Berasal dari kalimat “all coppers are bastards”, istilah ini pertama kali muncul di Inggris pada sekitar abad ke-19.
Pada masa itu, para buruh memprotes aparat kepolisian yang kerap menyalahgunakan kekuasaan dengan mengedepankan kekerasan dibandingkan menjalankan tugas untuk mengamankan masyarakat sipil.
Polisi pada saat itu (bahkan hingga sekarang) juga dinilai lebih berpihak dalam melindungi kaum elit dan cenderung merepresi kaum pekerja dan kaum marjinal.
Istilah ini kemudian menyebar di Eropa dan negara-negara yang menjadi wilayah jajahannya, lalu kemudian menjadi semakin populer karena dimanifestasikan dalam lirik lagu-lagu punk dan coretan-coretan di jalanan.
ACAB as An International Language
Coretan-coretan bertuliskan ACAB, akronim untuk All Cops Are Bastards, dapat dengan mudah ditemui di berbagai negara di dunia, mulai dari aksi demonstrasi Black Lives Matter di Amerika sampai aksi kerusuhan suporter Persija di GBK.
Solidaritas ini berakar dari masalah yang sama, yaitu ketidakpercayaan publik terhadap polisi.
Hal ini menunjukkan masyarakat internasional setuju bahwa polisi adalah institusi yang bermasalah.
Problem of Trust
Hilangnya kepercayaan publik terhadap polisi disebabkan oleh stigma yang terlanjur mencederai wajah baik institusi.
Salah satunya adalah kasus penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).
Polisi seringkali dengan mudahnya menggunakan cara-cara kekerasan yang berlebihan untuk menekan aksi demonstrasi, apalagi melakukan tindakan persekusi terhadap orang-orang yang belum terbukti bersalah. Belum lagi banyaknya kasus-kasus salah tembak dan salah tangkap, seperti yang terjadi pada Sarpan (57), seorang kuli bangunan yang ditangkap, disiksa, dan dipaksa mengakui tindakan pembunuhan yang tidak dilakukannya oleh aparat polisi di Deli, Sumatera Utara, pada 3 Juli 2020
Bahkan, polisi kerap melakukan pelanggaran terhadap hak-hak yang seharusnya diberikan baik kepada saksi maupun terdakwa, misalnya menghalang-halangi proses hukum yang seharusnya sesuai dengan prosedur.
Kasus korupsi dan kasus suap yang ternyata juga marak di kalangan polisi pun terus menjadi perbincangan publik domestik di berbagai negara.
Amnesty International melaporkan bahwa polisi kerap melakukan tindak kekerasan yang berlandaskan diskriminasi terhadap ras, agama, gender, kelas sosial, dan orientasi seksual tertentu. Hal ini semakin menguatkan ketidakpercayaan publik terhadap fungsi polisi sebagai pencipta perlindungan yang malah cenderung pilih-pilih dalam melindungi masyarakatnya.
Peran polisi yang seharusnya menjadi “teman” yang mengayomi masyarakat sipil justru malah berubah arah menjadi “musuh” bagi publik.
Bukannya merasa dilindungi, masyarakat sipil seakan-akan harus melindungi diri mereka sendiri dari kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh polisi.
Police Brutality Around the World
The Small Arms Survey mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2012 hingga 2017, terdapat 19.000 orang korban jiwa akibat “penegakan hukum” yang dilakukan oleh polisi setiap tahunnya.
Pada tahun 2019, polisi di Brazil setidaknya sudah menewaskan 1.810 orang, sementara di Kenya 221 orang.
Sepanjang Oktober 2019 hingga Januari 2020, sebanyak 600 orang pengunjuk rasa di Iraq tewas akibat polisi.
Di Jamaika, terdapat 500 orang yang mengalami kasus penembakan oleh polisi selama tahun 2015 sampai 2018
Sementara itu polisi di Amerika Serikat setidaknya menewaskan sekitar 1000 orang setiap tahunnya
Police Brutality in Indonesia
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melaporkan bahwa sepanjang Juli 2019 sampai Juni 2020 terdapat 921 kasus kekerasan menjerat aparat kepolisian. Dari peristiwa itu, 1.627 orang luka-luka dan 304 orang tewas.
Dugaan pembungkaman kebebasan sipil juga turut dilaporkan. Terdapat 281 peristiwa dengan 669 korban luka-luka, 3 orang tewas, serta ribuan orang ditangkap saat hendak menyuarakan pendapatnya ke publik.
Laporan ini menjadi bukti bahwa “tuduhan” publik terhadap polisi sebagai institusi yang bermasalah juga berlaku di Indonesia.
Praktik penggunaan istilah ACAB menjadi relevan di Indonesia dan sering hadir dalam aksi demonstrasi dalam negeri, misalnya pada aksi May Day di Bandung tahun lalu.
There is no such thing as “good cop”
Penggunaan istilah ACAB pada dasarnya merupakan bentuk perlawanan terhadap polisi sebagai institusi dan sebagai suatu sistem, bukan sebagai individu.
Istilah “polisi baik” dianggap sebagai omong kosong karena publik menganggap bahwa polisi yang benar-benar baik pasti lebih memilih untuk meninggalkan pekerjaannya daripada tetap mengabdi kepada institusi yang bermasalah.
Publik menggambarkan hal ini seperti hubungan antara pohon yang sudah membusuk dan beberapa buah dari pohon tersebut yang berkualitas buruk. Masalahnya bukan terletak pada buahnya, tetapi pohonnya.