Urgensi Paritas Gender Akibat Revolusi Industri 4.0

Istilah Revolusi Industri 4.0 diangkat pada Hannover Fair di Jerman tahun 2011. Profesor Klaus Schwab, Penemu sekaligus Ketua Eksekutif World Economic Forum, membahas soal Revolusi Industri 4.0 dalam bukunya yang bertajuk The Fourth Industrial Revolution (2016). Beliau percaya bahwa masa ini adalah awal dimulainya revolusi industri keempat yang pengaruhnya tidak dapat dihindari dan berdampak pada cara hidup, berinteraksi, dan bekerja. Revolusi kali ini berlandaskan penggabungan unsur fisik, digital, dan biologi (manusia) sebagai pusatnya yang akan memengaruhi berbagai disiplin ilmu, ekonomi dan industri (World Economic Forum 2016). Artificial intelligence (AI) robotics, Internet of Things (IoT), neuro-brain enhancement, dan 3D-printing merupakan beberapa bukti perubahan dramatis di masyarakat dengan kecepatan eksponensial.

Perubahan kecanggihan teknologi yang semakin tinggi memengaruhi berbagai aspek kehidupan, salah satunya bidang ekonomi yang memiliki peran besar dalam pergerakan dunia. Kegiatan eknomi sekarang ini didominasi oleh teknologi super canggih yang akan mempermudah dan meningkatkan efisiensi kerja serta berperan dalam memaksimalkan output. Namun, di samping potensi dampak positif pada pertumbuhan ekonomi, setidaknya dalam jangka pendek, juga menimbulkan dampak negatif terhadap pasar tenaga kerja. Ketakutan terhadap dampak teknologi terhadap pekerjaan bukan menjadi hal baru. Terbukti beberapa dekade belakangan ini pekerjaan seperti kasir, telepon operator, dan administrasi telah tersubstitusi oleh komputer.

World Economic Forum (WEF) melaporkan bahwa laki-laki dan perempuan yang akan menanggung beban kehilangan pekerjaan akibat otomatisasi revolusi industri keempat relatif sama, dengan 52% dari 5,1 juta akan kehilangan pekerjaan antara tahun 2017 hingga 2020 memengaruhi laki-laki, dibanding 48% memengaruhi perempuan. Meskipun begitu, fakta bahwa perempuan merupakan bagian yang lebih kecil dari pasar tenaga kerja dapat diperkirakan gender gap dalam ekonomi akan melebar sejauh lebih dari 40% (World Economic Forum 2016). Perubahan eksponensial dari laju revolusi industri keempat terbilang membawa mimpi buruk bagi pasar tenaga kerja, khususnya perempuan. Tren otomatisasi pekerjaan cenderung banyak menggilas tenaga kerja pada bidang administrasi. Padahal, pekerjaan seperti itu yang banyak menyediakan lahan bagi perempuan.

Dilansir dari The Global Gender Gap Report pada 2017, Indonesia menempati peringkat enam di antara negara-negara ASEAN. Sementara, di dunia Indonesia berada di posisi 84 dari 144 negara. Rendahnya peringkat Indonesia di ASEAN maupun global menunjukkan lemahnya posisi perempuan pada pasar tenaga kerja. Angka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPKA) perempuan Indonesia cenderung ajek dari tahun ke tahun di rentang 50% (Schwab, et al. 2017).

Ada alasan di balik sulitnya memperkecil gender gap dan mencapai sebuah paritas di Indonesia. Salah satunya adalah konsep kodrat yang membangun stigma masyarakat terhadap perempuan untuk mengasuh dan terikat oleh komitmen domestik. Stigma tersebut tidak hanya berdampak pada TPKA, tapi juga memengaruhi tingkat pendidikan perempuan Indonesia. Stigma bias masyarakat yang telah mengakar di pikiran para perempuan menghalangi mereka untuk melanjutkan studi secara mendalam dan mengasah keahlian. Berdasarkan laporan The Global Gender Gap Report, secara relatif perempuan kurang terwakili dalam pekerjaan seperti matematika dan komputer dalam lima tahun ke depan sehingga opsi lapangan pekerjaan menjadi lebih terbatas.

Di luar dorongan stigma masyarakat untuk menjaga komitmen domestik, perempuan tetap cenderung memilih untuk berada dekat dengan rumah karena adanya tanggungan keluarga (Azmi, Ismail and Basir 2012). Perempuan juga cenderung akan menolak pekerjaan jika pekerjaan tersebut jauh dari rumah. Budaya patriarki yang cukup kental di Indonesia menjadikan perempuan untuk masih menggantungkan beban bidang ekonomi hanya kepada laki-laki.

Dapat disimpulkan bahwa besarnya gender gap dalam sektor ekonomi di Indonesia merupakan problem struktural yang agaknya perlu menjadi perhatian serius pemerintah. Bisakah revolusi industri keempat ini memperkecil gap antara laki-laki dan perempuan hingga mencapai paritas maksimal dalam jangka panjang? Perkembangan digitalisasi di era keempat sekarang—yang memungkinkan pengendalian jarak jauh—diharapkan dapat mengurangi beban perempuan sebagai penyandang status ganda: ibu rumah tangga dan pencari nafkah.

Reference

World Economic Forum. “The Fourth Industrial Revolution by Klaus Schwab.” World Economic Forum. 2016. https://www.weforum.org/about/the-fourth-industrial-revolution-by-klaus-schwab (accessed Agustus 9, 2019).

—. “Women in the Firing Line of Fourth Industrial Revolution.” World Economic Forum. 2016. https://www.weforum.org/press/2016/01/women-in-the-firing-line-of-fourth-industrial-revolution/ (accessed Agustus 9, 2019).

Schwab, Klaus, et al. The Global Gender Gap Report. Switzerland: World Economic Forum, 2017.

Azmi, Ilhaamie, Sharifah Ismail, and Siti Basir. “Women Career Advancement in Public Service: A Study in Indonesia.” Science Direct. Oktober 12, 2012. https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1877042812044667 (accessed Agustus 9, 2019).

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *