Review Film “Kucumbu Tubuh Indahku”

Film ini ada untuk menjawab mereka yang suka bawa banner: “Valentine/LGBT/Apapun lah Bukan Budaya Kita”

Film besutan Garin Nugroho yang telah tayang dan memenangi beberapa festival film di luar negeri dengan judul “Memories of My Body” ini sudah tayang secara komersil di negeri sendiri. Tanggapan pertama saya : film ini tidak  akan dapat crowd mainstream, malah kemungkinan besar didemo.

Film ini mengisahkan tentang kisah hidup Rianto Manali, seorang koreografer Jawa Tengah dari ia kecil hingga remaja. Mengambil latar di Banyumas, Jawa Tengah, memberikan lanskap desa tradisional di tengah daerah karst (kapur) yang dipenuhi hutan jati. Garin juga menyoroti konflik ideologis dan realita sosial masa orde baru dan reformasi lewat latar waktu yang sejalan dengan kisah hidup Rianto.

Agak penting sepertinya untuk memahami tari Lengger Lanang sebelum mencerna film ini. Rianto, yang merupakan salah satu penari Lengger, tarian yang secara etimologis diambil dari kata leng yang berarti lubang (simbolisasi perempuan) dan jengger yang merupakan “mahkota” ayam jago (simbolisasi laki-laki). Penarinya adalah laki-laki yang tampil sebagai perempuan dalam pakaian Jawa. Mengutip Tempo, Lengger Lanang dikaitkan erat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), anak organisasi PKI yang pada Orde Baru tidak luput dari pembersihan massal komunisme.

Film ini bagi saya dipenuhi dengan penjelajahan yang begitu puitis mengenai konsep tubuh yang dibingkai melalui kultur-kultur dan mistisme Jawa. Lewat monolog Rianto (yang di film ini diberi nama Juno/Arjuno) yang hadir seperti break di tengah babak-babak kehidupannya, kita diajak menyelami kisah tubuh nya. Tubuh yang tidak bisa didefinisikan begitu saja : tampil berotot layaknya pria maskulin, namun mampu bergerak secara gemulai dan feminim dalam waktu yang sama. Keadaan lahiriah dan batiniah yang berkecamuk dan berkonflik, penuh trauma dan kebahagiaan.

Dan saya kira hal ini yang menjadi nafas sepanjang film ini berjalan. Latar desa yang “tradisional” dan eksistensi tari Lengger Lanang dalam khazanah kebudayaan kita, bagi saya menegaskan sebuah negasi penting dari kalimat pembuka di awal : bahwa budaya kita, budaya yang dianggap “ketimuran” itu nyatanya memberikan tempat pada fenomena LGBT yang dianggap sebagai dampak negatif globalisasi yang diimpor dari budaya kebaratan itu.

Saya teringat pembacaan saya pada salah satu buku A. Teeuw, dimana ia mengutip, bahwa karya sastra memiliki dua fungsi : dulce dan utile, keindahan dan kegunaan. Bagi saya, film ini, tampil begitu-begitu indah, baik secara visual maupun lewat dialog-dialog yang mendalam dikemas dalam akting yang memukau.

Namun barangkali, “Kucumbu Tubuh Indahku” membawa kegunaan yang lebih besar ketimbang keindahan yang ditawarkannya. Ia mampu membuka diskusi kebudayaan kita mengenai perspektif gender yang lebih luas.

Recommended Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *