1. MENGATUR SECARA JELAS UNSUR-UNSUR KEKERASAN SEKSUAL YANG TIDAK DIATUR DALAM KUHP.
Hukum Indonesia menganut asas legalitas. Menurut Pasal 1 Ayat 1 KUHP, suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
Sampai sekarang, masih banyak kasus yang tidak diproses karena, secara garis besar, bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam KUHP hanyalah pencabulan dan perkosaan. Padahal, ada banyak bentuk-bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh masyarakat Indonesia setiap harinya.
Maka dari itu, RUU PKS diajukan untuk memberi kepastian hukum kepada korban dari sembilan jenis kekerasan seksual: (1) pelecehan seksual; (2) eksploitasi seksual; (3) pemaksaan kontrasepsi; (4) pemaksaan aborsi; (5) perkosaan; (6) pemaksaan perkawinan; (7) pemaksaan pelacuran; (8) perbudakan seksual; (9) dan penyiksaan seksual.
PERBEDAAN RUU PKS DENGAN KUHP
ASPEK | RUU PKS | KUHP |
Pemidanaan terhadap korporasi | Jika kekerasan seksual dilakukan oleh korporasi, maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. | Tidak ada |
PIDANA POKOK: Ancaman Penjara | Perkosaan: Hukuman terhadap pelaku minimal 3 tahun penjara | Tidak ada hukuman minimal terhadap pelaku |
PIDANA POKOK: Rehabilitasi khusus kepada pelaku | Jika terpidana anak yang berusia di bawah 14 tahun atau melakukan perkara pelecehan seksual. Rehabilitasi khusus bertujuan untuk mengubah pola pikir, cara pandang, dan perilaku seksual terpidana; dan mencegah keberulangan kekerasan seksual oleh terpidana | Tidak ada |
PIDANA TAMBAHAN: Restitusi | Restitusi (Ganti rugi) yang diajukan olehkorban atau keluarga korban melalui Penuntut Umum kepada pengadilan, diputuskan sebagai pidana tambahan yang dijatuhkankepada terpidana | Tidak ada |
PIDANA TAMBAHAN: Perampasan Keuntungan Yang Diperoleh dari Tindak Pidana | Ancaman pidana tambahan atas tindak pidana pemaksaan pelacuran | Tidak ada |
PIDANA TAMBAHAN: Kerja Sosial | Penyelenggaraan pidana tambahan kerja sosial mempertimbangkan:- tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan pelaku;- kondisi psikologis pelaku; dan- identifikasi tingkat resiko yang membahayakan | Tidak ada |
PIDANA TAMBAHAN: Pembinaan Khusus | Pidana tambahan pembinaan khusus meliputi hal-hal yang berkaitan dengan: a. perawatan di bawah psikolog dan/atau psikiater; b. peningkatan kesadaran hukum; c. pendidikan intelektual; d. pengubahan sikap dan perilaku; e. perawatan kesehatan jasmani dan rohani; dan f. reintegrasi perilaku tanpa kekerasan seksual. | Tidak ada |
PIDANA TAMBAHAN: Pencabutan Hak Asuh | Sebagai pidana tambahan terhadap pelaku kekerasan seksual yang merupakan orang tua atau keluarga korban. | Tidak ada |
PIDANA TAMBAHAN: Pencabutan Hak Menjalankan Pekerjaan Tertentu | Diaplikasikan terhadap pelaku yang merupakan: a. atasan, pemberi kerja atau majikan; atau b. seseorang yang berperan, bertugas atau bertanggung jawab memelihara, mengawasi, membina yang terjadi di lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, lembaga sosial, tempat penitipan anak, atau tempat-tempat lain dimana anak berada dan seharusnya terlindungi keamanannya | Tidak ada |
PIDANA TAMBAHAN: Pencabutan Jabatan atau Profesi | Diaplikasikan jika pelaku merupakan penegak hukum atau pejabat | Tidak ada |
PIDANA TAMBAHAN: Pengumuman Keputusan Hakim | Berfungsi sebagai pemberatan, antara lainjika kekerasan seksual dilakukan dalam kondisi khusus seperti bencana alam, perang, konflik senjata, konflik sosial, atau situasi darurat lainnya. | Tidak ada |
2. ANGKA KEKERASAN SEKSUAL DI INDONESIA SUDAH SANGAT TINGGI
Menurut data dari Komnas Perempuan, jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2017 berjumlah 335.062 kasus. Jumlah tersebut naik drastis dari tahun sebelumnya yang berjumlah 259.150 kasus.
Sedangkan menurut Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherwati, dari sekian banyaknya kasus kekerasan seksual, yang dilaporkan hanya 10 persen, yang masuk ke persidangan hanya 5 persen, dan yang divonis dengan hukuman hanya sekitar 2-3 persen.
3. KEPASTIAN HAK UNTUK PENYINTAS KEKERASAN SEKSUAL
a. Hak atas Penanganan
Menurut pasal 24 ayat (1), (2), dan (3), korban memiliki hak-hak atas informasi, mendapatkan dokumen penanganan, pendampingan dan bantuan hukum, penguatan psikologis, pelayanan kesehatan (pemeriksaan, tindakan dan perawatan medis) serta hak mendapatkan layanan dan fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan khusus korban.
b. Hak atas Perlindungan
- Pasal 24 poin (a)-(g): Korban berhak mendapatkan perlindungan dalam berbagai ruang lingkup. Hak-hak perlindungan korban meliputi penyediaan akses informasi penyediaan perlindungan, perlindungan dari ancaman kekerasan dan berulangnya kekerasan, perlindungan terhadap kerahasiaan identitas, dan perlindungan korban dari sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang seringkali merendahkan dan menguatkan stigma terhadap korban.
- Pasal 25: Dalam keadaan tertentu (e.g. mendapatkan ancaman, tersangka melanggar perintah larangan, terdakwa melakukan kekerasan yang sama/lainnya pada korban), korban berhak untuk dilindungi oleh penegak hukum dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
c. Hak atas Pemulihan
Pasal 27-Pasal 32: Korban memiliki hak atas pemulihan yang dilakukan sebelum, selama, dan setelah proses peradilan.
- Pemulihan sebelum dan selama proses peradilan (12 bentuk): penyediaan layanan kesehatan pemulihan fisik, penguatan psikologis korban secara berkala, pemberian informasi tentang hak korban dan proses peradilan, penyediaan tempat tinggal yang layak dan aman, pendampingan hukum.
- Pemulihan setelah proses peradilan (9 bentuk): pemantauan, pemeriksaan dan pelayanan kesehatan fisik dan psikologis korban secara berkala dan berkelanjutan, pemantauan dan pemberian dukungan lanjutan terhadap keluarga korban, penguatan dukungan komunitas untuk pemulihan korban, pendampingan penggunaan restitusi
Hoax Tentang RUU PKS: Pro-LGBT, Pro-Aborsi, dan Pro-Zina
RUU PKS ini adalah rancangan undang-undang yang lex specialis (bersifat khusus) untuk kekerasan seksual dimana difokuskan pada aspek pemenuhan kebutuhan dan hak korban. Jadi, untuk perzinahan dan pemerkosaan tidak diatur karena memang sudah diatur dalam KUHP (Larangan Perzinahan: Pasal 284 KUHP dan Larangan Aborsi: Pasal 75 Ayat (1) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan). Terlebih lagi, karena RUU PKS bersifat khusus, rancangan undang-undang ini juga tidak melegalkan atau membahas apapun tentang LGBTQ+.
REFERENCES:
- https://www.komnasperempuan.go.id/file/pdf_file/Isu%20Prioritas%20Kekerasan%20Seksual/1.RUU%20KS%20TINDAK%20PIDSUS%20-BAG%201.pdf
- https://nasional.kompas.com/read/2019/09/23/14401061/sejumlah-hal-ini-jadi-alasan-uu-pks-harus-segera-disahkan?page=all
- https://kumparan.com/kumparanstyle/5-alasan-penting-mengapa-ruu-pks-harus-segera-disahkan-1550053285598427967/full
- https://pkbi.or.id/apa-saja-hak-hak-korban-dalam-ruu-pks/
- https://news.detik.com/berita/d-4728580/ini-perbandingan-definisi-perkosaan-dalam-ruu-pks-dan-ruu-kuhp
- Soesilo, R. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 2013.