Raunganku bisa kau dengar, teriakanku memilukan hati. Hatiku teriris hanya sekedar membayangkannya. Pahlawanku, itulah kau dahulu, tetapi sekarang aku harus mempertanyakan dan meragukan kenyataan itu.
Dahulu, ku berlari ke dalam dekapanmu ketika kau membuka pintu. Ku tertidur di pangkuanmu sembari kau menceritakan kepadaku bagaimana harimu. Aku rindu masa-masa itu. Kau yang menggendongku disaat ku terjatuh. Kau yang menyemangatiku disaat ku gagal dan putus asa.
Waktu pun berlalu, sore pun menghampiri. Ku beranjak dewasa dan pergi merantau. Tak banyak ku dengar kabar darimu, tapi satu hal yang kutahu, ku selalu menyelipkan namamu dalam doaku. Meski tak tersirat dalam tatapan mataku, aku sangat merindukanmu
Dewasa sudah ku raih. Kesuksesan ku rintis dari bayi. Sekarang kau menjadi tanggunganku, tetapi bukan bebanku. Ajaranmu memang tidak seperti ajaran ibu. Kau tegas, ia lembut. Kau membangun mentalku, ia membangun anganku.
Pukulanmu dan cambukanmu menyisakan bekas bukan hanya pada kulitku tetapi juga pada batinku. Kau hukum aku ketika aku jatuh, namun kau juga sigap untuk langsung mengobatiku. Kau didik aku dengan keras namun lembut.
Ketika waktumu hendak berhenti, ku berlari untuk menemani. Alam pun seraya menangisi, kehampaan hadirmu yang tidak mungkin kan terisi. Ku tersenyum kepada dirimu untuk terakhir kali sembari mengenang semua memori.Terima kasih ayah, kau tidak mungkin kan terganti.