan (Dewi, 2020). Belum lagi masalah bagaimana mereka seringkali terbebani oleh tanggung jawab domestik tradisional yang membuat banyak perempuan tidak dapat mengejar ‘aspirasi berpolitiknya’.

Isu-isu yang disebut sebelumnya—, dan bagaimana politik Indonesia seringkali enggan berfokus pada kebijakan para calon, tetapi lebih menjadi ajang kompetisi kekuatan finansial dan popularitas—, membuat perempuan lebih susah direkrut partai politik sebagai kandidat potensial. Politisi perempuan pun masih sering menghadapi ekspektasi dan evaluasi yang lebih karena posisi itu biasanya diisi oleh seorang laki-laki.

Dalami beberapa tahun terakhir, terlihat peningkatan stabil perempuan di politik Indonesia. Representasi perempuan di DPR telah naik dari 17% (dari total kursi) di pemilu sebelumnya, ke lebih dari 20% sehabis pemilu 2019 lalu. Yang signifikan selain itu adalah banyaknya perempuan dalam posisi kabinet presiden Jokowi. 

Posisi yang mereka isi di kabinet bukanlah posisi yang ‘tradisional’ untuk perempuan, tetapi yang sebelumnya disebut sebagai posisi kabinet yang ‘maskulin’ dan didominasi pria, seperti Menteri Luar Negeri (Retno Marsudi) dan Menteri Keuangan (Sri Mulyani) (Dewi, 2020).

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi (BBC, 2016)

Menteri Keuangan, Sri Mulyani (BBC, 2017)

Meskipun ada kenaikan ini, bukan berarti telah ada kemajuan substansial dalam pembuatan kebijakan dan pembahasan isu-isu perempuan dan undang-undang terkait isu-isu tersebut. Lihat saja RUU PKS, yang sudah diusulkan sejak 2016 tapi tidak mengalami kemajuan dan justru banyak ditolak anggota dewan yang perempuan, seringkali karena mereka mengikuti arah partai mereka.

Sudah terlihat jelas bahwa ada pemimpin-pemimpin perempuan di Indonesia yang telah memperjuangkan komunitas mereka di level grassroots dari ancaman, seperti mama Aleta dan Sukinah di daerah mereka masing-masing. Mereka sukses memobilisasi warga sekitar mereka untuk angkat suara dan memprotes lewat cara-cara yang baru untuk mencoba mengamplifikasi suara mereka. Hubungan mereka tidak hanya dengan lingkungan sekitar tetapi dengan komunitas mereka sendiri terlihat sangat kuat

Dalam politik nasional Indonesia, pemimpin perempuan potensial menghadapi banyak tantangan berbeda, dan ini mengapa banyak sekali pemimpin perempuan akar rumput di Indonesia tidak bisa mentranslasi gerakan dan platform mereka menjadi momentum dan kekuatan politik potensial untuk membawa perubahan bagi masyarakat luas. Dunia politik yang didominasi oleh elite politik dan ekonomi menghalangi gerakan-gerakan akar rumput untuk mendapatkan daya tarik di politik nasional. 

Dominasi elite politik dan ekonomi ini tidak hanya bisa ditemukan di Senayan, tetapi di semua level pemerintahan di Indonesia. Itulah kenapa pemimpin perempuan seperti mama Aleta dan Sukinah terpaksa harus mencari cara baru untuk unjuk rasa dan meningkatkan kesadaran, karena melalui jalur formal (pemerintah daerah dan lokal mereka) suara mereka tidak akan terdengar.

Selain itu, mereka seringkali harus bertarung dengan patriarki dan elitisme di komunitas mereka sendiri saat pertama menjadi pemimpin., jika mereka ingin masuk ke politik untuk menaikkan suara mereka, mereka dihadapi sistem politik yang  juga elitis dan patriarkal. 

Tradisi elite politik ini juga akhirnya membuat sistem politik yang patriarkisal dan seringkali melanggengkan praktik ‘old boys network’ yang membuat perempuan sulit berkarier dalam politik Indonesia, dan walaupun mereka sudah masuk ke dunia politik, susah untuk mendapatkan posisi yang penting sebagai pemimpin.

Perlu diingat pula bahwa meningkatnya politisi perempuan di Indonesia, baik di kabinet maupun di DPR, belum tentu menjadi indikasi yang bagus meskipun figur representasi perempuan sudah membaik. Karena sifat politik Indonesia, politisi perempuan yang sampai ke posisi-posisi penting seringkali mempunyai hubungan dekat (atau keluarga) dengan lingkaran elite politik, atau mendekat dalam rangka mendapatkan bantuan dana atau media demi menghimpun kekuatan.

Dengan ini, akhirnya, mereka hanya menjadi suara untuk partai mereka sendiri dan untuk elite-elite ini tanpa menggunakan posisi mereka untuk mendiskusikan dan membantu dengan isu-isu yang dihadapi perempuan secara keseluruhan dan komunitas mereka di Indonesia—, terlihat jelas dari dicabutnya RUU PKS dari Prolegnas DPR.

Jika generasi muda pemimpin-pemimpin perempuan selanjutnya tidak di sia-siakan, harus ada bantuan untuk bisa membawa keterampilan kepemimpinan mereka dari tingkat akar rumput untuk menjadi lebih cocok dengan dunia perpolitikan nasional. 

Sistem politik Indonesia yang patriarkis dan elitis tidak akan hilang dengan cepat. Dengan bantuan, pemimpin perempuan ini bisa bertarung dan membantu untuk menghilangkanya, membuat proses politik untuk kita semua lebih baik, dan membawa perubahan untuk isu-isu lokal dan lingkungan yang sudah lama mereka pedulikan namun terus di abaikan.

REFERENSI

Ashford, L. S. 2012 Women in Power and Decision Making in Global Women’s Issues: Women in the World Today, extended version Bureau of International Information Programs, United States Department of State

Dewi, S. 2020 Hari Kartini dan kesetaraan gender: Budaya patriarki dan beban ganda bayangi perempuan pemimpin, ‘Apa pria mau membagi beban? BBC

<https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52322964>

Firdaus, F. 2020 The women of Kendeng set their feet in cement to stop a mine in their lands. This is their story Mongabay 

<https://news.mongabay.com/2020/11/the-women-of-kendeng-set-their-feet-in-cement-to-stop-a-mine-in-their-lands-this-is-their-story/

Owren, C. 2012 Women and the Environment in Global Women’s Issues: Women in the World Today, extended version Bureau of International Information Programs, United States Department of State

Saturi, S. dan Fachrizal, A. 2013 Mama Aleta: Berjuang Mempertahankan Lingkungan, Melawan Tambang dengan Menenun Mongabay <https://www.mongabay.co.id/2013/04/15/mama-aleta-berjuang-mempertahankan-lingkungan-melawan-tambang-dengan-menenun/>

Suriyani, L. D.  2020 Our Mothers’ Land, Jejak Pejuang Lingkungan Perempuan Indonesia Mongabay

<https://www.mongabay.co.id/2020/11/01/our-mothers-land-jejak-pejuang-lingkungan-perempuan-indonesia/>

Owren, C. 2012 Women and the Environment in Global Women’s Issues: Women in the World Today, extended version Bureau of International Information Programs, United States Department of State

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *