Kualitas Pendidikan Tak Kunjung Memuaskan, Siapa yang Pantas Disalahkan?

By Lutfi Harjanto

Menteri sudah gonta-ganti, kurikulum sudah berkali-kali direvisi, perdebatan bolak-balik tentang sistem pendidikan pun belum sampai di titik solusi. Bicara tentang masalah pendidikan memang tak akan ada habisnya. Mungkin masyarakat juga sudah bosan mendengar berita tentang rendahnya skor PISA yang diraih oleh negara ini, negara yang mengaku ingin “mencerdaskan kehidupan bangsa” (setidaknya di Undang-Undang Dasar tertera demikian). Siapa yang berhak disalahkan atas rendahnya pencapaian tersebut? Apakah murid yang kurang pandai atau guru yang kurang kompeten? Berbeda dengan pertanyaan populer “duluan telur atau ayam”, pertanyaan seperti ini tidak bisa langsung dijawab dengan hanya sekali-dua kali tebak.

Ada pepatah Jawa yang berbunyi “kacang ora ninggal lanjaran”, yang kurang lebih menggambarkan bahwa anak merupakan cerminan dari orang tua. Itulah mengapa jika seseorang memiliki anak yang nakal, orang tua lah yang seharusnya introspeksi diri. Ungkapan tersebut berlaku juga dalam hubungan antara tenaga pendidik dan murid. Apabila tenaga pendidiknya berkualitas maka murid pun juga akan berkualitas. Namun, apakah guru-guru di negeri ini sudah memenuhi kualitas standar yang cukup? Tingkat kualitas tenaga pendidik secara nasional sebenarnya dapat diukur secara kuantitatif oleh beberapa indikator berikut, yaitu rata-rata nilai uji kompetensi guru, persentase tenaga pendidik yang memenuhi syarat kualifikasi akademik, dan persentase tenaga pendidik yang sudah tersertifikasi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa tenaga pendidik Indonesia masih jauh dari standar kualitas yang cukup jika diukur melalui tiga indikator tersebut.

Kira-kira, apa yang salah dari tenaga pendidik kita? Padahal, perguruan tinggi keguruan sudah tersebar di berbagai daerah; jurusan pendidikan sudah dibuka dimana-mana dengan program yang bervariasi; sarjana pendidikan pun sudah teramat banyak hingga melimpah ruah. Kemana perginya sarjana pendidikan yang berkualitas? Mengapa rasanya menjadi sarjana pendidikan di masa sekarang tidak sebegitu istimewa seperti dulu?

Kualifikasi Tenaga Pendidik

Melimpahnya segala potensi sarana penggerak roda pendidikan yang antara lain adalah perguruan tinggi, jurusan, dan sarjana pendidikan nampaknya masih belum bisa mendongkrak rata-rata nilai uji kompetensi guru (UKG) nasional. Bayangkan saja, dari skala 1 sampai 100, nilai rata-rata terbaik yang bisa diraih adalah 69. Terlebih lagi, nilai setinggi (atau serendah) itu pun tentunya hanya bisa dicapai oleh wilayah-wilayah yang “superior” saja, seperti Pulau Jawa. Wilayah “inferior” seperti Indonesia bagian Timur dan wilayah-wilayah terpencil di seluruh Indonesia bahkan memiliki pencapaian nilai terendah yang berkisar di angka 33. Selain menunjukkan nilai yang mengecewakan, data ini juga memperlihatkan dengan jelas bahwa jurang kesenjangan pendidikan antardaerah itu nyata—dan cukup lebar.

Masalah ini diperburuk dengan data lain yang mengungkapkan bahwa lebih dari 50 persen tenaga pendidik ternyata belum tersertifikasi pada tahun 2019. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga pendidik yang belum memenuhi standar kualifikasi profesional sangatlah banyak. Padahal, profesionalisme guru merupakan syarat mutlak untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas.

Tidak cukup sampai situ, meskipun persentase guru dengan gelar sarjana terlihat baik dengan angka di atas 80 persen, ternyata masih banyak guru yang berprofesi dengan bermodalkan “sarjana palsu”. Budaya nepotisme yang sudah terlalu mengakar di segala aspek dan kelompok sosial menyebabkan banyaknya praktik nakal yang dilakukan oleh oknum tertentu untuk mengangkat seorang guru dengan cara yang tidak sesuai dengan prosedur resmi.

Peran Sarjana Pendidikan

Lalu, mari kembali ke pertanyaan yang sesungguhnya, kemana perginya sarjana pendidikan di negeri ini? Apa yang menghambat mereka untuk memperbaiki bobroknya dunia pendidikan?

Tidak bisa dipungkiri bahwa jurusan pendidikan sudah tidak lagi menjadi sebuah tren. Semua orang sekarang berlomba-lomba mengejar gelar kedokteran, teknik, dan hukum di universitas terbaik dan terpopuler. Arah pendidikan dewasa ini seperti menjadi komoditas atau barang dagangan saja: pendidikan difokuskan pada perolehan hasil tanpa memperhatikan proses, membentuk peserta didik menjadi insan-insan yang berorientasi pada nilai dan uang. 

Meskipun jurusan pendidikan juga dapat dilihat memiliki orientasi pada nilai dan uang, tetapi apakah perguruan tinggi keguruan mempunyai demand yang sama? Pada kenyataannya, jurusan pendidikan banyak dipilih hanya sebagai jurusan “cadangan”, bukan sebagai tujuan utama. Bahkan, secara peringkat, tidak ada satu pun perguruan tinggi keguruan yang masuk ke daftar universitas terbaik atau terfavorit di Indonesia, yang berarti keketatan persaingan di perguruan tinggi keguruan cukup rendah sehingga akhirnya memicu dampak buruk terhadap kualitas sarjananya.

Perubahan zaman memainkan peran penting dalam terjadinya hal tersebut. Dahulu, ada masanya ketika menjadi sarjana pendidikan dipandang “istimewa” karena dianggap sebagai suatu jalan pintas untuk menjadi PNS. Namun, kini, ketika bidang pekerjaan sudah semakin meluas dan industri semakin berkembang, sarjana pendidikan malah terjebak dalam keterbatasan untuk memilih pekerjaan. Kurangnya fleksibilitas dalam perkuliahan kependidikan di Indonesia menyebabkan kalahnya kemampuan lulusan dari jurusan ini untuk menjawab tantangan revolusi industri, apalagi jika dibandingkan dengan lulusan dari jurusan non-pendidikan. 

Selain itu, PNS juga bukanlah merupakan profesi yang paling diimpikan oleh generasi sekarang. Berkembangnya zaman membuka mata masyarakat bahwa tidak perlu menjadi PNS untuk mendapatkan hidup yang sejahtera. Prinsip “kebebasan” yang populer di generasi sekarang juga menjadi salah satu alasan mengapa bekerja sebagai pegawai pemerintah di bawah birokrasi yang rumit dan image pekerjaan yang terkesan kolot adalah hal yang sangat membosankan.

Sudah kalah dalam persaingan lintas-pekerjaan, lulusan sarjana pendidikan juga harus bersaing bersama dengan lulusan dari berbagai bidang untuk menjadi seorang guru. Akibat dari diberlakukannya UU Guru dan Dosen No. 14 tahun 2005, sarjana pendidikan sudah tidak bisa lagi memonopoli profesi ini karena syarat menjadi guru tidaklah harus menempuh kuliah kependidikan. Lulusan sarjana dengan bidang yang linier dengan bidang ajaran, dapat melamar menjadi guru. Dengan syarat, semua calon guru diharuskan mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama satu sampai dua tahun. PPG pun wajib diikuti tidak hanya oleh calon guru lulusan sarjana non-kependidikan saja, tetapi juga wajib diikuti oleh calon guru lulusan sarjana pendidikan. Hal ini berarti bahwa orang yang memanggul gelar S.Pd. sebenarnya sudah tidak memiliki privilese yang sama seperti dulu.

Privilese lulusan sarjana pendidikan semakin pudar ketika pemerintah memutuskan untuk menghapus Akta IV pada tahun 2013. Sebelumnya, Akta IV ini merupakan sertifikat yang khusus dimiliki oleh lulusan dari perguruan tinggi keguruan. Sertifikat ini ibarat “golden ticket” untuk bisa langsung mengajar. Dengan demikian, lulusan sarjana pendidikan menjadi tidak memiliki kelebihan apa-apa lagi dibandingkan dengan lulusan dari bidang lainnya.

Nasib Tenaga Pengajar

Entah kalah persaingan untuk mengajar di sekolah swasta atau karena ingin mencari “kehidupan yang pasti-pasti saja”, lulusan sarjana pendidikan memang lebih banyak yang memutuskan untuk menjadi PNS dan mengajar di sekolah negeri. Tenaga pengajar yang sudah berstatus PNS ini kemudian seakan-akan menjadi berada di zona nyaman. Sebagai PNS, gaji tentu sudah mencukupi, kehidupan pun sudah mumpuni. Ditambah lagi dengan tidak adanya tekanan yang besar dari pemerintah kepada tenaga pengajar di sekolah negeri untuk membentuk sistem pengajaran yang kreatif dan tidak konvensional. Motivasi tenaga pengajar untuk berkembang lalu hilang, pendidikan dirasa tidak lagi perlu diperjuangkan. Kualitas guru saja tidak dijaga, bagaimana dengan kualitas siswanya?

Tentu saja, kita belum bicara tentang tenaga pengajar di luar sana yang jangankan mendapat upah yang layak, diangkat menjadi PNS saja amatlah susah padahal sudah mengabdi selama berpuluh-puluh tahun. Tenaga pengajar yang termarginalkan seperti ini tentu akan sulit untuk disuruh benar-benar memikirkan nasib siswanya dengan membuat sistem mengajar yang kreatif – memikirkan nasib keluarganya saja sudah mumet.

Di sinilah saatnya menguji seberapa jauh peran pemerintah. Di awal tahun, bahkan, kebijakan baru pemerintah pusat mengenai Undang-Undang tentang Aparat Sipil Negara sudah didemo oleh masyarakat. Sejumlah guru honorer, guru yang tidak mempunyai jabatan tetap, merasa dirugikan dengan undang-undang tersebut karena diberlakukannya persyaratan baru tentang seleksi CPNS yang tidak masuk akal. Kebijakan ini tidak memberi kesempatan kepada tenaga pengajar honorer berusia di atas 35 tahun untuk menjadi pegawai pemerintah—apalagi pengalaman kerja yang disyaratkan minimal 10 tahun—sementara masih banyak tenaga pengajar yang usianya melebihi persyaratan tersebut. Hasilnya, akan banyak tenaga pengajar honorer yang tidak bisa mengikuti seleksi CPNS. Menyusul istilah “mahasiswa abadi”, istilah “guru honorer abadi” bisa jadi akan muncul gara-gara kebijakan ini.

Hal itu pun baru satu contoh dari berbagai permasalahan pemerintah dalam menjamin kesejahteraan guru. Masih ada perkara upah minimum regional, hak-hak guru, dan perkara-perkara lainnya yang terlalu banyak untuk disebutkan. 

Lalu, kembali lagi ke pertanyaan yang dari tadi diulang. Siapa pihak yang bisa disalahkan dalam persoalan ini? Entahlah. Yang pasti, kolaborasi antara buruknya pemangku kepentingan untuk memberikan solusi dan minimnya monitoring kualifikasi terhadap calon tenaga pendidik memainkan peran yang besar dalam menciptakan produk sistem pendidikan yang cacat produksi. Lagi pula, kesalahan yang dilakukan secara kolektif dan sudah terlanjur menjadi persoalan yang sangat pelik ini hanya bisa diperbaiki melalui apa lagi selain regulasi – tidak cukup dengan hanya ganti menteri. 

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *