Ditulis oleh: Fanya Tarissa
Disunting oleh: Zania Putri & Fauzan Abdul
Ilustrasi oleh: Btari Indira
Jawabannya, tentu, secara de jure, dapat dijawab cepat oleh seluruh warga negara Indonesia bahkan siswa/i SD-SMA: “tujuh perwira tinggi dan menengah Angkatan Darat Republik Indonesia serta putri bungsu dari Jenderal Dr. Abdul Harris Nasution, Ade Irma Suryani.”
Tak ada yang bisa memungkiri bahwa peristiwa pembunuhan tokoh-tokoh yang kemudian dianugerahkan gelar Pahlawan Revolusi Indonesia tersebut menjuarai kategori tragedi sejarah paling tragis dan disesalkan dalam memori masyarakat Indonesia. Tidak hanya karena peristiwa satu malam tersebut mampu menggegerkan seantero negeri keesokan harinya, tetapi juga rentetan peristiwa kelam yang menyusulnya.
Puluhan tahun sejak tragedi tersebut berlalu, suara-suara yang dulu tak pernah diperhitungkan oleh penguasa-penguasa negara kini muncul ke permukaan—membawa kisah-kisah tentang Tragedi ’65 versinya masing-masing yang tak selalu sejalan dengan master narrative yang populer pada periode pasca G30S/PKI.
Kalau bicara tentang G30S/PKI, ilustrasi paling dekat dengan memori pelajar Indonesia pasti film “Pengkhianatan G30S/PKI” garapan Sutradara Arifin C. Noer. Masih ingat rasanya, ketika saya masih duduk di bangku SMP, memang hanya film itu yang saya ingat jika menyebut G30S/PKI. Jika ditanya sekarang, saya (dengan cepat) pasti jawab film dokumenter karya Joshua Oppenheimer berjudul Jagal (The Act of Killing) dan Senyap (The Look of Silence)—film-film yang menyabet puluhan nominasi dan penghargaan di dalam negeri dan mancanegara, tetapi masih asing di kuping masyarakat Indonesia. Sedikit bocoran (yang mungkin sudah jadi rahasia publik), hal tersebut dikarenakan banyaknya pemutaran film dan diskusi yang berhubungan (meskipun hanya secuil) dengan Tragedi ’65 atau PKI dibubarkan oleh aparat keamanan atau perangkat masyarakat di lingkungan sekitar. Menurut Oppenheimer, film yang ia garap mengisahkan suatu rezim yang mendorong peristiwa genosida di negerinya untuk diselebrasi dan dilupakan. Tujuannya agar para penyintasnya terus berada dalam ketakutan; para pelakunya tetap bisa hidup bak Firaun yang meskipun hobinya membunuh, hidupnya tetap tentram; serta masyarakatnya yang salah kaprah karena terindoktrinasi (Melvin, 2013).
Kedua dokumenter tentang genosida tahun ‘65 tersebut memberikan gambaran tentang kekerasan politik yang ditunaikan negara dengan cara memonopoli pilihan hidup atau mati masyarakatnya. Hal tersebut dibuktikan oleh pemerintah yang, pasca Tragedi ‘65, senang menyibukkan diri dengan menangkap orang-orang yang dituduh sebagai antek-antek PKI dan onderbouw-nya. Ratusan ribu orang ditangkap paksa untuk ditahan, diinterogasi, dan selanjutnya dilepas atau dieksekusi. Jika sudah dilepas karena tidak ada bukti bersalah, biasanya, yang tidak kembali adalah harga dirinya.
Miris, yang pergi namanya terlupakan; yang sintas justru dikucilkan.
Kita jarang mendengar cerita-cerita dari keluarga korban maupun penyintas kekerasan politik pasca Tragedi ‘65 di media-media populer, apalagi dari buku sejarah. Berhasil membunuh 500.000 orang simpatisan PKI pasca ‘65 justru dicap sebagai kemenangan, seolah-olah angka tersebut bisa secara ajaib berubah jadi uang. Namun, saat ini, cerita-cerita tersebut mulai dituturkan kepada publik dengan cara-cara yang unik, damai, dan apa adanya melalui story telling, pertunjukan seni, puisi, lagu, film dokumenter, hingga tur ke situs-situs historis alternatif.
“Selamatan Anak Cucu Sumilah” adalah salah satunya. Pertunjukan seni interaktif yang diselenggarakan dua tahun lalu di Yogyakarta ini mengisahkan riwayat hidup Maria Goretti Sumilah yang jadi korban “salah tangkap” oleh aparat pada tanggal 19 November 1965. Beliau harus mendekam di penjara tanpa proses peradilan saat berusia 14 tahun dan baru mengetahui enam tahun setelahnya bahwa “Sumilah” yang diburu oleh aparat bukanlah dirinya. “Sumilah” yang sesungguhnya adalah seorang guru SD sekaligus anggota PGRI Non Vaksentral dari Yogyakarta (Muryanto, 2018).
Credit: Jaga-jaga.id
Setelah berpindah-pindah penjara pada awal masa penahanannya, Sumilah akhirnya ditahan permanen di kamp Plantungan—kamp khusus yang menampung sekira 500 tahanan politik (tapol) perempuan golongan B di kaki Gunung Prau, Kabupaten Kendal (Janti, 2017). Bu Milah, bersama para tapol lain, baru dibebaskan pada tahun 1979 setelah kampnya kedatangan Palang Merah Internasional dan beberapa organisasi watchdog di bidang HAM mendesak Presiden Soeharto untuk membebaskan para tahanan Plantungan (Khumairoh & Asmarini, 2018).
Dikira akan bebas bak burung yang baru lepas dari sangkar, hidup Bu Milah tidak serta merta membaik sepulangnya dari kamp. Beliau kesulitan mencari pekerjaan, bergerak bebas, dan mengakhiri stigma masyarakat karena adanya inisial “ET(Eks-Tapol)” di KTP-nya selama bertahun-tahun pasca dibebaskan (Khumairoh & Asmarini, 2018).
Pertunjukan teatrikal tentang hidup Bu Milah ini menceritakan kisah beliau yang sehari-harinya memproses pengolahan daging kambing menjadi sate—sumber mata pencaharian Bu Milah pasca dirinya dibebaskan dari kamp Plantungan sampai akhir hayatnya—hingga paduan suara yang menyanyikan lagu “Cucuku” bersama sang pencipta lagu, Sri Wahyuni (Bu Nik). Pertunjukan malam itu sekaligus menjadi kesempatan rekonsiliasi bagi ibu-ibu penyintas kekerasan politik pasca ’65 yang juga hadir. Kedua anak Bu Milah juga turut meneteskan air mata ketika membagikan cerita tentang mereka yang turut distigmatisasi sebagai “anak PKI” akibat status politik mendiang ibunya (Muryanto, 2018).
Tak hanya pertunjukan teatrikal, kisah-kisah korban tragedi pasca 65’ dari Nusa Tenggara Timur (NTT) juga diliput oleh BBC News Indonesia lewat dokumenter spesial. Diperkirakan oleh peneliti James Fox, korban kekerasan politik yang dieksekusi oleh aparat keamanan Indonesia di NTT berkisar antara 800-1000 orang (Simpson, 2017, dalam Wahyuningroem, 2018). Angka tersebut belum ditambah dengan jumlah penyintas yang mengalami berbagai bentuk penyiksaan fisik dan spiritual, pengucilan sosial, dan pelecehan seksual khususnya terhadap perempuan.
Ketua Sinode Gereja Majelis Injili di Timur (GMIT) sekaligus pendiri Jaringan Perempuan Indonesia Timur (JPIT), Mery Kolimon, merupakan tokoh sorotan yang merangkul jemaahnya yang menjadi korban kekerasan politik ’65 melalui berbagai kegiatan ibadah dan rekonsiliasi (Wijaya, 2019). Salah satu dari korban tersebut adalah Melki Beruni. Oma Melki saat itu berusia 17 tahun ketika dirinya ditangkap oleh aparat keamanan karena dituduh sebagai anggota Gerwani. Selama ditangkap dan diinterogasi, Oma Melki menerima pelecehan dari anggota aparat yang ingin mencari cap Gerwani di seluruh tubuhnya—cap dari suatu organisasi yang tidak pernah diketahuinya seumur hidup. Oma Melki juga dipaksa menyaksikan penguburan massal mayat-mayat yang telah dibunuh secara kejam—tidak sedikit anggota tubuh dari mayat-mayat tak dikenal tersebut benar-benar lepas dari raganya. Tak sampai di situ, beliau kemudian terus dikucilkan dan dihina oleh warga sekitar karena dituduh sebagai bagian dari PKI dan beberapa kali mengalami pelecehan oleh sejumlah lelaki di desanya. Tidak hanya dirinya, ayahnya, pamannya, dan beberapa tetangganya juga ikut ditangkap karena dituduh sebagai simpatisan PKI tanpa pernah diketahui nasibnya atau, jika sudah dieksekusi, di mana kuburnya (Wijaya, 2019).
Credit: BBC Indonesia
Sarlotha Kopi Lede adalah jemaah lain yang juga dituduh sebagai anggota Gerwani. Beliau ditangkap dan ditahan oleh orang-orang yang di perintahkan oleh ABRI serta rambut panjangnya dipotong guna menandainya sebagai perempuan yang mempermalukan negara. Dalam budaya orang Sabu, dari mana Oma Sarlotha berasal, menggunting rambut merupakan hukuman bagi orang-orang berzina yang tertangkap basah sehingga perlakuan tersebut dapat dikatakan melanggar nilai-nilai budaya setempat. Orang yang memotong rambutnya tak lain adalah Petrus Bara Pa, ayah dari pendeta sekaligus Ketua JPIT, Paoina Bara Pa. Beliau terpaksa melakukannya karena perintah dan ancaman tegas dari aparat (Wijaya, 2019).
Frangkina Boboy juga turut distigmatisasi sejak ayahnya ditangkap dan dituduh sebagai anggota PKI. Beliau dan keluarganya tidak diperbolehkan beribadah atau sekadar datang ke gereja karena dituduh “anak PKI” sedangkan anggapan yang beredar saat itu adalah bahwa anggota PKI tak ada yang percaya dengan Tuhan. Ayahnya, yang merupakan anggota Partai Kristen Indonesia (Parkindo), akhirnya dilepas oleh aparat namun berkewajiban lapor setiap minggunya hingga tahun 1972. Tak hanya sampai situ penderitaannya, ia juga tidak diperbolehkan beraktivitas apapun, termasuk bertani. Oma Frangkina kemudian bertanya-tanya, “namanya petani, mau makan apa (kalau tidak boleh kerja)?” (Wijaya, 2019).
Dari kisah-kisah korban tersebut, bisa disimpulkan bahwa Pendeta Mery Kolimon dan Paoina Bara Pa merupakan segelintir figur pemberani dan penuh kasih yang mengungkapkan kebenaran tentang para penyintas Tragedi ’65 di NTT (Wijaya, 2019). Keduanya mendampingi dan menguatkan, tidak hanya para penyintas perempuan, tetapi juga pelaku-pelaku kekerasan, seperti Petrus Bara Pa untuk melalui proses rekonsiliasi dan membina damai dengan dirinya dan satu sama lain. Meski harga diri Oma Melki, Oma Sarlotha, dan Oma Frangkina tak akan pernah kembali akibat tuduhan-tuduhan politik oleh aparat yang asal bunyi, telah mengungkapkan kelapangan hatinya untuk melepaskan dendam dan kebencian masa lalunya terhadap pelaku-pelaku kekerasan langsung maupun tidak langsung terhadap mereka.
Begitupun Bu Milah yang ketika akhirnya berjumpa dengan “Sumilah” yang sesungguhnya ditargetkan aparat justru bersalaman, berpelukan, dan mengatakan, “Itu (penangkapan yang salah) bukan salah Mbakyu, yang salah itu petugas” (Jaga-jaga, 2019). Sebelum wafat, Bu Milah juga sempat mengatakan bahwa dirinya tak mendendam atau membenci pada takdir sebab, “Semua sudah berlalu,” (Khumairoh & Asmarini, 2018).
Pada 23 Juli 2012 lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan bahwa keseluruhan Tragedi ’65 dan tahun-tahun setelahnya tergolong pelanggaran HAM berat yang memakan lebih dari 500.000 korban jiwa (Wijaya, 2019). Banyak orang lupa bahwa 500.000 manusia ini juga memiliki keluarga yang turut merasakan reperkusi berkepanjangan dari dibunuhnya anggota keluarga mereka yang asal-asalan dituduh karena pemerintah sedang “kebakaran jenggot” 55 tahun lalu.
Seharusnya, pemerintah malu sebab masyarakat yang menjadi korban sesungguhnya dari Tragedi ’65 justru mengobati luka-lukanya sendiri dengan mulai bercerita. Ini seharusnya menjadi salah satu hal yang pemerintah sekarang lakukan. Daripada kerap menutup-nutupi histori kelam Indonesia tersebut, kita, segenap bangsa Indonesia dapat mempelajari tragedi tersebut secara utuh. Seharusnya kita belajar dan re-evaluasi sistem hukum prosedural kriminal Indonesia yang seharusnya menjunjung tinggi nilai HAM dan tidak semerta-merta menghukum tanpa peradilan.
Selain itu, yang saat ini dibutuhkan tidak hanya oleh para penyintas Tragedi ’65, tetapi juga eksekutor-eksekutor yang merasakan trauma mendalam akibat terpaksa menjalankan perintah penguasa, adalah rekonsiliasi. Mestinya tak susah bagi pemerintah untuk memahami bahwa rekonsiliasi yang diinginkan sesungguhnya lebih dari sekadar pemulihan hubungan di antara pihak-pihak yang pernah berkonflik atau bermusuhan. Rekonsiliasi juga soal mengembalikan martabat mereka yang pernah difitnah dan tertuduh, menghapuskan dosa turunan yang melekat pada para penyintas dan keluarganya, menciptakan damai di mana label-label musuh hilang di antara seluruh anggota masyarakat, dan, paling tidak sekali saja, mengungkapkan kebenaran yang sudah “dikuliti” dari kepentingan politiknya.
Sebab “500.000 bukan cuma angka. Mereka bernama dan sepenuhnya manusia.”
REFERENSI
- BBC New Indonesia. (2019) Penyintas Tragedi 65: Dituding PKI, ‘ditelanjangi untuk cari cap Gerwani’ [Online]. Available at https://www.youtube.com/watch?v=O1fVszm1jxo (Accessed: 20 September 2020).
- Jaga-jaga (2019) Selamatan Anak Cucu Sumilah (highlight) [Online]. Available at https://www.youtube.com/watch?v=eWu5HRckOZs (Accessed: 20 September 2020).
- Janti, N. (2017) Tujuh Tahanan Politik Perempuan di Kamp Plantungan [Online]. Available at https://historia.id/politik/articles/tujuh-tahanan-politik-perempuan-di-kamp-plantungan-PGjL7 (Accessed: 25 September 2020).
- Khumairoh & Asmarini, O. (2018) Kisah Penyintas ‘65 di Kamp yang Tak Berbekas [Online]. Available at https://www.balairungpress.com/2018/02/kisah-penyintas-65-di-kamp-yang-tak-berbekas/ (Accessed: 26 September 2020).
- Melvin, J. (2013) An interview with Joshua Oppenheimer [Online]. Available at https://www.insideindonesia.org/an-interview-with-joshua-oppenheimer (Accessed: 26 September 2020).
- Muryanto, B. (2018) The voices of the oppressed from a satay stall [Online]. Available at https://www.thejakartapost.com/life/2018/12/18/the-voices-of-the-oppressed-from-a-satay-stall.html (Accessed: 26 September 2020).
- Wahyuningroem, S.L. (2018) ‘“Penyembuhan” untuk Berdamai dengan Masa Lalu: Mery Kolimon dan Upaya Membawa Gereja Bertransformasi’ dalam Ali-Fauzi, I. & Kartika, D.A. (eds) Keluar dari Ekstremisme. Jakarta: PUSAD Paramadina, pp. 177-203.
- Wijaya, C. (2019) Cerita mantan guru dan polisi yang dilibatkan dalam penumpasan PKI di NTT: Menggiring korban ke lubang eksekusi dan tahanan, ‘bapa doakan kami’ [Online]. Available at https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49956478 (Accessed: 26 September 2020).
- Wijaya, C. (2019) Penari asal Kupang yang dituding PKI: Diperkosa, katong diperlakukan seperti anjing, ‘Biar Tuhan yang mengadili’ [Online]. Available at https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49956477?SThisFB&fbclid=IwAR1O401sNbCCYINZoBQbkuVwdrTQQwQqLWG-HDvtlt-pumaXCEJCxJmwDX0 (Accessed: 26 September 2020).
- Wijaya, C. (2019) Pendeta di NTT, putri ‘eksekutor’ orang-orang yang dituding PKI, merangkul jemaah yang menjadi korban [Online]. Available at https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-49969898 (Accessed: 26 September 2020).