Ditulis oleh: Annisa Tufah Wulandari
Disunting oleh: Adara Zalikha
Ilustrasi oleh: Bima Oktavian
Semakin hari semakin dewasa, semakin banyak hal yang harus ditanggapi secara lebih serius. Semakin banyak hal yang menjadi pertimbangan dan perbandingan. Saat masih menduduki bangku SD, pemikiran saya hanya sebatas, “Hari ini pulang sekolah mau tidur siang atau main kerumah temen ya?” Sekarang, ketika duduk dibangku SMA, pemikiran yang dahulunya “cetek” ini berubah menjadi pemikiran-pemikiran menyebalkan karena saya kerap membandingkan kesuksesan saya dengan orang lain– “Eh liat deh, dia keren banget bisa menangin kompetisi itu, kapan ya bisa seperti itu?”
Pemikiran tersebut mulai terbentuk seiring beranjak dewasa, pemikiran yang seakan akan mendorong untuk membandingkan diri sendiri dengan tolak ukur kesuksesan dari apa yang orang lain raih. Di kasus yang ekstrim, pandangan ini juga dapat membuat seseorang berpikir bahwa dirinya telah gagal.
Bukankah hal yang normal jika tak bisa menjadi juara kelas? Kalau tidak jadi nomor 1 dalam perlombaan? Kalau menjadi murid yang biasa-biasa saja? Ketika melihat seseorang dengan kesuksesannya, awalnya saya membandingkan diri pribadi yang tak banyak pencapaian dengan mereka yang “berhasil” karena bergelimang prestasi yang mereka raih. Sering kali, melihat kesuksesan orang lain baik di lingkungan sekolah maupun sosial media membuat kita merasa gagal karena tak sehebat orang-orang tersebut.
Padahal kalau kita sedikit saja membuka mata dan melihat lingkungan sekitar, menjadi manusia yang biasa saja adalah hal yang wajar. Ada alasannya mengapa mereka disebut orang-orang hebat, karena sedikitnya populasi mereka dibanding orang-orang biasa lainnya di dunia ini.
Thomas Burton berkata, ”Hanya dengan sedikit kemauan dan kemampuan, orang tersebut dapat meraihnya.” Lantas, bagaimana kalau tak bisa? Ya tak apa, tidak ada yang salah dengan “gagal” jika diri sendiri sadar bahwa kemampuan terbaik telah dikerahkan.
Daripada terjebak dalam rasa iri atas pencapaian orang lain, sebagai sesama manusia, kita dapat melihat kesuksesan orang lain dari sudut pandang yang berbeda–dari sudut pandang yang membuat kita bisa menjadi terbawa bahagia atas pencapaian orang lain. Membandingkan diri dan mencampurinya dengan rasa iri hanya akan mengganggu ketenangan hati dan hubungan kita dengan orang lain, bukan? Itu semua kembali dari bagaimana cara kamu melihat dan menanggapi suatu hal.
Lagi pula kalau kita cermati secara seksama, “sukses”, atau apapun kata yang mendefinisikan pencapaian orang lain itu bersifat sangat subjektif dan berbeda untuk setiap individu! Bukan di medali emas, mempunyai ranking, atau mendapatkan banyak pujian tolak ukurnya. Mungkin bagi seorang anak petani menjadi pekerja kantoran adalah bentuk kesuksesan-nya, bagi yang lainnya itu hal yang biasa. Hal yang sama juga terjadi pada balita sudah bisa berjalan, “Luar biasa! Aku biasanya merangkak, sekarang aku bisa berdiri dengan kedua kakiku!” Mereka merasa bahagia dan puas dengan bisa melakukan hal yang lebih baik dari masa lalunya.
Tolak ukur “kesuksesan” tidak ditentukan oleh apa yang diraih orang lain. Jika kenyataannya begitu, tidak ada manusia yang pernah sukses karena akan selalu ada manusia lain yang memiliki pencapaian diatas mereka. Lantas, definisi dari “sukses” itu subjektif–tergantung apa yang membuat dirimu bahagia. Bahkan, jika seseorang menentukan untuk setidaknya mendapat nilai rapot B disemua mata pelajaran hingga lulus dan keinginan tersebut tercapai, itu adalah salah satu bentuk kesuksesan.
Jadi, tolak ukur sukses itu apa sih? Lantas, tolak ukur sukses seharusnya diukur secara temporal daripada sosial. Artinya, tolak ukurnya adalah jika seseorang itu menjadi lebih baik dibanding dengan masa lalunya. Bukan dari perbandingan pencapaian kamu dengan pencapaian orang lain. Hidup ini bukan lomba, semua orang mempunyai cerita dan tujuan masing masing. Tempat yang kamu sekarang berada, adalah tempat yang seharusnya. Di saat seseorang menerima dengan penuh dirinya dan sadar akan semua kelemahan sampai keterampilan yang ia punya, disitulah dia akan mengalami rasa puas yang tidak bisa dirampas. Kesuksesan seharusnya diukur dengan kebahagian pribadi, bukan dari apa yang kita menangkan dan kata kata pujian orang lain.