Miskonsepsi “New Normal”: Salah Pemerintah atau Masyarakat?

By Jasmine Rahmanizahra

“Siapa yang tidak mampu bertahan maka dialah yang akan punah”. Seleksi alam dalam teori evolusi Darwin nampaknya mewakili situasi saat ini. Situasi yang mengharuskan manusia untuk dapat bertahan hidup disaat pandemi melanda. Menjaga stabilitas ekonomi menjadi tantangan yang utama bagi para pekerja. New normal yang digagas oleh pemerintah agar Indonesia tidak mengalami krisis ekonomi berkepanjangan ternyata malah membuat lonjakan kasus covid-19 di Indonesia justru semakin tinggi.

Miskonsepsi ‘new normal’

Pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh pemerintah membuat banyak hal yang sebelumnya dilarang kembali diperbolehkan, seperti dibukanya destinasi wisata, tempat kerja, maupun tempat ibadah. Hal ini diikuti oleh pemberlakuan “new normal” yang mulai diterapkan pada awal Juni lalu untuk dapat menjaga keseimbangan ekonomi masyarakat.

Lonjakan kasus positif di Indonesia per tanggal 13 Juli lalu mencapai angka 1.282 orang per hari. Bahkan, hingga per tanggal 15 Juli 2020 ini, kasus positif tembus hingga angka 80.000 jiwa. Tendensi angka penambahan kasus harian di atas 1.000 ini pun muncul sejak pemerintah menerapkan “new normal”.

Menurut  penelitian Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada pada media sosial, khususnya Twitter, tidak sedikit warga di Indonesia yang masih bingung dengan definisi “new normal”. Selain itu, banyak warga Indonesia yang masih tertuju pada kata “normal” dan melakukan kegiatan yang sama seperti sebelum adanya pandemi dibandingkan dengan kata “new” yang lebih mengacu pada adaptasi kehidupan yang baru, seolah-olah bukan “new normal” yang diterapkan melainkan “back to normal”. Inilah salah satu faktor mengapa masih banyak warga Indonesia yang “nongkrong” di kafe beramai-ramai tanpa melaksanakan protokol kesehatan.

Krisis Komunikasi Pemerintah

Faktor lain yang menyebabkan mengapa warga Indonesia mengalami miskonsepsi terhadap definisi ‘new normal’ ini adalah karena penyampaian pesan yang dilakukan oleh pemerintah masih kurang. Hal ini tentu berdampak pada kepercayaan publik yang kian menurun kepada pemerintah seperti saat diumumkannya kasus pertama dan kedua covid-19 di Indonesia.

Menurut pakar komunikasi massa Universitas Gadjah Mada (UGM), Gilang Desti Prahita, prinsip komunikasi adalah pihak lain dapat memahami pesan yang disampaikan. Namun, pada kenyataannya pemerintah masih gagal dalam menyampaikan definisi “new normal” sendiri. Hal itu ditunjukkan dengan fakta dengan adanya miskonsepsi mengenai definisi “new normal” itu sendiri. Selain itu, Sense of crisis pemerintah yang cenderung lemah pun ditiru oleh sebagian masyarakat dan menyebabkan masyarakat menganggap ‘enteng’ pandemi saat ini.

Sense of crisis yang lemah ini terlihat ketika beberapa menteri masih tidak kompeten dalam bekerja, seperti ketika menteri kesehatan, Terawan Agus Putranto, di awal pandemi tampak masih berada dalam denial akan keberadaan covid-19 sehingga kasus positif di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan. Kemudian, Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim juga dinilai kurang menguasai pemetaan masalah mengenai pembelajaran dalam jaringan (daring), di mana masih terdapat daerah di Indonesia yang belum memiliki jaringan internet. Hal ini membuat Jokowi mengumumkan akan melakukan reshuffle kabinet yang menurutnya memiliki kinerja yang lamban dalam menangani permasalahan krisis covid-19. Hal ini dapat membentuk anggapan pada masyarakat bahwa para pemimpin yang harusnya dapat diandalkan di masa krisis saat ini tidak menunjukkan keprihatinan terhadap nasib bangsanya.

Selain itu, tidak sedikit juga masyarakat yang masih kesulitan untuk mengakses berita. Selain diadakannya penyuluhan ke desa-desa terpencil agar masyarakat teredukasi mengenai “new normal”, seharusnya “new normal” juga dapat dikampanyekan seperti saat kampanye pemilihan umum di mana banner atau poster dipasang di setiap sudut kota.

Salah persepsi publik

Istilah ke-Inggrisan yang digunakan pemerintah juga berpengaruh pada persepsi publik. Istilah-istilah yang digunakan pemerintah saat ini, seperti social distancing, local transmission, atau herd immunity yang membuat sebagian orang salah memahami konsepnya. Padahal, komunikasi pemerintahan ini dapat berjalan dengan baik dan efektif apabila penggunaan istilah yang sesuai dengan target audience-nya. Belum lagi saat ini istilah ODP (Orang dalam Pemantauan), PDP (Pasien dalam Pengawasan), dan OTG (Orang Tanpa Gejala) yang juga terlambat diganti dapat menimbulkan potensi adanya ketidakjelasan pada pesan dan edukasi yang disampaikan oleh pemerintah.

Salah persepsi ini jugalah yang menyebabkan masih terdapat masyarakat yang “ngeyel” untuk tetap keluar rumah tanpa menerapkan protokol kesehatan. Menurut hasil survei yang dilakukan oleh laporcovid-19.org bersama Social Resilience Lab Nanyang Technological University, Singapura, persepsi risiko penularan covid-19 di Surabaya masih rendah.

Lagi-lagi, ada tren tingkat persepsi yang berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat, dengan rata-rata responden yang berprofesi sebagai pekerja harian, pekerja swasta, maupun yang tidak memiliki profesi mengatakan bahwa faktor ekonomi lebih penting dibandingkan kesehatan. Hal ini tentunya dapat mempengaruhi perilaku mereka dalam menghadapi “new normal”.

Pada kenyataanya, memang saat ini “new normal” belum bisa dilaksanakan sesuai dengan apa yang diharapkan akibat miskonsepsi yang justru membuat kondisi covid-19 di Indonesia semakin mengkhawatirkan.

Referensi:

Adelayanti, By: Natasa. “New Normal Protocol Is Not Yet Comprehensive.” Universitas Gadjah Mada, 16 June 2020, ugm.ac.id/en/news/19567-new-normal-protocol-is-not-yet-comprehensive.

Tambunan, Liza. “Covid-19 Di Surabaya Masuk Kategori ‘Zona Hitam’, Perilaku Warga ‘Seperti Tidak Ada PSBB’.” BBC News Indonesia, BBC, 4 June 2020, www.bbc.com/indonesia/indonesia-52905012.

Tim. “Risiko Corona Dianggap Rendah,Orang Tetap Bandel Keluar Rumah.” CNN Indonesia, 24 Mar. 2020,

www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20200323070716-284-485888/risiko-corona-dianggap-rendahorang-tetap-bandel-keluar-rumah.

Agriesta, Dheri. “Survei: Mayoritas Warga Surabaya Cenderung Anggap Enteng Risiko Terkena Covid-19 Halaman All.” KOMPAS.com, Kompas.com, 16 July 2020, regional.kompas.com/read/2020/07/16/16443351/survei-mayoritas-warga-surabaya-cenderung-anggap-enteng-risiko-terkena-covid?page=all.

Wedhaswary, Inggried Dwi. “Jokowi Marah, Peringatan Keras Untuk Para Menteri, Dan Pesan Di Balik Kejengkelannya… Halaman All.” KOMPAS.com, Kompas.com, 29 June 2020, www.kompas.com/tren/read/2020/06/29/135551265/jokowi-marah-peringatan-keras-untuk-para-menteri-dan-pesan-di-balik?page=all.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *