Rasisme di Zaman Milenial

Ditulis oleh : Zakiah Umairoh Machfir
Disunting oleh: Wulan Faraditha
Ilustrasi oleh: Bima Oktavian

Apa yang terbesit dalam pikiran ketika mendengar kata rasisme? Pasti tidak jauh imaji akan kelompok kulit hitam dan kulit putih. Namun, apakah hanya rasisme hanya mengikat dua kelompok tersebut? 

Dalam membahas rasisme, tentu terdapat beragam hal yang melatarbelakanginya. Pembahasan yang paling sering menjadi diskursus publik adalah perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat: ras, suku bangsa, bahasa, bahkan agama. Hal tersebut sudah menjadi masalah berkelanjutan yang belum tuntas dihilangkan di setiap negara, termasuk Indonesia. 

AWAL BELUK RASISME DI INDONESIA

Penjajahan yang dilakukan kolonial Belanda dahulu kala menjadi tonggak awal rasisme di Indonesia. Pada saat itu, terdapat stratifikasi sosial yang membagi tiga golongan pada masyarakat, yakni golongan Eropa, golongan Timur Asing (didominasi keturunan Tionghoa dan Arab), serta golongan pribumi (penduduk asli Indonesia). Pembagian yang mencolok pada latar belakang yang dimiliki masyarakat, bertujuan untuk menentukan sistem hukum yang akan diberlakukan. Hal tersebut memperlihatkan bahwa masalah rasisme merupakan peninggalan dari  stratifikasi sosial yang membedakan antarindividu pada saat itu—menandakan bahwa rasisme ini  memang sudah mengakar di Indonesia sejak masa kolonial Belanda.

Seiring berjalannya waktu, harapan untuk meminimalisasi rasisme kian menjadi angan saja. Pasalnya, masalah tersebut semakin merajalela dan mengakar pada era Orde Baru. Tirani pemerintah pada masa Orde Baru yang diwarnai dengan  kasus-kasus penindasan terhadap golongan etnis Tionghoa, menjadi suatu kejadian yang selalu dirasakan dan diingat oleh masyarakat hingga sekarang. Sejak saat itu, pandangan masyarakat tersusun atas berbagai  perbedaan yang menghasilkan banyak sudut pandang tentang bagaimana masyarakat memandang diversitas pada masa Orde Baru. Tanpa disadari, hal tersebut berdampak pula kepada masyarakat di Papua yang memiliki keunikan fitur tubuh dibanding masyarakat di Pulau Jawa.

RASISME DI ABAD KE-20

Selain perjalanan rasisme serta manifestasinya di Indonesia, terdapat manifestasi dari perjalanan rasisme lainnya yang sudah ada sejak abad ke-20, yakni politik apartheid. Singkatnya, politik apartheid adalah sebuah kebijakan pemisahan ras orang berkulit hitam yang merupakan suku asli Afrika Selatan yang mendapat perlakuan buruk dari bangsa Inggris (orang kulit putih). Rasialisme pada orang berkulit hitam saat itu dilegalkan. Sangat menyedihkan membayangkan situasi pada masa itu. Setelah melewati penderitaan dan perjuangan yang lama, akhirnya politik apartheid dapat diruntuhkan oleh seorang pemimpin politik dan aktivis revolusioner anti-apartheid, Nelson Mandela, yang akhirnya menjadi presiden kulit hitam pertama di Afrika Selatan. Di saat itulah, politik apartheid menemukan akhir perjalanannya.

Selain politik apartheid, terdapat pula perjuangan yang tidak kalah hebat dilakukan oleh Martin Luther King. Dikenal melalui pidatonya yang sangat emosional pada tahun 1963, berjudul “I Have a Dream”

“Aku bermimpi di mana pada suatu hari nanti, keempat anakku akan tinggal di sebuah negara yang tidak menilai seseorang berdasarkan warna kulitnya, tetapi berdasarkan karakternya,” kata Martin Luther dalam pidatonya.

Jika dipahami, tujuan dari ucapan pada pidatonya bukan hanya semata-mata untuk dirinya, emosi yang mendominasi telah mempengaruhi kondisi sosial-budaya hingga menjadi sejarah baru di Amerika Serikat pada saat itu sampai sekarang. Selain memperjuangkan hak asasi manusia dari orang berkulit hitam, beliau pun membicarakan masalah pengangguran dan keadilan sosial bagi para buruh.

Selain itu, dengan melihat pemaparan singkat mengenai sejarah dari kedua tokoh pejuang rasisme yang sudah dijelaskan di atas. Apakah rasisme masih ada di zaman yang serba maju seperti sekarang ini? Jawabannya tentu saja masih ada, seperti yang kita tahu pada bulan Juni 2020 lalu, di seluruh platform media sosial marak digunakan tagar #BlackLivesMatter. Apa itu #BlackLivesMatter? BLM dalam bahasa Indonesia, artinya adalah ‘Nyawa Orang Kulit Hitam itu Berarti.’ Penggunaan tagar tersebut merupakan bentuk kepedulian antara sesama manusia dengan menyuarakan sikap anti rasisme, supaya mengurangi kekuatan kulit putih yang selalu mendominasi dibanding kekuatan kulit hitam yang selalu berada di bawahnya. Gerakan aktivis tersebut, bermula pada tahun 2013 saat seorang remaja berumur 17 tahun, Trayvon Martin ditembak hingga tewas oleh George Zimmerman di Amerika Serikat. Kejadian tersebut memicu kontroversi karena setelah kejadian tersebut, George Zimmerman dibebaskan atas keputusan hakim. Dari penjelasan saksi mata, sebelum Zimmerman melakukan penembakan, ia mendapat kekerasan dari Martin. Hal tersebut yang membuat hakim merasa Zimmerman tidak bersalah sepenuhnya. Dengan demikian, para warga tetap tidak menerima dan menganggap hal tersebut  tidak sebanding dengan apa yang didapatkan untuk anak berusia 17 tahun yang saat itu Martin meninggal di tempat. Hal tersebut membuat warga New York melakukan demonstrasi dan tidak sedikit artis atau figur publik ikut menyuarakan ketidakadilan tersebut, serta berharap para hakim mempertimbangkan tuntutannya terhadap George Zimmerman. 

Setelah melewati masa yang cukup panjang dan tepat di tahun 2020 ini, pada bulan Juni lalu, kembali terjadi kasus serupa. Kejadian tersebut dilakukan oleh seorang polisi berkulit putih. Ia melakukan kekerasan kepada orang kulit hitam bernama George Floyd hingga ia meninggal. Setelah video kekerasan yang telah menyebar luas melalui media sosial, tagar #BlackLivesMatter pun kembali membanjiri platform-platform media sosial, seperti Instagram, Twitter, dan Facebook. Bahkan, menjadi trending topic di Twitter. Karena geramnya warga AS terhadap respons pemerintah, mereka melakukan demonstrasi besar-besaran di depan White House, kediaman Presiden Amerika Serikat, Donald Trump. Di tengah pandemi Covid-19 ini, mereka masih melakukan kegiatan kemanusiaan untuk memperjuangkan hak asasi Floyd yang telah hilang akibat tindakan brutalitas polisi kulit putih AS. Demonstrasi ini meluas ke hampir seluruh AS, bahkan juga terjadi di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Selain dengan membantu menyuarakan menggunakan tagar tersebut di sosial media, kita juga bisa meningkatkan perhatian kepada isu ini dengan mengadvokasikan pergerakan-pergerakan orang kulit hitam dalam melawan rasisme, mengampanyekan sikap anti-rasisme di sekitar lingkungan kita dengan tidak menggunakan terma-terma sensitif dan menyinggung. Menyalurkan dukungan kita melalui aksi-aksi sosial yang sederhana, sudah dapat dikatakan bahwa kita telah berkontribusi dalam memperjuangkan hak orang-orang kulit hitam.

APAKAH INDONESIA BERSIH DARI RASISME?

Maraknya penggunaan tagar yang digunakan para pengguna media sosial di Indonesia, mengingatkan kita pada realitas di negara kita sendiri. Melihat masalah internasional, merefleksikan kepada keadaan serupa di negeri sendiri, bahwa kita masih kurang akan toleransi pada keluarga ujung timur kita, yaitu warga Papua. Seperti yang kita ketahui, masalah Papua sudah ada sejak zaman Belanda yang pada saat itu para pahlawan Indonesia sangat memperjuangkan kemerdekaan untuk Papua. Hingga pasca kemerdekaan 27 Desember 1949 pun kasus Papua masih dibahas pada Konferensi Meja Bundar (KMB). Masalah mengenai Papua atau Irian Barat belum tuntas diselesaikan. Indonesia dan Belanda saling memperlihatkan kekuatannya agar dapat menjadi penguasa di tanah Papua yang terjadi hingga kurang lebih lima belas tahun. Pada 15 Agustus 1962, diadakan Perjanjian New York agar Indonesia melaksanakan suatu Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang akan dilakukan rakyat Papua untuk menentukan pilihannya: apakah ingin menjadi bagian dari Indonesia atau tidak. Lalu akhirnya, rakyat Papua Barat memutuskan untuk bersedia menjadi bagian dari Indonesia pada 31 Desember 1962. Dikibarkannya bendera Merah Putih sebagai awal kekuasaan de jure Indonesia atas tanah Papua di bawah pengawasan PBB.

Di samping itu, mungkin beberapa dari kalian bertanya-tanya mengapa rasisme, seperti perbedaan SARA selalu menjadi pokok masalah bagi suatu bangsa. Seperti contoh, di Indonesia tersebar suku, agama, dan bahasa. Lalu mengapa terjadi konflik padahal kita ini adalah satu bangsa, yaitu Indonesia? Yap, faktor-faktor yang melatarbelakanginya antara lain memiliki sikap superior atau menganggap kelompoknya lebih baik dibanding kelompok yang lain, memiliki dendam masa lalu, kurangnya pendidikan tentang bertoleransi, dan vested interest (adanya kepentingan yang tertanam kuat). Dari sini kalian akan sadar bahwa rakyat Indonesia masih dikatakan kurang tanggap dalam menangani permasalahan rasisme).

Namun, masalah rasisme di Papua pun belum tuntas dihilangkan meskipun hak-hak mereka sudah dijamin sejak lebih dari 50 tahun yang lalu. Warga Papua masih merasa terpencilkan, pemerataan pembangunan belum merata, pendidikan belum diperhatikan, masalah kesehatan belum digalakkan, isu kemanusiaan yang melanda masyarakat Papua belum menemukan titik terang. Selain masalah tersebut, dampak lainnya adalah warga Papua merasa mereka tidak lebih baik dari warga di Pulau Jawa karena masalah perbedaan warna kulit, sebab mereka terkadang mendapat perlakuan yang tidak sama dengan orang yang berkulit terang, contohnya seperti di Pulau Jawa. Bukan menjadi hal yang mengejutkan lagi melihat kejadian menyedihkan seperti itu sehingga membawa warga Papua kepada keputusan menginginkan referendum. Menyaksikan situasi seperti ini berlangsung tentu membuat prihatin bangsa kita sendiri yang seharusnya memperhatikan dan menyatukan bangsa yang terdiri dari beragam perbedaan.

Selain masalah perbedaan warna kulit, pernahkah kalian mendengar kalimat, seperti “ah dasar lo cina!” atau “ih bahasa lo medok banget, kayak mbok-mbok jawa. Yap, inilah yang disebut dengan stereotip. Dapat dipastikan stereotip seperti tadi familiar di telinga. Pasalnya, perkataan tersebut keluar  karena kebanyakan manusia melakukan generalisasi stereotip terhadap kelompok tersebut. Tentu saja pemikiran tersebut sangatlah dangkal bagi seorang individu yang hidup di lahan penuh keragaman. Mereka yang selalu memandang ras orang sebelah mata, padahal kita semua itu sama dan satu, yaitu bangsa Indonesia. 

Lantas mengapa kita masih memperdebatkan hal yang seharusnya tidak diperdebatkan? Mengapa kita tidak pernah memandang perubahan untuk masa depan dan membangun negeri ini? Sudah saatnya kita sadar dan peduli, serta berhenti mempermasalahkannya. Bagaimana jika hal tersebut akan selalu tetap terjadi dan tidak segera dihilangkan? Jawaban yang sangat mengenaskan, yaitu bangsa ini akan hancur. Dengan mengingat generasi milenial yang terkadang masih menganggap masalah rasisme adalah hal yang biasa sebab kerap kali terjadi. Mirisnya, saat pembicaraan mengenai Floyd sedang ramai dibicarakan, beberapa orang menggunakan tagar #BlackLivesMatter hanya sekadar mengikuti tren saja atau disebut sebagai Performative Activism. Padahal, bagi mereka yang menganggap masalah rasisme ini adalah hal yang biasa, mereka termasuk orang yang tidak memiliki rasa simpati dan empati kepada sesama manusia. 

Terdapat beberapa upaya untuk kita lakukan sebagai warga negara Indonesia demi mengurangi masalah rasisme yang tak kunjung usai di setiap negara, antara lain:

 1.      Toleransi

Sadar akan kayanya bangsa ini, seperti banyaknya suku, bahasa, dan ras yang tersebar luas membuat kita sadar bahwa kita hidup berdampingan dan bersatu supaya membentuk bangsa yang kuat. Di Indonesia masih sangat minim toleransi, hal tersebut membuat masa depan bangsa ini akan runtuh. Jika tidak diajarkan untuk bertoleransi, lalu bagaimana kita bersatu? Dari kalangan yang berbeda-beda seharusnya kita sadar bahwa itu adalah suatu fenomena yang harus dilestarikan untuk memajukan bangsa ini.

2.      Melakukan Kegiatan Positif

Dengan sering melakukan kegiatan positif, dapat membantu kita mengurangi aura negatif pada diri kita. Kita akan melakukan suatu kegiatan dengan aura yang positif sehingga mengasah kita untuk membuka pikiran terhadap hal-hal baru. Dengan begitu, hal semacam rasisme tidak akan menjadi masalah bagi diri kita karena akan menganggap semua manusia setara.

3.      Mengikuti Ajaran Keyakinan dan/atau Kebudayaan yang Dianut

Pastinya ini adalah hal penting selain untuk mengurangi masalah rasisme saja. Di semua keyakinan, tentu mengajarkan hal baik pada umatnya, seperti untuk selalu berbuat baik kepada sesama. Dengan memahami dan menerapkannya pada kehidupan, membuat kita lebih sadar bahwa sifat membeda-bedakan, seperti rasisme itu dilarang ajaran agama dan budaya mana pun jika kita melakukannya. Contohnya, seperti yang diajarkan Islam bahwa seseorang tidak dipandang melalui fisik atau latar belakangnya. Namun, seseorang akan dipandang dan dinilai oleh Tuhan melalui amal perbuatannya.

Masalah rasisme bukan sesuatu yang mudah untuk diperbaiki. Namun, satu hal yang dapat kita simpulkan adalah masalah rasisme kerap kali terjadi karena sikap individu yang kurang peduli pada diri sendiri dan sekitar. Bagaimana kita dapat memperhatikan sekitar, jika pola pikir dan perilaku pribadi belum terawat? Maka dari itu, mulailah dari hal yang paling kecil, lihatlah keadaan sekitar, mencoba melakukan ketiga upaya tersebut, mengasah kepekaan atas perasaan seseorang, mencoba untuk memposisikan diri sendiri ke posisi orang lain sebelum melakukan sesuatu. Hal tersebut akan membantu kita untuk membangun bangsa yang lebih peka terhadap persoalan rasisme dan akan sangat membantu mempersatukan bangsa kita, seperti semboyan bangsa Indonesia, yaitu Bhinneka Tunggal Ika yang berarti “berbeda-beda, tetapi tetap satu jua”. 

Meskipun kita berbeda dari segi suku, agama, ras, bahasa, serta agama. Namun, kita tetap satu, yaitu bangsa Indonesia.

REFERENSI

2013, Mandela : Kisah Perjuangan Melawan Apartheid, Deutsche Welle (DW), dilihat 30 Agustus 2020, <https://www.dw.com/id/mandela-kisah-perjuangan-melawan-apartheid/a-3493247>.

Irfani, Faisal, 2019, Sejarah Pidato Martin Luther King yang Dorong AS Hapus Rasisme, Tirto.id, dilihat 30 Agustus 2020, <https://tirto.id/sejarah-pidato-martin-luther-king-yang-dorong-as-hapus-rasisme-cvrX>. 

2020, Black Lives Matter, Wikipedia, dilihat 31 Agustus 2020, <https://id.wikipedia.org/wiki/Black_Lives_Matter#:~:text=Gerakan%20aktivis%20ini%20bermula%20sejak,berkulit%20hitam%20pada%20Februari%202012>. 

Iswara, Aditya Jaya 2020, Demo George Floyd Bertajuk Black Lives Matter, Apa Artinya?, Kompas.comdilihat 31 Agustus 2020, <https://www.kompas.com/global/read/2020/06/02/180619270/demo-george-floyd-bertajuk-black-lives-matter-apa-artinya?page=all>. 

2013, George Zimmerman ‘tidak bersalah atas pembunuhan Trayvon Martin, Bbc.com, dilihat 1 September 2020, <https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2013/07/130714_zimmerman_as_vonis>. 

Dewi,Fitri Sartina 2013, Kasus Trayvon Martin Picu Protes dan Demo Besar di AS, dilihat 1 September 2020, Kabar 24, <https://kabar24.bisnis.com/read/20130721/19/152127/kasus-trayvon-martin-picu-protes-dan-demo-besar-di-as>. Firdausi, Fadrik Aziz 2019, Sejarah Kemerdekaan Papua Barat dari Belanda & Gabung NKRI, dilihat 27 Desember 2020, Tirto.id, <https://tirto.id/sejarah-kemerdekaan-papua-barat-dari-belanda-gabung-nkri-egyR>.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *