Kontrol Diri: Otot Moral

Ditulis oleh: Tio Nugraha
Disunting oleh: Ghafi Reyhan
Ilustrasi oleh: Bima Oktavian

Ada sebuah kutipan pernyataan dan pesan Bung Karno yang pastinya sudah lazim di telinga banyak orang, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia.” Dari sini, kita bisa lihat bahwa Bung Karno menitikberatkan pentingnya peran anak muda dalam kehidupan bernegara, karena kita adalah generasi penerus bangsa. Sayangnya, kutipan Bung Karno ini jadi terkesan naif jika kita melihat jumlah kasus kenakalan remaja di Indonesia yang tidak sedikit. Pada 2019, KPAI menerima 153 pengaduan kekerasan fisik dan psikis di kalangan remaja sementara BNN melaporkan peningkatan penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja sebanyak 24-28 persen (Pikiran Rakyat, 2019; Purnamasari, 2020). Berdasarkan riset, hal ini disebabkan oleh kesulitan yang dialami banyak anak muda atau remaja dalam mengontrol diri yang ditentukan oleh faktor eksternal seperti keluarga dan faktor internal seperti emosi, pengalaman, dan perasaan.

Kontrol diri merujuk pada kemampuan seseorang dalam menahan emosi dan keinginan untuk mencapai tujuan jangka panjang, sehingga memungkinkan mereka untuk mengevaluasi dampak dari perbuatan yang akan mereka lakukan (Psychology Today, n.d.). Kontrol diri berperan penting dalam kehidupan anak muda seiring banyaknya pilihan hidup yang kita hadapi. Contoh yang paling simple adalah ketika kita dihadapkan oleh situasi berlawanan: otak bilang masuk sekolah, namun hasrat teriak “bolos!”  Di sini, kontrol diri berperan untuk mengatur hasrat pribadi agar tidak langsung terlena oleh kesenangan yang didapatkan dari membolos, namun juga turut menimbang dampak negatifnya. Orang yang memiliki kemampuan mengontrol diri yang baik akan terdorong untuk mengikuti pelajaran dan mendapatkan ilmu yang bermanfaat bagi masa depan. 

Kemampuan kontrol diri ditempa oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal seperti keluarga dapat membangun kontrol diri karena keluarga, terutama orang tua, bisa berperan sebagai inner support system anak dan dapat langsung menegur perilaku anak yang dianggap kurang patut, contohnya adalah ketika orang tua menegur anak saat merengek ingin langsung dibelikan mainan dan sebagai alternatif meminta anak untuk menabung uang mingguan mereka dan menggunakannya untuk membeli mainan yang diinginkan. Lebih lanjut, keberadaan anggota keluarga dapat menjadi motivasi bagi kita untuk memenuhi tanggung jawab dan menjauhi perbuatan-perbuatan negatif (Stillman, 2007).  

Faktor eksternal lain adalah lingkungan pendidikan. Didikan para guru dan pengaruh teman sepermainan berperan besar dalam melatih pengendalian diri kita. Para guru yang mengajak kita untuk fokus selama jam pelajaran akan menguatkan kemampuan kita untuk berkomitmen dalam studi dan tugas kita. Sementara itu, teman-teman yang memiliki kontrol diri yang kuat dapat menjadi role model dalam mengembangkan kontrol diri.  

Kemampuan kontrol diri juga bisa dikembangkan oleh faktor-faktor internal seperti usia dan latihan. Seiring bertambahnya usia, kita memiliki lebih banyak pengalaman dalam menahan emosi-emosi negatif seperti kekecewaan dan kebencian yang secara tidak langsung melatih kemampuan kontrol diri kita (Marsela & Supriatna, 2019). Cara melatih kontrol diri lainnya adalah dengan membiasakan diri menyelesaikan kewajiban kita terlebih dahulu sebelum melakukan hal yang kita inginkan, contohnya dengan menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum bermain video game. Hal ini, bila dilakukan terus menerus, akan membiasakan diri kita untuk memenuhi tanggung jawab sebelum menghibur diri. 

Kendati demikian, latihan kontrol diri secara terus menerus tidak akan efektif bila tidak didampingi dengan lingkungan yang mendukung. Pada saat yang sama, lingkungan yang mendukung hanya bisa mengembangkan kontrol diri bila disertai dengan dorongan internal. Sebab itu, pengembangan kontrol diri membutuhkan sinergi antara faktor internal dan eksternal yang dapat dicapai melalui pembenahan sistem pendidikan. 

Pembenahan sistem pendidikan yang dimaksud adalah penekanan pendidikan karakter dalam kurikulum pendidikan. Selain mempelajari materi akademis, peserta didik juga akan mempelajari manfaat serta cara mengembangkan kontrol diri secara mandiri. Tidak sebatas itu, sekolah juga bisa mengadakan audiensi dengan orang tua peserta didik untuk mengkomunikasikan peran orang tua dalam memaksimalkan kontrol diri peserta didik. 

Memaksimalkan kontrol diri di kalangan anak muda sangatlah penting karena kontrol diri yang kuat dapat menjadikan kita sebuah pribadi yang lebih baik dengan mendorong kita untuk memprioritaskan kegiatan yang akan berdampak positif pada pengembangan diri kita. Di samping itu, kontrol diri juga akan membantu kita dalam membuat pilihan dan menimbang dengan seksama dampak positif dan negatif dari pilihan kita. 

Pada jangka panjang, pengembangan kontrol diri sejak dini akan berdampak positif bagi masyarakat karena dapat menurunkan angka kasus kenakalan remaja, seiring anak muda dapat menahan godaan dari perbuatan negatif dan menguatkan rasa tanggung jawab mereka terhadap masyarakat sekitar. Dengan begitu, remaja bisa kembali mengisi peran mereka sebagai generasi penerus bangsa dan menunjang kemajuan bangsa.

References

n.a. (2019, Desember 31). Sepanjang 2019, KPAI Terima 153 Aduan Kekerasan Fisik Terhadap Siswa. Pikiran Rakyat. Diambil dari https://www.pikiran-rakyat.com/

n.a. (n.d.). Self Control. Diambil dari https://www.psychologytoday.com/intl/basics/self-control

Ramadona, M., Supriatna, M. (2019). Kontrol Diri: Definisi dan Faktor. Journal of Innovative Counseling: Theory, Practice & Research, 3(2), 65-69.
Stillman, T. F. (2007). The Psychological Presence of Family Improves Self-Control (Master’s thesis, Florida State University). 

Purnamasari, D. M. (2020, Juni 26). Kementerian PPPA: Naiknya Kasus Narkoba Anak Jadi Alarm bagi Orangtua. Kompas. Diambil dari https://nasional.kompas.com/

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *