Tahun 2020 telah memberikan banyak kejutan kepada kita–pandemi ini tentunya memiliki dampak yang paling besar kepada seluruh masyarakat. Tidak cukup dengan wabah covid, Indonesia baru baru ini kembalikan dihebohkan dengan berita ditangkapnya 37 pasangan anak SMP di hotel.
Oh, bukankah mereka sedang wisata sekolah?
Tidak. 37 pasangan anak seragam biru putih tersebut ditangkap karena melakukan pesta seks.
“Lihat berita ini, harusnya emak gue bangga punya anak kek gue yang cuma diem rebahan daripada maen harus salah pergaulan gini, astaghfirullah” – @indydhsr
“Tau gak dek. Jaman SMP aku bucin sebatas bikinin jadwal pake kertas bentuk love. Gak sampe ngajak making love.” – @dontask2me
Demikian cuitan lelucon sebagai tanggapan berita tersebut. Peristiwa tersebut tentunya mengundang pertanyaan bagi kita. Apakah pesta seks merupakan hal yang normal untuk dilakukan? Bahkan bagi orang yang telah cukup umur sekalipun? Apa motivasi pasangan siswa SMP ini untuk melakukan hubungan seks bersama sama? Apakah mereka tidak mengetahui bahaya seks bebas? Bagaimana peran orang tua sendiri dalam pendidikan hubungan seksual? Bukankah peristiwa ini terjadi karena minimnya pengetahuan anak mengenai hubungan seksual?
Ini masalahnya.
Secara tidak sadar, banyak dari kita mengernyit ketika membaca kata seksual.
Tujuan dari edukasi seks.
Banyak orang berpendapat bahwa edukasi seks akan mendorong keinginan anak anak untuk melakukan hubungan seksual. Nyatanya, tujuan dari edukasi seks untuk membantu masyarakat, khususnya pada remaja, untuk mendapatkan informasi, skill, dan motivasi untuk menentukan keputusan yang sehat dalam berhubungan seksual.
Edukasi seks tidak hanya fokus pada fungsi organ reproduksi, tetapi bahaya hubungan seksual bebas, perubahan fisik serta emosi pada masa puber, dan dikenalkan mengenai nafsu seksual serta cara pengalihannya. Di Indonesia, sekitar 33,3% remaja perempuan dan 34,5 % remaja laki laki pada usia 15-19 tahun mulai berpacaran pada saat usia mereka belum 15 tahun. Banyak orang tua yang memperbolehkan anaknya pacaran tanpa diberitahu etika dan tanggung jawab dalam berpacaran. Dampak pada anak anak yaitu mereka harus mencari tahu sendiri dimana arahan dari dunia luar ini akhirnya akan menyesatkan sehingga berisiko adanya hubungan tidak sehat.
Ingatkah kalian pada pernyataan salah satu anggota KPAI, Sitti Hikmawatty, bahwa perempuan dapat hamil di kolam renang?
Jika kalian tertawa membaca pernyataan tersebut, selamat! Setidaknya kalian mengerti hal dasar dari edukasi seks. Namun, jika kalian justru bingung dan diam diam bertanya apa yang salah dari pernyataan tersebut maka gawat. Kalian perlu edukasi seks.
Sitti Hikmawatty, yang notabenenya adalah anggota KPAI dan seorang ibu yang berumur 50 tahun, salah kaprah pada hal dasar edukasi seks. Lantas, bagaimana anak anak Indonesia?
Seks seharusnya tidak menjadi objek taboo.
Orang tua di Indonesia cenderung menghindari pertanyaan ini ketika anaknya–yang mungkin saat itu masih berumur tujuh tahun–bertanya bagaimana ia bisa lahir. “Anak pungut kamu,” salah satu jawaban para orang tua yang kerap dilontarkan tanpa pikir panjang. Mengapa mereka enggan menjawabnya? Apa karena jawaban tersebut terlalu vulgar untuk anak berumur tujuh tahun? Apakah karena 87% masyarakat Indonesia adalah pemeluk agama Islam?
Orang indonesia selalu menganggap bahwa perbincangan tentang seks ini sebagai hal liberal dan budaya barat yang bisa mengacaukan “paham timur Indonesia”. Tetapi apakah dengan menghindari perbincangan seks dini dapat mencegah kekerasan seksual di Indonesia?
Sedikit sekali sekolah di Indonesia yang telah menerapkan edukasi seks sebagai kurikulum wajib mereka. Anak anak yang memahami dasar edukasi seks setidaknya memiliki lingkungan atau orang tua yang mendukung dan tidak semua anak beruntung untuk mendapatkannya. Pemerintah seharusnya menetapkan edukasi seks sebagai kurikulum wajib–di luar pelajaran biologi yang hanya mengajarkan bab reproduksi–sehingga tujuan edukasi seks dapat menyentuh semua anak di Indonesia, tidak hanya anak yang memiliki privilese.
Kultur Indonesia pada edukasi seks tidak akan dengan cepat berubah, karena kultur dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang, dan diwariskan dari generasi ke generasi. Namun, edukasi seks sebagai kurikulum wajib di setiap sekolah merupakan langkah awal untuk mengurangi angka pelecehan seksual, pernikahan dini, dan hubungan yang tidak sehat.