Kepada Bung Pram, dimanapun Bung berada. Saya kirimkan kepada Anda sebuah surat yang tidak saya harapkan sedikitpun darinya balasan. Malahan saya begitu tersanjung apabila surat ini bisa Anda baca, barangkali dengan sedikit senyum simpul atau barangkali Anda hendak mengoreksi satu-dua kalimat atau bahkan seluruh surat ini, murni kebebasan Anda. Kepada Bung, saya berikan tabik yang setabik-tabiknya.
Saya mengenal Anda sebagai sosok yang begitu mencinta dan menghargai kemerdekaan individu–begitu juga saya. Tetapi saya kira apa yang Anda terima dan alami di kesudahan menjadi sebuah kontradiksi atas kecintaan Anda terhadap kemerdekaan dan kebebasan yang melahirkan konsekuensi ketidakbebasan: Anda dipenjara dan dibatasi ruang geraknya oleh wajah-wajah binatang buas: para penguasa.
Saya kira pemenjaraan di zaman kemerdekaan oleh pihak Belanda karena menyebarkan pamflet-pamflet; pemenjaraan di Orde Lama karena kritik atas perlakuan diskriminatif kepada etnis Tionghoa; hingga berlalunya hampir dua dasawarsa umur Anda dihabiskan di Buru serta sebagai tahanan rumah di era Orde Baru menegaskan satu hal: Anda rela meninggalkan privilese kemerdekaan Anda demi kepentingan khalayak banyak.
Layaknya Gramsci, Anda berani mempertaruhkan diri dengan menulis di keterasingan yang jauh dan bengis, sebuah kamp tahanan politik bersama 13.000 orang lain yang hendak dihilangkan dari kenangan kolektif bangsa di Maluku. Tak tanggung-tanggung, Anda menulis empat seri roman yang nantinya diabadikan dengan tempat Anda menulis di Buru, yang salah satunya oleh saya diteliti dengan naif untuk tugas kepenulisan di akhir SMP. Menyisakan romansa tentang konfrontasi tegas yang mampu menjadi memoar perjalanan hidup bagi saya–lebih daripada itu : ilham tersendiri bagi hidup.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Anda (bersama Goenawan Mohamad) memainkan peranan penting dalam khazanah kepenulisan saya yang tidak seberapa ini. Menjadi inspirasi kepenulisan yang hadir seperti halnya Minke yang mampu memberikan liberasi : baik kepada dirinya sendiri ataupun bagi mereka yang selama ini dipotret sebagai wajah yang termarginalkan. Liberasi yang menjadi nafas dan katalisator bagi humanisme (yang oleh Goenawan Mohamad) disebut sebagai humanisme Ontosoroh–ibu mertua Minke.
Melalui fragmen-fragmen itulah, saya dengan tegas, menyebutkan Anda, Pramoedya Ananta Toer sebagai salah satu pahlawan dalam rangka memberikan klasifikasi pada beragam figur yang berkelebatan di benak saya. Problematis memang, ketika pahlawan saya (yang hampir seluruhnya mungkin) pernah merasakan tidur di sel. Namun saya kira itulah konsekuensi dari humanisme Ontosoroh yang menjadi teman bagi para wong cilik; para marginal yang di dalam koridornya berupaya memberikan liberasi pada harkat martabat manusia.
Demi meninggalkan jejak keabadian di dunia yang berlangsung masif dan begitu cepat ini, saya, tidak hendak dikatai hanya sebagai sekadar hewan yang pandai, maka dari itu saya menulis.
“Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”
Seperti halnya Anda, yang menempatkan keberanian dalam takaran yang progresif dan berkembang, saya pun berupaya untuk berlatih berani–untuk bertindak adil sejak dalam pikiran.
Jakarta, 25 Juli 2018.
TTD.
Secarik Keberanian Untuk Pram
