Merenungkan Kesalahan di Peti Mati, Efektifkah?

Penulis: Anissa Prada Puteri
Penyunting: Alice Pricillya & Zania R Putri
Ilustrator: Bima Oktavian

Jumlah kasus COVID-19 di Indonesia terus bertambah setiap harinya. Sejak kasus pertama di Indonesia dilaporkan pada 2 Maret 2020 hingga 8 Oktober 2020, kasus yang tercatat telah mencapai angka 320.564 (Hakim and Nugraheny, 2020). Berbagai cara pencegahan telah disampaikan kepada masyarakat umum, dimulai dari mencuci tangan secara berkala, menggunakan masker, sampai menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa banyak masyarakat di luar sana yang masih bersikap acuh tak acuh terhadap peringatan maupun tingginya angka kasus COVID-19 di Indonesia. Hal ini mendorong pemerintah untuk mengeluarkan berbagai kebijakan, seperti peraturan untuk tetap tinggal di rumah atau yang kerap dikenal sebagai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM), pemberlakuan Surat Izin Keluar Masuk (SIKM), dan aplikasi Corona Likelihood Matric (CLM) sebagai salah satu syarat pengajuan SIKM (Bramasta, 2020). Para pelanggar protokol kesehatan dan kebijakan yang telah dikeluarkan akan dijatuhi hukuman oleh pemerintah karena dianggap tidak patuh dan membahayakan kesehatan publik. 

Hukuman yang diberikan beragam, mulai dari larangan untuk melanjutkan perjalanan, membersihkan fasilitas umum selama 1-2 jam, sampai denda sebesar Rp.250.000,00 (CNN Indonesia, 2020). Namun, hukuman di daerah Pasar Rebo, Jakarta Timur, cukup berbeda. Pada Rabu, 2 September 2020, sebuah peristiwa mengherankan terjadi ketika pelanggar PSBB dijatuhi hukuman berbaring di dalam peti mati selama 5 menit sambil mengenakan masker dan rompi oranye bertuliskan ‘Pelanggar PSBB’ untuk “merenungkan” perbuatan mereka (BBC News Indonesia, 2020). Peristiwa ini tersebar di media sosial dan menjadi viral. Lantas, apakah sanksi seperti ini efektif? 

Efek Jera Hanya Berujung Komedi, Bung!

Sebagaimana yang diketahui, hukuman yang efektif harus bersifat mendidik dan meninggalkan efek jera bagi pelaku (Ainy, 2018). Namun, hal tersebut tidak ditemukan dalam hukuman merenung di peti mati. Sebaliknya, hukuman ini justru dipandang sebagai guyonan dan meninggalkan rasa ‘bangga’ dalam diri pelaku karena hukuman yang ia terima justru mengundang perhatian dan atensi orang banyak, baik secara langsung maupun melalui media sosial. 

Dalam wawancara BBC News Indonesia, psikolog sosial dari Universitas YARSI, Sunu Bagaskara, mengatakan, “Apakah benar peti mati yang diusung di jalan adalah hal menakutkan bagi orang? Takut atau tidak itu kan adalah sesuatu yang subjektif.” Lalu, salah satu warga yang dijatuhi hukuman, Abdul Syukur, menyatakan bahwa dia lebih memilih hukuman merenung di peti mati karena hukuman lainnya cukup menyita waktu dan biaya. Hal ini menunjukkan bahwa berbaring di peti mati terbuka bukanlah hal yang menakutkan bagi Abdul, belum lagi ia diberi kebebasan memilih hukuman sesuai dengan waktu dan uang yang ia miliki.

Tak Bikin Jera, Malah Bantu Tularkan Virus!

Peti mati dan rompi oranye yang digunakan secara bergilir oleh pelaku berpotensi untuk menimbulkan kluster baru karena ketidaktahuan apakah pelanggar sebelumnya merupakan Orang Tanpa Gejala (OTG) atau tidak. Ketidaktahuan ini sangatlah berbahaya dan dapat memicu penyebaran Corona secara cepat. Penggunaan rompi dan peti mati—yang berhasil menyita perhatian—menyebabkan orang menjadi penasaran dan berkerumun untuk melihat penyelenggaraan hukuman tersebut. 

Mengundang Kerumunan

Dalam dokumentasi yang tersebar luas di media sosial banyak masyarakat yang penasaran akhirnya memutuskan untuk melihat secara langsung penyelenggaraan hukuman sehingga menimbulkan kerumunan. Masyarakat dan awak media yang datang terlihat berdiri berdekatan seakan-akan tidak pernah ada himbauan untuk menjaga jarak. Maksud hati ingin menjadi orang pertama yang mendokumentasi, namun yang didapat justru petaka karena menghiraukan aturan jaga jarak!

Pemberian hukuman yang meninggalkan efek jera kepada pelaku sangatlah dibutuhkan, bukan hukuman yang dapat dijadikan ajang ‘pamer kesalahan’. Hukuman merenung di peti mati tentunya bukanlah sebuah solusi yang efektif karena tidak menimbulkan efek jera kepada pelanggar melainkan malah membahayakan kesehatan publik karena mengundang kerumunan yang menghiraukan aturan jaga jarak. Solusi lain yang dianggap lebih efektif dalam penanggulangan COVID-19 adalah meningkatkan intensitas hukuman yang telah ada, fokus kembali ke langkah preventif dan edukatif seperti pemberian masker gratis, dan yang paling penting, meningkatkan kewaspadaan masyarakat terhadap COVID-19 dan cara menanggulanginya. Tim medis dan kesehatan menyarankan diberlakukannya hukuman yang lebih bermanfaat seperti menjadi relawan pengurus OTG yang sedang menjalani isolasi, mengurus jenazah, atau mengurus keluarga pasien yang anak-anaknya terlantar karena ditinggal ke rumah sakit (Pramudiarja, 2020). 

Bersusah-susah Dahulu, Bersenang-senang Kemudian!

Kesadaran akan COVID-19 dan kesehatan bersama bukanlah sesuatu yang harus disepelekan, namun sesuatu yang harus diperjuangkan. Untuk menjaga kesehatan bersama, pemerintah seharusnya tidak perlu takut dalam mengambil tindakan tegas nan efektif, dan masyarakat harus belajar mematuhi hukum dan memikirkan sesama. Baik pemerintah maupun masyarakat harus ingat: bersusah-susah dahulu, bersenang-senang kemudian!

Referensi: 

Ainy, L. (2018), Empat Kriteria Hukuman yang Mendidik, Kompasiana [online]. Available from: https://www.kompasiana.com/lathiefaainy/5a94a41c5e13731d8800a816/4-kriteria-hukuman-yang-mendidik [Accessed 13 October 2020]

Bramasta, D.B. (2020),  Sederet Upaya Meredam Pandemi Covid-19 di Indonesia, dari PSBB hingga SIKM, Kompas [online]. Available from: https://www.kompas.com/tren/read/2020/07/23/203200265/sederet-upaya-meredam-pandemi-covid-19-di-indonesia-dari-psbb-hingga-sikm?page=all [Accessed 13 October 2020]

Hakim, R.N. and Nugraheny, D.E. (2020), Update: Bertambah 4.850, Kini Ada 320.564 Kasus Covid-19 di Indonesia, Kompas [online]. Available from: https://nasional.kompas.com/read/2020/10/08/15323401/update-bertambah-4850-kini-ada-320564-kasus-covid-19-di-indonesia [Accessed 13 October 2020]

Peti Jenazah Sebagai Cara Memperingatkan Warga akan Bahaya Covid-19, Psikolog: “Pesannya Sampai ke Masyarakat?” (2020), BBC News Indonesia [online]. Available from: https://www.bbc.com/indonesia/trensosial-54022921 [Accessed 13 October 2020]

Pramudiarja, A.U. (2020), Heboh Hukuman Masuk Peti Mati, Tak Bikin Jera Malah Bisa Tularkan Corona, detikHealth [online]. Available from: https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5160598/heboh-hukuman-masuk-peti-mati-tak-bikin-jera-malah-bisa-tularkan-corona [Accessed 13 October 2020]Rincian Sanksi Denda Warga dan Pengusaha selama PSBB Jakarta (2020), CNN Indonesia [online]. Available from: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200914092029-20-546075/rincian-sanksi-denda-warga-dan-pengusaha-selama-psbb-jakarta [Accessed 13 October 2020]

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *