Bukan Hanya Mata Yang Buta, Hukum Indonesia Juga

by Fauzan Abdul & Zania Putri

Setelah tiga tahun, dua terdakwa pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, yakni Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis dituntut satu tahun pidana penjara oleh jaksa di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Tuntutan ini menuai kritik keras dari publik karena hukumannya dianggap terlalu ringan dan rendah.

Novel Baswedan, penyidik KPK, disiram air keras seusai melaksanakan salat Subuh di masjid dekat rumahnya pada Selasa, 11 April 2017. Peristiwa tersebut mengakibatkan mata kiri Novel tidak berfungsi 100 persen, dan kemampuan penglihatan mata kanan berkurang 50 persen, sehingga cacat permanen.

Pasal Tuntutan: Sudah Tepatkah?

Dalam surat tuntutan, disebutkan motif kedua terdakwa adalah membenci Novel Baswedan karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Rahmat telah terbukti melakukan penganiayaan dengan perencanaan yang mengakibatkan luka berat pada Novel Baswedan. Sedangkan Ronny juga dianggap terlibat dalam penganiayaan dengan membantu Rahmat dalam melakukan aksinya. Maka dari itu, Rahmat dan Rony dinilai melanggar Pasal 355 ayat 1 KUHP juncto Pasal 353 ayat 2 KUHP juncto Pasal 351 ayat 2 KUHP. Jaksa juga menambahkan pasal penyertaan yaitu Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP karena perbuatan penganiayaan dilakukan bersama-sama.

Di antara pasal-pasal yang menjerat kedua terdakwa, Pasal 355 ayat 1 KUHP adalah dakwaan primer yang disampaikan jaksa dan memiliki ancaman hukuman paling tinggi, yaitu 12 tahun penjara. Namun, dalam surat tuntutan, jaksa berpendapat bahwa kedua pelaku tidak terbukti melanggar pasal tersebut dikarenakan pelaku sedari awal tidak berniat untuk melakukan penganiayaan berat terhadap Novel. Padahal, dalam fakta persidangan disebutkan bahwa Rahmat dan Ronny sudah menyiapkan cairan keras (asam sulfat) untuk melukai Novel.

“Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman cairan air keras ke badan Novel Baswedan. Namun mengenai kepala korban.” ujar jaksa saat membacakan tuntutan.

Oleh karena itu, jaksa hanya menuntut kedua pelaku dengan dakwaan subsider yaitu Pasal 353 ayat 2 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 7 tahun penjara. Dalam menyampaikan tuntutan hukuman, jaksa berpendapat bahwa kedua pelaku dapat mendapatkan keringanan hukuman karena belum pernah dihukum, mengakui perbuatannya di depan persidangan, kooperatif dalam persidangan, dan telah mengabdi sebagai anggota Polri selama 10 tahun. Sedangkan, jaksa mengungkapkan bahwa satu-satunya hal yang dapat memberatkan hukuman adalah perbuatan terdakwa telah mencederai kehormatan institusi Polri.

Bab yang Janggal

Menanggapi tuntutan dari Jaksa, Novel mengaku kecewa dan geram karena tuntutan tersebut menunjukkan kerusakan hukum di Indonesia. Tim Advokasi Novel, Kurnia Ramadhana, juga berpendapat bahwa tuntutan dari jaksa sangat rendah, memalukan, dan tidak berpihak pada korban kejahatan. Kurnia juga mengongirmasi dugaan bahwa persidangan kasus Novel ini merupakan “sandiwara hukum”.

Menurut Kurnia, ada sejumlah kejanggalan dalam persidangan. Pertama, saksi-saksi penting tidak dihadirkan Jaksa. Padahal setidaknya ada tiga saksi yang sebelumnya sudah diperiksa penyidik Polri, Komnas HAM, dan Tim Pencari Fakta bentukan Polri. Kedua, dakwaan jaksa juga mengaburkan fakta dimana penyerangan Novel hanya dianggap penganiayaan saja. Ketiga, peran penuntut umum terkesan seperti pembela terdakwa, padahal seharusnya jaksa melindungi hak-hak warga negara dalam memperoleh keadilan hukum.

Sidang ini direkayasa seolah-olah diarahkan kepada tiga hal, yaitu penyerangan berdasarkan motif pribadi, menggunakan air aki, dan disiramkan ke bagian badan yang kemudian memercik wajah. Jaksa pun terkesan hanya berhenti pada kesaksian kedua pelaku. Ada sejumlah pihak, termasuk Novel sendiri meyakinkan bahwa kasus penyerangan tersebut tidak hanya berdasarkan motif kebencian pribadi. Tim Pakar juga sudah mengumumkan bahwa kasus tersebut diduga kuat dipicu kasus-kasus high profile yang ditangani penyidik KPK ini.

Maka dari itu, Kuasa Hukum Tim Advokasi Novel Baswedan menuntut Majelis Hakim untuk melihat fakta yang sebenarnya menimpa Novel Baswedan dan tidak larut dalam sandiwara hukum, komisi kejaksaan harus menindaklanjuti temuan dengan memeriksa Jaksa Penuntut Umum, dan Presiden Jokowi harus membuka tabir dugaan sandiwara hukum dengan membentuk Tim Pencari Fakta Independen.

Masyarakat Indonesia pun buka suara di berbagai media sosial lantaran bingung dengan argumen Jaksa. Jika jaksa menganggap kedua terdakwa tidak menginginkan untuk melakukan penganiayaan berat, mengapa melakukan penyerangan dengan berbekal air keras? 

Keadilan tuntutan hukuman kasus Novel Baswedan juga dianggap sangat rendah dibandingkan dengan kasus-kasus penyiraman air keras lainnya seperti kasus Rika Sonata yang dituntut JPU selama 10 tahun penjara karena menyiram air keras terhadap suaminya, Ronaldo yang menyebabkan cacat permanen pada tahun 2019. Meskipun proses peradilan belum selesai, kasus ini membuat hukum di Indonesia terkesan “tumpul ke atas, tajam ke bawah,” lantaran pelaku penganiayaan Novel hanya dituntut 1 tahun penjara, sedangkan pelaku penusukan Wiranto dituntut 16 tahun penjara.

Selama tiga tahun kebelakang, publik terus menyuarakan agar Novel mendapat keadilan. Rentetan proses hukum terhadap kedua pelaku dapat dianggap hanya untuk memenuhi formalitas belaka agar ada kepastian hukum dan dinilai menutupi kejadian yang sebenarnya agar aktor utama tidak terungkap. Berdasarkan tanggapan Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, “ada kesan kasus dipersempit dengan hanya menjaring pelaku di lapangan, bukan otaknya.”

Rapor Merah Sejarah Perlindungan HAM

Kejanggalan-kejanggalan ini mungkin mencengangkan, tapi mereka bukanlah hal baru dalam sejarah aktivisme Indonesia.

Dua bulan lalu, ada Ravio Patra: peneliti independen yang aktif mengkritik kebijakan pemerintah. Akun WhatsApp-nya diretas dan dipakai untuk menyebarkan pesan provokatif. Tak lama kemudian, ia ditangkap, diintimidasi, dan diinterogasi tanpa pendamping hukum. 

Tahun lalu, ada Dede Lutfi: pembawa bendera Merah Putih pada demo tolak RKUHP di Gedung DPR/MPR. Ia mengaku disetrum, dijepit kupingnya, dan disuruh berjongkok agar mengaku melempar batu ke aparat polisi. Pengadilan memvonisnya 4 bulan penjara; Polri membantah adanya tindak kekerasan

Lima tahun lalu, ada Salim Kancil: petani yang menolak aktivitas pertambangan pasir di Desa Selok Awar-awar, Pasirian, Lumajang. Ia diseret oleh sekumpulan preman dan dianiaya hingga meninggal dunia. Pengadilan memvonis 20 tahun penjara untuk dua aktor lapangan, tapi menampik kemungkinan adanya keterlibatan perusahaan tambang maupun pemerintah daerah. 

Enam belas tahun lalu, ada Munir: aktivis, pembela HAM; diracun di udara. Dalang pembunuhannya masih bebas melanglang buana.

Nyatanya, nama-nama di atas adalah mereka yang kasusnya, akibat proses-proses yang berada di luar cakupan esai ini, dianggap cukup penting untuk diteliti dan dikritisi oleh publik hingga kejanggalan-kejanggalan yang muncul dapat diidentifikasi. Selain mereka, masih banyak pejuang demokrasi yang mengalami represi tanpa pernah melalui proses peradilan, apalagi mendapat sorotan media massa.

Menurut laporan pemantauan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bersama 16 LBH Indonesia, pada tahun 2019 sendiri ada setidaknya 78 kasus pelanggaran terhadap kebebasan berpendapat dimuka umum yang terjadi di Indonesia. Pelanggaran tersebut meliputi berbagai jenis tindakan, di antaranya penangkapan (termasuk salah tangkap), penganiayaan, pembubaran paksa aksi, dan penggeledahan tanpa hak. Yang terdampak pun tidak sedikit, dengan data YLBHI menunjukkan “paling minimal terdapat 6128 orang korban, 51 orang diantaranya meninggal dunia.” Lebih parahnya lagi, aktor pelanggar dalam kasus-kasus tersebut kebanyakan adalah aparat “keamanan”, dengan 67 kasus melibatkan anggota Polri dan 7 kasus melibatkan anggota TNI.

Senada dengan laporan tersebut, data Amnesty International Indonesia yang belum dipublikasikan menunjukkan adanya 241 orang yang dikriminalisasi karena mengkritik otoritas atau pemerintahan Jokowi selama periode Oktober 2014 hingga Juli 2019. Lebih dari sepertiganya (82 kasus) dijerat UU ITE karena dianggap “membenci” dan “menghina” Presiden Jokowi. Hal yang mungkin menarik untuk disorot adalah dari 82 kasus itu, 65 orang dipidana karena postingan media sosialnya terjaring inisiatif pemantauan media siber dari kepolisian.

A Luta Continua

Tentu, mudah saja bagi kita untuk mengenyahkan kasus-kasus ini, dan segala kejanggalan yang menyertainya, sebagai tindakan “oknum” yang tidak merepresentasikan keseluruhan institusinya (saya juga tak percaya polisi yang mengambil foto SIM saya ada sangkut-pautnya dengan penyiraman air keras pada Novel Baswedan). Namun, ketika pemerintah secara konsisten mengabaikan kejanggalan-kejanggalan yang ada dan melanggengkan represi terhadap suara yang berbeda, tidakkah pantas bagi kita untuk curiga bahwa ada kepentingan lebih besar yang sedang dibela?

Ya, penyiraman air keras ke Novel Baswedan berhasil membutakannya di satu mata, tapi tak terhitung berapa banyak mata yang terbuka akan keberpihakan sistem peradilan kita sebagai akibatnya. Terlebih lagi, dengan menempatkan kasus ini pada latar sejarah panjang represi negara, kita bisa sadar bahwa kasus Novel, Ravio, Salim Kancil, maupun Munir bukanlah persoalan yang berdiri sendiri; mereka adalah gejala dari penyakit yang telah lama menggerogoti negara ini: kekuasaan yang alergi terhadap kritik warganya sendiri.

Meski begitu, ini bukanlah waktu bagi kita untuk berdiam diri. Di hadapan represi yang kembali menjadi-jadi, tampaknya kita perlu mengingat kata-kata Wiji Thukul lagi,

jika kau tak berani lagi bertanya

kita akan jadi korban keputusan-keputusan

jangan kau penjarakan ucapanmu

jika kau menghamba kepada ketakutan

kita memperpanjang barisan perbudakan

(Wiji Thukul, “Ucapkan Kata-Katamu”)

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *