Oleh Laras Kinasih & Fanya Tarissa
Sarangeul haetta uriga manna
Jiuji mothal chueogi dwaetda
Sama seperti gue, mungkin kalian sudah cukup familiar dengan bait-bait lagu “Love Scenario” dari salah satu boy group papan atas Korea Selatan, iKON. Entah karena kalian tahu sendiri atau mendengarnya saat penutupan Asian Games ke-18 di Jakarta dua tahun lalu. Tanpa kita sadari, fenomena K-Pop atau Korean Pop sudah semakin terlihat dimana-mana dan nggak asing di telinga kita. Yup, Hallyu atau Korean Wave di Indonesia sudah semakin menguat dan nggak bisa ditolak keberadaannya, bahkan oleh generasi ibu-ibu. Di berbagai salon kecantikan, nggak jarang ditawarkan treatment pengecatan rambut dengan warna-warna yang sedang populer di Korea dengan tujuan meniru gaya para oppa—sebutan untuk kakak laki-laki—dan eonnie—sebutan untuk kakak perempuan—K-Pop. Aksesori kecantikan, tas, pakaian, hingga alas kaki yang dijual dengan embel-embel “a la Korea” pun laku keras. Bahkan, perkara skincare saja kita kerap menyontek tips-tips perawatan kulit dan menggunakan produk dari Korea maupun yang kekorea-koreaan. Selain itu, nggak cuma anak muda yang hobinya binge-watching drama-drama Korea yang sekarang sudah menjamah Netflix—emak-emak pun suka menghabiskan waktu akhir pekannya dengan menonton drama Korea yang sama dengan anak-anaknya. Sekarang, kita juga semakin sering menemui restoran makanan Korea atau kedai kopi yang nuansanya Korea dan memutarkan playlist K-Pop. Jangan salah, yang menggandrunginya, ya, bukan cuma anak-anak muda. Emak-emak dan bapak-bapak juga suka mampir ke sana. Tak heran, lama kelamaan generasi orang tua mulai familiar dengan lagu-lagu macam “Love Scenario”.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh sebuah organisasi riset terhadap fandom K-pop, BLIP, pada tahun 2019, Indonesia berada di posisi ke-2 “negara yang paling jatuh cinta pada K-Pop” dengan berhasil meraih 9,9% dari total viewers video K-Pop di YouTube (Allkpop, 2019). Nggak kaget, kan, kalau teman-teman dan keluarga kita gayanya mulai kekorea-koreaan?
Nggak usah dicari, pasti banyak teman lo yang K-Popers dan pakai avatar atau profile picture berbau K-Pop di akun media sosialnya. Hal tersebut dilakukan, sederhananya, agar orang lain mudah mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari fandom tertentu (Vos, 2019) Nggak jarang, avatarnya tersebut ditemani oleh header yang cocok warna dan nuansanya dengan wajah-wajah rupawan idola mereka.Tapi, sering banget kita temui orang-orang yang beranggapan (atau menuduh) bahwa akun-akun dengan avatar K-Pop ini argumennya nggak valid, alay, atau hidupnya didedikasikan hanya untuk K-Pop. Memang sering banget kita temukan akun-akun beravatar K-Pop di linimasa kita yang nge-spam dengan beraneka tagar, komentar, atau unggahan untuk membuat idola mereka trending di media sosial. Belum lagi mereka yang nge-fans dengan idolanya secara berlebihan sehingga memicu banyak perspektif buruk terhadap K-Pop. Kelakuannya memang suka bikin kepala geleng-geleng, apalagi kalau sedang membela idolanya yang habis kena ejek.
Fanatisme sebagian orang yang beravatar K-Pop tersebut biasanya mudah tercermin dari sikap-sikapnya yang obsesif atau terlalu protektif terhadap idolanya. Beberapa hal obsesif yang pernah dilakukan para die-hard fans K-Pop, atau yang sering disebut sasaeng, antara lain membeli tiket pesawat yang ditumpangi oleh para idolanya hingga berusaha menyusup ke dalam mobil atau tempat-tempat di mana idola mereka berada. Intinya, mereka kerap melakukan macam-macam tindak kriminal hanya untuk mendapatkan perhatian para idolanya (Vos, 2019).
Banyak dari fans K-Pop yang sangat mengagumi idola mereka sampai-sampai, entah gimana, suka mengklaim nggak bisa hidup tanpa idola-idolanya atau bakal panik setengah mati kalau idolanya sakit atau cedera sedikit. Yup, pernyataan-pernyataan seperti itu awalnya muncul dari favoritisme atas idola K-Pop yang karya-karyanya memang adiktif di kuping dan pikiran kita. Lama kelamaan, para fans memandang idolanya superior dan mengagung-agungkannya dari artis-artis atau grup lain—intinya, hanya idola mereka, lah, yang ingin mereka tonton dan dengarkan. Entah gimana pula, para fans K-Pop sering berandai-andai bahwa dirinya berpacaran, atau setidaknya berteman, dengan idolanya—kalau istilah candaannya sekarang, tuh, halu atau hanya berhalusinasi (seharusnya, sih, delusi bukan halusinasi). Nah, skenario-skenario halu tersebut biasanya dituangkan dalam tulisan-tulisan fan fiction atau cerita-cerita fiksi karya para fans yang beredar di aneka platform dan jumlahnya mencapai ribuan sekarang.
Tapi, tenang saja, nggak semua hal tentang mereka yang beravatar K-Pop tuh, buruk atau aneh, kok. Pernah tau nggak solidaritas dari K-popers? Lihat saja waktu idola-idola mereka lagi rilis lagu baru, para K-Popers ini yang menjadikan idolanya trending topic. Atau, ketika ada kasus yang bikin sedih, seperti bullying dan masalah-masalah dengan agensinya. Bahkan, ketika mereka lagi sakit, para fans-nya nya nggak tanggung-tanggung menyemangati mereka di media sosial. Belum lagi kalau idolanya ulang tahun, akumulasi hadiah dari fans bisa, loh, dipakai untuk beli deretan rumah mewah di Pondok Indah. Banyak juga K-popers yang suka kumpul-kumpul dan bikin geng, baik mereka yang multifandom (bergabung dengan lebih dari satu fandom), maupun hanya berada dalam satu fandom. Geng-geng seperti ini sering mengadakan project buat idolanya, terutama pas konser.
Salah satu contohnya datang dari fandom ARMY—para penggemar BTS—yang pernah mengadakan Purple Ribbon Project untuk melindungi dan menyediakan jalan yang aman bagi ketujuh anggota grup tersebut di bandara-bandara destinasi mereka. Caranya, para ARMY datang ke bandara yang akan disinggahi BTS sambil mengenakan atribut berwarna ungu dan membawa pita-pita berwarna sama yang disambung satu sama lain. Selanjutnya, pita-pita tersebut dijadikan semacam pembatas jalan atau barikade buat idola-idola mereka yang mau lewat (Koreaboo, 2018). Sembari menjaga keamanan para idola mereka, para ARMY juga nggak lupa, tuh, untuk menjaga keamanan satu sama lain dengan melarang partisipannya saling mendorong atau berusaha menyentuh idola-idola mereka meskipun para anggota BTS jaraknya hanya sejengkal dari muka mereka. Tujuan dari project itu, selain memastikan keselamatan para idola mereka, juga untuk menunjukkan seberapa solid dan pedulinya ARMY sebagai sebuah komunitas fandom transnasional alias ada di mana-mana—di Las Vegas ada, di Paris ada, bahkan di Malang juga ada.
Buat diri sendiri, jadi Kpopers, tuh, banyak banget untungnya. Dari segi finansial, jadi kolektor merchandise Kpop bisa banget dijadikan sumber investasi karena semakin semakin langka barang-barangnya, akan semakin naik harganya di kemudian hari. Nggak sedikit dari para K-Popers yang menjual barang-barang berukuran relatif kecil yang cukup langka, photocard member grup favoritnya, misalnya, dengan harga fantastis. Coba aja tanya ke teman-teman beravatar Korea kalian, berapa harga merchandise mereka yang paling mahal? Apalagi kalau yang ditandatangani idolanya, duh sampai nggak tega mau nyebut! Tunggu saja beberapa tahun lagi, harganya sudah bisa melebihi sewa kosan kalian perbulan.
Selain itu, nggak susah bikin hati bahagia kalau sudah jadi K-Popers. Menonton penampilan-penampilan live mereka saja udah cukup bikin kita jingkrak-jingkrak di rumah. Apalagi, kalau dapat update kabar dari bias (member grup favorit) dan saat mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan lo di media sosial. Musik-musik hingga penampilan mereka yang ear-and-eye-catchy di setiap comeback memang bikin orang mudah jatuh cinta, atau, paling nggak, lah, susah dilupain—lagu Ddu Du Ddu Du dari Blackpink atau Idol dari BTS, misalnya. Makanya, nggak sedikit artis dalam negeri yang tiba-tiba jadi K-Popers, seperti Luna Maya dan Vanesha Prescilla yang nonton konser BTS sampai ke Korea (IDN Times, 2019).
Akhir kata, jadi K-Popers dan pasang avatar-avatar K-Pop itu nggak ada salahnya, kok. Siapa, sih, yang nggak suka ngeliatin artis yang cakep-cakep dan talented? Tapi, segala sesuatu, tuh, perlu difilter dan dilakukan secara hati-hati. Buat K-Popers, jangan sampai mengidolakan artis-artis K-Pop secara berlebihan hingga mengganggu kehidupan pribadi mereka atau diri kalian sendiri. Buat lo yang belum terjun ke dunia K-Pop, jangan asal membenci juga. Hanya karena lo nggak nyaman dengan budaya K-Pop yang penuh dengan tagar-tagar atau unggahan heboh di media sosial dari satu pasukan fandom ke yang lainnya, bukan berarti lo boleh mendiskreditkan mereka sebagai manusia dan sesama pengguna ruang publik di media digital. Kritisi tindakan mereka jika memang merugikan banyak orang, tapi jangan ejek atau hina mereka karena menggemari seseorang atau sekelompok orang yang sedang berkarya. Siapa tahu bapak, ibu, atau adik kakak kalian di rumah justru menggandrunginya.
REFERENSI
Allkpop. (2019) These Ten Nations Are The Biggest K-Pop Stans Of 2019, Based On YouTube Views [Online]. Available at https://www.allkpop.com/forum/threads/kpop-views-by-nation.329014/ (Accessed: 11 October 2020).
IDN Times. (2019) 10 Artis yang Hadiri Konser BTS “Speak Yourself The Final”, Meriah! [Online]. Available at https://www.idntimes.com/hype/entertainment/danti/10-artis-yang-hadiri-konser-bts-speak-yourself-the-final-meriah/10
Koreaboo. (2018) A.R.M.Y Praised For Protecting BTS At Airports By Creating “Purple Ribbon” Barriers [Online]. Available at https://www.koreaboo.com/stories/army-praised-protecting-bts-airports-creating-purple-ribbon-barriers/ (Accessed: 11 October 2020).
Vos, L. (2019) The K-Pop Fandom on Twitter [Online]. Available at https://www.diggitmagazine.com/articles/k-pop-fandom-twitter (Accessed: 11 October 2020).