Dalam mengaktualisasikan kemampuan, potensi dan aspirasinya, “anak sekolahan” yang tidak jarang dianggap masih tidak cukup dewasa nyatanya semakin hari semakin mampu untuk tampil ke depan dan menunjukkan kebolehannya. Tidak terlalu lama, kita mampu melihat hal ini dalam pementasan teater musikal Skylite 2019 : “Umma Kita” yang diselenggarakan oleh teman-teman dari SMA Labschool Kebayoran.
Mengangkat tema cerita dari kearifan dan kekayaan budaya Sumba, Skylite 2019 : Umma Kita membawa maksud yang besar, selain sebagai sarana memberikan kepekaan pada nilai-nilai sosial dan budaya serta nilai kepedulian budaya Indonesia.
Adalah seorang pemuda bernama Evan yang sedang melakukan sebuah penilitian untuk kelulusannya di sebuah desa. Sekalipun evan sebagai seorang masyarakat urban yang merasa tidak nyaman di desa tersebut, ia memaksakan dirinya untuk terus melanjutkan penelitian disana.
Tidak hanya mengenal adat desa disana, Evan juga mengenal seorang gadis bernama Andjali. Perkenalan ini juga menumbuhkan ketertarikan Evan pada Andjali yang terobsesi pada kota, tempat asal Evan. Alhasil, tanpa ragu, Evan menjanjikan Andjali untuk diajaknya ke kota.
Dengan niatnya untuk meneliti, Evan hendak meneliti turbin air yang sudah lama tidak berfungsi sambil berupaya memberikan solusi atas tidak berfungsi nya turbin tersebut. Demikianlah Evan, si anak kota menyebarkan sebuah nilai-nilai positif pada desa dan masyarakatnya karena ia juga mampu mempengaruhi anak-anak desa yang merupakan teman-teman Andjali untuk lebih rajin belajar.
Konflik tiba ketika kedekatan Evan dengan Andjali mendatangkan kecembhruan pada pemuda asal desa yang sama-sama memiliki ketertarikan pada Andjali, ialah Pierre. Pierre berupaya untuk menjatuhkan reputasi baik Evan dengan memfitnah dirinya mengambil kain dari sebuah pohon sakral di desa itu. Malang bagi Evan, ia tidak mampu membuktikan kebenaran yang ia perlukan, atas perintah kepala desa yang menjunjung tinggi nilai budaya desa, ia diusir dari desa
Ketika seluruh isi desa kehilangan kepercayaan pada Evan, tinggal ibu tempat ia tinggal di desa itu dan Andjali lah yang masih menaruh kepercayaan pada Evan sebagai orang yang tidak bersalah.
Namun bukan tanpa makna, kehadiran Evan juga mendatangkan sebuah anugerah pada desa itu, kehadirannya untuk penelitian dan memberikan solusi untuk rusaknya turbin, nyatanya menyelamatkan desa dari kegersangan kepanjangan yang melanda desa tersebut.
Demikianlah, maksud baik dengan cara yang baik mendatangkan sebuah kebaikan. Evan dipanggil kembali ke desa tersebut setelah mengaku nya Pierre karena telah memfitnah Evan, ia disambut dengan suka cita.
Bagaimana teman-teman SMA Labschool Kebayoran, merepresentasikan budaya Sumba kontemporer, melalui kostum yang ditampilkan serta research yang cukup mendalam pada budaya Sumba melalui nama-nama Spanyol yang disandang Pierre dan Carmen misalnya dibalut dengan latar yang sederhana, namun menggunakan properti yang cukup untuk merepresentasikan tanah Sumba. Satu hal yang terus-menerus bagi kami memukau, adalah aransemen lagu dan aspek musikal yang mengisi sepanjang jalannya pementasan. Bagaimana suara vokal pemeran selalu in tune dengan instrumental counterparts, adalah sebuah poin yang tidak mampu kita lupakan keindahannya.
Meskipun demikian, ada beberapa poin penceritaan yang bagi kami agak luput untuk mampu didalami kedalaman yang memperkaya cerita menjadi sebuah keutuhan yang komperhensif. Tentu pembacaan dan “mimikisasi” teman-teman kita yang masih SMA boleh jadi masih terbatas khususnya ketika perlu menyesuaikan dialek dan bahasa-bahasa daerah yang dimiliki tanah Sumba sehingga aspek-aspek visual dan ide kedaerahan belum mampu didukung keluwesan pemeran. Dari segi cerita, barangkali teman-teman Labschool Kebayoran agak enggan untuk menampilkan atau menyuguhkan sebuah dialog atau adegan yang terlalu eksplisit mengenai nilai dan pesan moral cerita, di satu sisi, memang terkadang yang terlalu eksplisit menjadi cheesy. Namun di sisi lain, kurangnya adegan dan dialog yang memberikan penekanan nilai tidak jarang hanya menyuguhkan sajian visual pada penonton ditambah lelucon-lelucon lucu yang perlu kami akui sangat menghibur.
Misalnya pada Evan yang bagi kami terlalu tiba-tiba mencintai kehidupan kampung, Apakah karena Andjali? Atau kehidupan di kota terlalu monoton? Boleh jadi karena kolektivitas yang dimiliki masyarakat desa? Pertanyaan itu penting, namun bagi kami tidak hadir pada apa yang ditampilkan di Skylite 2019.
Satu hal yang penting, bagi kami, Kolom Remaja, yang merupakan teman-teman dari SMA Labschool Kebayoran secara khusus dan komunitas remaja secara umum, menyaksikan pagelaran Skylite 2019 : “Umma Kita” adalah sebuah kebanggaan bagi kami tersendiri melihat teman-teman dari kalangan remaja, khususnya SMA mampu menyajikan penampilan yang cukup apik.