Ditulis oleh: Satria Tesa Vici Andi
Disunting oleh: Rizka Herdiani
Ilustrasi oleh: Bima Oktavian
Kita tidak bisa menyangkal bahwa kita pernah membayangkan bagaimana rasanya apabila terlahir menjadi seseorang yang menawan dan rupawan. Bahkan, banyak dari kita yang rela mengeluarkan uang dengan jumlah yang tidak sedikit untuk menjalani perawatan agar terlihat “glow up” dan menarik sehingga dapat dikategorikan sebagai orang yang “good looking”. Akan tetapi, mengapa banyak orang melakukan hal tersebut padahal setiap orang memiliki bentuk wajah, warna kulit, dan karakter kulit yang berbeda dengan satu sama lain?
Ternyata, manusia cenderung memiliki kebiasaan menilai orang lain berdasarkan penampilan fisiknya. Dalam stratifikasi sosial pun terdapat pengelompokan berdasarkan “physical attractiveness”, yaitu “good” dan “bad” looking (Gordon et al., 2013). Persepsi ini yang membuat orang menilai bahwa orang yang cantik atau tampan akan memiliki kesempatan yang lebih tinggi dalam mendapatkan perhatian maupun pekerjaan. Sebagai contoh, seorang model Victoria’s Secret, Cameron Russell, pernah berkata bahwa hal yang terpenting dalam pekerjaannya adalah terlihat muda, feminim dan putih. Inilah yang biasa disebut beauty privilege, atau secara ilmiah dikenal sebagai physical attractiveness (Dion et al., 1972) atau attractiveness privilege (Yonce, 2014). Sesuatu dapat dikatakan beauty privilege ketika seseorang yang memiliki kecantikan alami, atau yang meningkatkan kecantikan baik sengaja maupun tidak, membawa dampak positif ke kehidupannya. Dampak positif dari beauty privilege dapat berupa kemudahan dalam diterima dalam pekerjaan karena terlihat lebih kompeten (Busetta et al., 2013); mendapatkan prestasi lebih banyak karena “dianak emaskan” (Talamas et al., 2016); dan lebih dipercaya oleh orang lain (Wilson & Eckel, 2006).
Pembuktian terhadap eksistensi physical attractiveness pernah dilakukan oleh Dion dan Ellen Berscheid, peneliti psikologi dari University of Minnesota, melalui sebuah penelitian dengan memberikan tiga amplop foto lawan jenis kepada 30 pria dan 30 wanita. Setiap amplop tersebut diisi dengan foto berupa foto orang dengan penampilan baik, sedang, dan kurang menarik (Dion et al., 1972). Dalam penelitian tersebut, para peserta diminta untuk memberikan skor mengenai kepribadian dan status sosial orang yang ada dalam masing-masing foto dari rentang 1 hingga 3. Hasilnya, pria dan wanita yang berpenampilan baik mendapatkan skor yang paling tinggi di segala aspek, diikuti dengan pria dan wanita yang berpenampilan biasa yang mendapatkan skor sedang. Terakhir, pria dan wanita dengan penampilan kurang menarik mendapatkan skor paling rendah. Berdasarkan temuan penelitian tersebut, mereka menyimpulkan bahwa orang yang memiliki penampilan menarik cenderung mendapat ekspektasi yang tinggi dalam sikap, status sosial, dan sifat.
Namun, apakah menjadi good looking berarti kehidupan yang dimilikinya akan berjalan lebih baik dan lebih mudah? Pada kenyataannya, menjadi good looking tidak menjanjikan seseorang bahwa permasalahan kehidupannya akan terselesaikan begitu saja. Bahkan, tidak sedikit yang justru memiliki beban tambahan berupa “beauty penalty”: bentuk ekspresi kekecewaan kepada seorang yang good looking setelah mereka gagal memenuhi ekspektasi yang tinggi (Wilson and Eckel, 2006). Ekspresi tersebut dapat berbentuk verbal seperti cemoohan terhadap perilaku yang dianggap kebanyakan orang tidak sesuai dengan penampilannya yang menarik, seperti “cantik-cantik kok gitu” atau “ganteng tapi kok gitu”. Padahal, mereka hanya mengekspresikan dirinya yang sebenarnya. Selain itu, ekspektasi bahwa orang-orang good looking memiliki kompetensi tinggi dan dapat dipercaya, membuat orang-orang memberikan ekspektasi yang terlalu tinggi. Pada akhirnya, banyak dari mereka yang kecewa karena ekspektasi tersebut tidak dapat terpenuhi. Dengan mulai menumpuknya berbagai ekspektasi, tidak sedikit dari mereka yang terkena beauty penalty merasa terbebani sehingga mereka sulit menjadi diri sendiri.
Selain secara verbal, ada pula diskriminasi berdasarkan prasangka buruk atas dasar penampilan, yaitu lookism (Marson & Hessmiller, 2016). Tidak sedikit yang mengalami diskriminasi semacam ini, terutama di tempat kerja. Seseorang yang dianggap good looking dibingkai seolah-olah tidak bisa bekerja menangani hal-hal yang rumit dan bersifat teknis. Dalam kata lain, mereka dianggap “too sexy for the job” (Zhu et al., 2011) atau “too pretty for the job” (Marson & Hessmiller, 2016). Munculnya banyak kasus lookism yang ada di berbagai tempat kerja justru menjadi sorotan media. Beberapa di antaranya adalah pemecatan Melissa Nelson sebagai dental assistant karena salah satu karyawan yang telah menikah menyukainya (Strauss, 2013); kasus Debralee Lorenzana seorang pegawai Citibank yang dikritik atas penampilannya dan akhirnya kehilangan pekerjaan (Dwoskin, 2010); dan masih banyak lagi.
Menganggap seseorang tampan atau cantik pun merupakan penilaian subjektif seseorang. Selain berbeda antar individu, standar kecantikan ataupun ketampanan juga berbeda dari masa ke masa. Di Indonesia, perempuan yang memiliki warna kuning langsat dianggap cantik pada tahun 1970an. Setelah tahun 2000-an standar kecantikan perempuan Indonesia adalah memiliki kulit putih. Fenomena tersebut dikuatkan dengan hasil survei ZAP Beauty Index 2020, sebanyak 82.5 persen menganggap perempuan yang cantik adalah bersih, putih, dan glowing. Namun, akhir-akhir ini muncul figur perempuan berkulit sawo matang yang dianggap menawan oleh sebagian besar laki-laki dan perempuan, seperti Tara Basro, Renatta Moeloek, Marion Jola, Prisia Nasution, Monita Tahalea, dan Titi Rajo Bintang. Pada akhirnya, menjadi good looking tidak melulu harus menyerupai artis Korea atau Hollywood dengan hidung mancung, pipi tirus, dan kulit putih nan mulus.
Masih banyak contoh standar kecantikan ataupun ketampanan yang bila kita sebagai manusia mengikutinya akan sangat melelahkan. Alih-alih hanya menjadi “good looking” berdasarkan standar ketampanan atau kecantikan, alangkah baiknya jika kita fokus dengan membuat kita nyaman dengan tubuh kita sendiri. Dengan menjaga kebersihan dan kerapihan diri baik secara penampilan maupun kepribadian, kita sudah menunjukkan kalau kita adalah seseorang yang sopan dan menarik apabila bertemu dengan orang lain.
Pandangan masyarakat terhadap orang-orang “good looking” akan terus hadir dengan dampak positif maupun negatif. Dengan menyadari hal tersebut, menjadi good looking tidak serta-merta menyelesaikan setengah masalah hidup seseorang atau menjadi faktor penentu bahwa hidup mereka jauh lebih mudah daripada yang lain. Always value the good things that you have and introspect yourself to minimize the bad things that you also have. Pada akhirnya, setiap orang memiliki kelebihannya masing-masing, yang tentu dapat direfleksikan tanpa menilai standar kecantikan dan ketampanan.
Referensi:
Busetta, G., Fiorillo, F., & Visalli, E. (2013). Searching for a job is a beauty contest (No. 49392; MPRA Paper). https://mpra.ub.uni-muenchen.de/id/eprint/49392
Dion, K., Berscheid, E., & Walster, E. (1972). What is beautiful is good. Journal of Personality and Social Psychology, 24(3), 285–290. https://doi.org/https://doi.org/10.1037/h0033731
Dwoskin, E. (2010, June 1). Is This Woman Too Hot To Be A Banker? The Village Voice. https://www.villagevoice.com/2010/06/01/is-this-woman-too-hot-to-be-a-banker/
Fard, S. (2020, Juli 6). The Greatest Privilege We Never Talk About: Beauty. Medium. https://medium.com/@sfard/the-greatest-privilege-we-hardly-talk-about-beauty-7db3f70c1116
Gordon, R. A., Crosnoe, R., & Wang, X. (2013). Physical attractiveness and the accumulation of social and human capital in adolescence and young adulthood: assets and distractions. Monographs of the Society for Research in Child Development, 78(6), 1–137. https://doi.org/https://doi.org/10.1002/mono.12060
Marson, S. M., & Hessmiller, J. M. (2016). The Dark Side of Being Pretty. Journal of Sociology and Social Work, 4(1), 58–67. https://doi.org/10.15640/jssw.v4n1a8
Nasution, A. F. (2020, November 23). Pergeseran Standar Kecantikan Wanita di Indonesia. Urbanasia. https://www.urbanasia.com/pergeseran-standar-kecantikan-wanita-di-indonesia-U21579
Ramadhani, A. D. (2020, Maret 16). Berkulit Sawo Matang , 5 Artis Ini Tetap Cantik dengan Pesonanya. Merdeka.com. https://www.merdeka.com/jateng/berkulit-sawo-matang-ini-5-artis-yang-tetap-cantik-dengan-pesonanya.html?page=6
Russel, C., 2013. Model Cameron Russell: I get what I don’t deserve. CNN. https://edition.cnn.com/2013/02/17/opinion/russell-model-genetic-lottery/index.html
Strauss, E. M. (2013, August 2). Iowa Woman Fired for Being Attractive Looks Back and Move On. AbcNews. https://abcnews.go.com/Business/iowa-woman-fired-attractive-back-moves/story?id=19851803#:~:text=Melissa Nelson%2C 33%2C didn’,a threat to his marriage.
Talamas, S. N., Mavor, K. I., & Perrett, D. I. (2016). Blinded by Beauty: Attractiveness Bias and Accurate Perceptions of Academic Performance. PLos ONE, 11(2). https://doi.org/10.1371/journal.pone.0148284
Wilson, R. K., & Eckel, C. C. (2006). Judging a Book by its Cover: Beauty and Expectations in the Trust Game. Political Research Quarterly, 59(2), 189–202. https://doi.org/https://doi.org/10.1177/106591290605900202
Yonce, K. P. (2014). Attractiveness privilege: the unearned advantages of physical attractiveness [Smith College]. https://scholarworks.smith.edu/theses/745
ZAP. (2020). ZAP Beauty Index 2020. https://zapclinic.com/zapbeautyindex/2020 Zhu, M., Vosgerau, J., & Simonsohn, U. (2011). The Beauty Penalty: Too Sexy For the Job? In M. Meloy & A. Duhachek (Eds.), Advances in Consumer Research Volume 2 (p. 96). Society for Consumer Psychology. https://www.acrwebsite.org/volumes/16114/volumes/v38/NA-38